15 Jun 2024

Mengunjungi Desa Wisata Cempaka

Rasa jenuh terkadang menghampiri setelah menjalani rutinitas keseharian. Salah satu cara untuk mengatasi kejenuhan adalah dengan mengunjungi tempat wisata. Destinasi yang cukup direkomendasikan untuk dikunjungi adalah Desa Wisata Cempaka di Desa Cempaka, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, yang berada di lereng Gunung Slamet.

Suara burung berkicauan menyambut pengunjung yang datang ke Desa Wisata Cempaka di Desa Cempaka, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Minggu (25/2/2024) lalu. Suhu dingin masih terasa cukup menusuk tulang ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan di tempat yang dipenuhi pepohonan, terutama pohon bambu.

Pagi itu, Desa Wisata Cempaka sedang kedatangan tamu istimewa, yaitu tiga belas mahasiswa asing dan puluhan mahasiswa dalam negeri yang mengikuti kegiatan penutupan International Student Mobility (ISM) 2024 yang diadakan Universitas Pancasakti Tegal. Kegiatan penutupan ISM 2024 dipusatkan di Pasar Tradisional Slumpring.

Pasar Tradisional Slumpring merupakan andalan dari Desa Wisata Cempaka. Pasar tradisional ini terletak di Desa Cempaka yang merupakan desa di ujung kabupaten dan berada di dataran tinggi. Slumpring sendiri dijadikan sebagai nama pasar karena Pasar Tradisional Slumpring menempati sebuah kebun pohon bambu milik penduduk.

Pasar tradisional ini terbilang unik. Mengapa unik? Sebab buka hanya setiap hari Minggu dan menjajakan jajanan tempo dulu seperti gethuk, cetik, gaplek, tiwul, klepon, kraca, dan lainnya. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Cempaka Indah yang mengelola Desa Wisata Cempaka memiliki alasan tersendiri soal mengapa pasar hanya buka hari Minggu.

“Karena yang disuguhkan kuliner, untuk menghindari kebosanan dan kejenuhan, maka hanya buka hari Minggu, jam tujuh pagi sampai jam satu siang,” kata Ketua Pokdarwis Cempaka Indah Abdul Khayyi.

Keunikan lain di pasar ini adalah cara transaksinya, yaitu menggunakan koin bambu. Tujuannya, untuk mempermudah kontrol dan menjadi ciri khas wisata kuliner tempo dulu. Perkoin harga tukarnya Rp2.500. Pasar ini juga menyajikan pertunjukkan musik untuk menghibur pengunjung, yang dibawakan Grup Musik Amoeba atau Alunan Musik Bambu.

Jajanan yang dijajakan juga dijamin halal dan higienis. Khayyi mengatakan, Pokdarwis Cempaka Indah telah bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk sertifikasi halal dan dengan Dinas Kesehatan untuk higienitas jajanan. “Ada sekitar 27 pedagang yang berjualan di Pasar Tradisional Slumpring,” ungkap mantan kepala Desa Cempaka itu.

Selain Pasar Tradisional Slumpring, Desa Wisata Cempaka memiliki wisata air di Tuk Pitu, yang menjadi tempat pertemuan dari Tuk Mudal, Tuk Nangka, Tuk Kebon, Tuk Kele, Tuk Putri, Tuk Kucung, dan Tuk Kedoya. Di pertemuan tujuh mata air ini, pengunjung bisa menikmati asyiknya menaiki kereta air dan merasakan sensasi berenang di mata air dari pegunungan.

Khayyi menyampaikan, Tuk Pitu ramai dikunjungi warga dari berbagai daerah, khususnya setiap Jumat Kliwon. Tuk ini menyimpan kisah dulunya merupakan tempat pertemuan tokoh masyarakat zaman Kerajaan Pajajaran. Dahulu, ada seni musik menggunakan alat bambu yang dibuat tetua Desa Cempaka, namun sekarang sudah punah karena tidak ada regenerasinya.

Suguhan lain di Desa Wisata Cempaka adalah panorama negeri di atas awan di Bukit Sibrongkol. Untuk menuju bukit yang berada di ketinggiaan 800 meter di atas permukaan laut itu, pengunjung bisa menitipkan kendaraan sepeda motor di rumah penduduk dan berjalan kaki sekitar dua puluh lima menit sampai di bukit. “Bukitnya tidak ekstrem,” imbuh Khayyi.

Bukit Sibrongkol juga dapat dinikmati untuk camping ground. Pengunjung bisa berkemah dan dari sana dapat melihat Gunung Slamet, Gunung Ciremai di Cirebon, Kota Slawi, serta Bumiayu Kabupaten Brebes. Pengunjung juga dapat menikmati indahnya suasana saat matahari terbit maupun tenggelam dari negeri atas awan.

Khayyi mengemukakan, Desa Wisata Cempaka mengusung konsep wisata konservasi dan pemberdayaan ekonomi. Bambu sebagai resapan air yang baik, karena di bawahnya terdapat mata air yang digunakan warga sebagai tempat bersih-bersih dan irigasi 200 hektare sawah dan mempekerjakan kurang lebih 70 orang, baik sebagai pedagang dan Pokdarwis atau pengelola.

Desa Wisata Cempaka mampu terus eksis karena masyarakat terlibat dan mendapatkan keuntungan langsung dari kegiatan wisata. Pengelola juga bertugas sesuai fungsi dan tugasnya, serta melakukan promosi terus menerus, termasuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Pokdarwis Cempaka Indah berharap sinergitas dengan para pihak tetap terjaga.

“Sehingga semakin banyak pengunjung dan mampu memberdayakan masyarakat serta mengentaskan kemiskinan,” harap Khayyi. (*)

Kisah Kelenteng Tek Hay Kiong


Pernak-pernik Imlek menghiasi Kelenteng Tek Hay Kiong saat perayaan Tahun Baru China memasuki hari kedua di bulan dua dalam penanggalan Tionghoa. 

Di atas atap gapura, patung dua naga berwarna hijau terlihat saling berhadapan dan di tengahnya terdapat patung berbentuk lingkaran dengan aksen bara api.

Patung dua naga berwarna hijau dan patung menyerupai bola api juga tampak bernaung di atas atap kelenteng. Di pintu masuk, berdiri dua patung singa yang seolah menjadi penjaga. Saat masuk ke dalam, altar utama langsung menyambut pengunjung. Di sanalah tempat pemujaan bagi dewa utama atau tuan rumah dari klenteng ini: Tek Hay Cin Jin.

Keberadaan Kelenteng Tek Hay Kiong di Jalan Gurami, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Menurut catatan, kelenteng bernama Kelenteng Tek Hay Kiong itu ada sejak abad ke-18. Kelenteng ini tidak terlepas dari kisah Kwee Lak Kwa, seorang tokoh Tionghoa yang ikut berjuang melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) saat terjadi pembantaian etnis Tionghoa di Batavia atau yang dikenal dengan peristiwa Geger Pacinan. 

Kwee Lak Kwa bergerilya dan terdesak hingga ke Tegal. Di daerah yang disinggahinya itu, Kwee Lak Kwa suka menolong dan membaur dengan penduduk setempat. Kwee Lak Kwa mengajarkan metode bercocok tanam dan mencari ikan yang baik. “Di tempat yang disinggahi, beliau sering menolong, serta mengajarkan bercocok tanam dan menangkap ikan,” kata Rohaniwan Kelenteng Tek Hay Kiong Chen Li Wei Dao Chang tengah pekan lalu.

Ada sejumlah versi yang menceritakan kepergian Kwee Lak Kwa. Pertama, Kwee Lak Kwa berlayar entah ke mana dan tidak pernah kembali. Kedua, mencapai moksa. Setelah menghilang, Kwee Lak Kwa sering muncul secara bersamaan di beberapa tempat yang berjauhan. Dia juga kerap menampakkan diri pada nelayan-nelayan di Tegal untuk memberi petunjuk.

Atas jasa-jasanya itu, penduduk membangun sebuah kelenteng untuk menghormati Kwee Lak Kwa yang bergelar Tek Hay Cin Jin. Kelenteng itu dinamai Cin Jin Bio. Setelah Cin Jin Bio dibangun pada 1760 di masa Opsir Tionghoa Kapiten Souw Pek Gwan, dalam perkembangannya, Cin Jin Bio dilaporkan banyak mengalami kerusakaan pada bagian tembok.

Karena itu, Cin Jin Bio direstorasi pertama kali oleh Opsir Tionghoa Kapiten Tan Koen Hway yaitu pada 1837. Restorasi dilakukan dengan mempertahankan bentuk aslinya dan namanya diubah menjadi Tek Hay Kiong. Sejumlah peralatan sembahyang masih bertahan sejak 1837, di antaranya meja dan tempat dupa. Selain itu, juga papan nama.

“Ini ada tahunnya,” ucap Chen Li Wei Dao Chang sembari memperlihatkan ukiran tahun di meja sembahyang.

Di dalam kelenteng juga terdapat prasasti yang menerangkan bahwa dilakukan restorasi kelenteng yang disumbang oleh Kapiten Tan Koen Hway, Mayor Batavia, Mayor Semarang, dan sejumlah letnan di Tegal. Kapiten Tan Koen Hway menyumbang secara pribadi sebesar 1.000 Gulden, Mayor Batavia 200 Gulden, dan Mayor Semarang 200 Gulden.

Kebajikan Tek Hay Cin Jin terabadikan dalam papan syair pujian yang masih terpasang di salah satu sudut kelenteng. Pada papan syair tersebut tertulis syair pujian dengan huruf Mandarin. “Tek Hay Cin Jin mempunyai kebajikan yang disebarkan untuk masyarakat di pesisir dari tempat ini,” ucap Chen Li Wei Dao Chang menerjemahkan syair dengan Bahasa Mandarin itu.

Seiring berjalannya waktu, terjadi kerusuhan etnis di Bumiayu pada 1940-an. Kala itu, Kelenteng Tek Hay Kiong dijadikan sebagai tempat pengungsian warga Tionghoa dari Bumiayu. Kelenteng ini juga menyimpan Patung Dewa dari Kelenteng Pesayangan. Artinya, dulu di Desa Pesayangan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, pernah ada sebuah kelenteng.

“Ada dokumen yang menyebutkan bahwa pada 1949 pengurus kelenteng meminta Wedana Adiwerna membangun kembali kelenteng,” ucap Chen Li Wei Dao Chang.

Selain itu, kelenteng ini juga memiliki Gamelan Pusaka Kiai Nagamulya yang dibuat pada 1861, sesuai tahun yang terukir. Gamelan tersebut bukan gamelan sembarangan. “Ini bukan gamelan receh. Gamelan ini memiliki nilai seni tinggi. Salah satu gamelan berkualitas di luar keraton, kata orang keraton yang pernah ke sini,” ungkap Chen Li Wei Dao Chang. (*)

Pokanjari Riwayatmu Kini

Kota Tegal mempunyai segudang daya tarik untuk  didatangi. Selain destinasi wisata pantai, kota ini menyuguhkan destinasi wisata kuliner yang rasanya juga wajib dikunjungi. 

Salah satunya Pondok Makan Jalan Teri atau Pokanjari yang berada di ujung utara kota, tepatnya di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat.

Gapura tua berdiri melintang di pintu masuk Jalan Teri. Dengan kondisi cat yang sudah lusuh dan mengelupas, pada gapura tersebut terukir tulisan Pondok Makan Jalan Teri (Pokanjari) Kodya Kota Tegal. Saat memasuki kawasan, dijumpai puluhan warung makan berjejer di jalan yang menghubungkan antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran itu.

Pokanjari merupakan merupakan pusat kuliner pertama di Kota Tegal dari hasil kebijakan formal Pemerintah Kodya Tegal. Wali Kota Tegal HM Zakir yang memimpin Kota Tegal dari 1989 sampai 1998 memindahkan para pedagang yang berjualan di pinggir jalan Kawasan Simpang Lampu Merah Gantung, karena dinilai semrawut.

Sebelum menjadi Pokanjari, Jalan Teri dulu dihiasi gubug liar. “Dulu di Perempatan Lampu Merah semrawut, sehingga pedagang dipindah ke sini,” kenang Tamba, 67, yang telah separuh abad menggantungkan hidupnya di Pokanjari saat berbincang dengan Radar Tegal sembari menikmati segelas teh di salah satu warung makan Pokanjari, Rabu (7/2/2024).

Puluhan tahun silam Tamba berjualan sayur di Pokanjari. Namun, kini usahanya itu dilanjutkan oleh anak perempuannya. Pedagang sayur dan kebutuhan pokok lainnya, termasuk anak perempuan Tamba itu, biasanya berjualan di Pokanjari pada pagi hari. Mereka masih bertahan sampai sekarang dan menempati ujung sebelah timur Jalan Teri.

Untuk warung makan, tidak semuanya berjualan pagi atau siang hari. Ada yang berniaga pada malam hari. Pada pagi atau siang hari dapat ditemui warung yang menjual makanan antara lain nasi rames, nasi gudeg, sampai bubur ayam. Pada malam harinya, makanan yang bisa ditemui di antaranya nasi grombyang, sate ayam, hingga swike.

Pokanjari memang tidak seramai dulu. Namun demikian, sejumlah warung makan yang tersisa mencoba terus eksis di pusat kuliner legendaris itu. Salah satunya, Warung Pak Naim yang dioperasikan Tati, 48. Warung makan yang dikelola Tati mengandalkan pelanggan siswa salah satu sekolah pelayaran yang persis ada di seberang warung.

Meskipun dekat pabrik dinamo dan perbengkelan Jalan Gajah Mada, kebanyakan karyawannya memesan catering untuk makan siang, atau memilih makan di tempat lain. Tati mengelola sendirian warungnya itu, karena apabila mengajak pembantu, pendapatannya tidak mencukupi untuk menggaji. “Di sini tidak bisa mengandalkan orang lewat,” ungkap Tati yang ingin Pokanjari kembali ramai seperti dulu.

Terpisah, Ahli Perancangan Kota Abdullah Sungkar menyampaikan, Pokanjari merupakan koridor jalan yang diupayakan menjadi pusat keramaian baru. Awalnya memang dianggap berhasil, namun seiring dengan perkembangan zaman terus terdegradasi. Penyebabnya diperkirakan karena kurangnya ragam kuliner yang ditawarkan dan ketiadaan lahan parkir yang memadai.

Selain itu, dikarenakan tren kuliner sistem francise ala kafe yang menjamur. Budaya dan tren kuliner saat ini sangat berbeda dengan tempo dulu, khususnya bagi generasi milenial sebagai kelompok konsumen pontensial. “Quality of life sebagai pengalaman dan gambaran yang melekat pada sebuah tempat bagi mereka yang mengunjungi Pokanjari tentu sudah akan sangat berbeda,” ujar Sungkar. (*)

Kota Tegal mempunyai segudang daya tarik untuk didatangi. Selain destinasi wisata pantai, kota ini menyuguhkan destinasi wisata kuliner yang rasanya juga wajib dikunjungi. Salah satu destinasi wisata kuliner tersebut adalah Pondok Makan Jalan Teri atau Pokanjari yang berada di ujung utara kota, tepatnya di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat.

Gapura tua berdiri melintang di pintu masuk Jalan Teri. Dengan kondisi cat yang sudah lusuh dan mengelupas, pada gapura tersebut terukir tulisan Pondok Makan Jalan Teri (Pokanjari) Kodya Kota Tegal. Saat memasuki kawasan, dijumpai puluhan warung makan berjejer di jalan yang menghubungkan antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran itu.

Pokanjari merupakan merupakan pusat kuliner pertama di Kota Tegal dari hasil kebijakan formal Pemerintah Kodya Tegal. Wali Kota Tegal HM Zakir yang memimpin Kota Tegal dari 1989 sampai 1998 memindahkan para pedagang yang berjualan di pinggir jalan Kawasan Simpang Lampu Merah Gantung, karena dinilai semrawut.

Sebelum menjadi Pokanjari, Jalan Teri dulu dihiasi gubug liar. “Dulu di Perempatan Lampu Merah semrawut, sehingga pedagang dipindah ke sini,” kenang Tamba, 67, yang telah separuh abad menggantungkan hidupnya di Pokanjari saat berbincang dengan Radar Tegal sembari menikmati segelas teh di salah satu warung makan Pokanjari, Rabu (7/2/2024).

Puluhan tahun silam Tamba berjualan sayur di Pokanjari. Namun, kini usahanya itu dilanjutkan oleh anak perempuannya. Pedagang sayur dan kebutuhan pokok lainnya, termasuk anak perempuan Tamba itu, biasanya berjualan di Pokanjari pada pagi hari. Mereka masih bertahan sampai sekarang dan menempati ujung sebelah timur Jalan Teri.

Untuk warung makan, tidak semuanya berjualan pagi atau siang hari. Ada yang berniaga pada malam hari. Pada pagi atau siang hari dapat ditemui warung yang menjual makanan antara lain nasi rames, nasi gudeg, sampai bubur ayam. Pada malam harinya, makanan yang bisa ditemui di antaranya nasi grombyang, sate ayam, hingga swike.

Pokanjari memang tidak seramai dulu. Namun demikian, sejumlah warung makan yang tersisa mencoba terus eksis di pusat kuliner legendaris itu. Salah satunya, Warung Pak Naim yang dioperasikan Tati, 48. Warung makan yang dikelola Tati mengandalkan pelanggan siswa salah satu sekolah pelayaran yang persis ada di seberang warung.

Meskipun dekat pabrik dinamo dan perbengkelan Jalan Gajah Mada, kebanyakan karyawannya memesan catering untuk makan siang, atau memilih makan di tempat lain. Tati mengelola sendirian warungnya itu, karena apabila mengajak pembantu, pendapatannya tidak mencukupi untuk menggaji. “Di sini tidak bisa mengandalkan orang lewat,” ungkap Tati yang ingin Pokanjari kembali ramai seperti dulu.

Terpisah, Ahli Perancangan Kota Abdullah Sungkar menyampaikan, Pokanjari merupakan koridor jalan yang diupayakan menjadi pusat keramaian baru. Awalnya memang dianggap berhasil, namun seiring dengan perkembangan zaman terus terdegradasi. Penyebabnya diperkirakan karena kurangnya ragam kuliner yang ditawarkan dan ketiadaan lahan parkir yang memadai.

Selain itu, dikarenakan tren kuliner sistem francise ala kafe yang menjamur. Budaya dan tren kuliner saat ini sangat berbeda dengan tempo dulu, khususnya bagi generasi milenial sebagai kelompok konsumen pontensial. “Quality of life sebagai pengalaman dan gambaran yang melekat pada sebuah tempat bagi mereka yang mengunjungi Pokanjari tentu sudah akan sangat berbeda,” ujar Sungkar. (*)

22 Mei 2024

Membaca Ulang Banteng Loreng Binoncengan

Pramoedya Ananta Toer benar. Katanya, orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. 
Saya tidak pernah menyangka tulisan berjudul Banteng Loreng Binoncengan yang diunggah di blog ini pada 23 Mei 2013 berujung pada terseret-seretnya nama saya.

Tulisan yang sengaja saya buat untuk menjawab pertanyaan Novi Ariyanti, adik saya yang kala itu merupakan mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ternyata banyak dikutip berbagai sumber berita dan informasi. Berdasarkan statistik yang dibuat secara otomatis oleh Blogger, tulisan tersebut sampai saat ini telah dilihat oleh 811 pasang mata.

Seingat saya, kali pertama saya terseret-seret adalah ketika saya dihubungi Nuansa Gilang Insani, yang merupakan salah satu pendiri kelompok suporter Persekat Kabupaten Tegal, Skaterz. Saat itu, rupaya sedang digagas pembuatan maskot untuk Persekat. Dan seperti yang diketahui bersama, Balo kemudian dipilih menjadi nama maskot Laskar Ki Gede Sebayu.

Mudah ditebak, Balo merupakan singkatan Banteng Loreng Binoncengan. Dugaan saya, Osa, sapaan Nuansa Gilang Insani, ketika itu menghubungi saya karena dua alasan. Pertama, karena saya merupakan mantan pemain Persekat Junior. Kedua, karena saya menulis tentang Banteng Loreng Binoncengan di blog ini.

Berikutnya, saya ingat dalam sebuah rapat, bos saya menyinggung tulisan saya di blog yang dikutip sebuah portal. Kala itu saya cukup bangga, hingga sebelas tahun kemudian, seorang mahasiswi dari Universitas Negeri Semarang memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud dan tujuan. Namanya adalah Nilna Aula Niswah yang bersama timnya akan mengajukan proposal penelitian.

Nilna dan tim mengajukan judul Analisis Falsafah Banteng Loreng Binoncengan Terhadap Konsep Ideal Pemimpin Masyarakat Tegal Berdasarkan Teori PCC untuk Meningkatkan Integrasi Bangsa, yang setelah disetujui berjudul Falsafah Banteng Loreng Binoncengan Pada Masyarakat Tegal: Penguat Integritas Bangsa Melalui Konsep Kepemimpinan Ideal Berdasarkan Teori Person Centered.

Nilna lalu meminta saya menjadi salah satu narasumber untuk diwawancara. Saya semula menolak karena rasanya lebih banyak yang kompeten. Namun ternyata Nilna bersikeras dan membuat saya akhirnya tidak mampu menolak. Saya lagi-lagi teringat Pram, yang baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh.

Barangkali diminta menjadi narasumber oleh Nilna dan tim adalah akibat yang saya peroleh dari menulis Banteng Loreng Binoncengan di blog pribadi. Hehehe.

Pelajaran Kepemimpinan

Sebagaimana yang telah tertulis di blog ini, Banteng Loreng Binoncengan menggambarkan watak orang Tegal yang gagah berani (banteng) dan agak kasar (loreng), akan tetapi pada hakikatnya Banteng Loreng Binoncengan dapat dituntun, ditunggangi, dan dikuasai oleh orang yang lemah lembut dan ramah-tamah serta tidak mempunyai maksud buruk.

Seseorang tersebut biasanya dilambangkan anak laki-laki yang mengerti betul perwatakan banteng. Anak laki-laki tersebut adalah seorang penggembala atau bocah angon yang menjaga banteng dengan penuh kasih sayang. Sehingga ketika harimau akan menerkam, banteng melindungi dan menyelamatkan bocah angon meskipun menderita luka parah pada sekujur tubuhnya.

Dalam blog ini, saya juga menafsirkan Banteng Loreng Binoncengan dapat memberikan makna dan pelajaran, salah satunya soal kepemimpinan. Dari segi kepemimpinan, jika banteng diibaratkan adalah rakyat Tegal, maka yang bisa menuntun, menunggangi, dan menguasai banteng adalah seseorang yang bermental bocah angon.

Terlepas dari laki-laki atau perempuan, pemimpin Tegal harus siap menjadi bocah angon. Dalam angon banteng, seorang bocah angon harus bisa bersikap sabar, pengertian, penuh kasih sayang, dan mengarahkan kemana seharusnya banteng mencari makan, agar banteng yang dulunya liar berubah menjadi jinak dan penurut karena perutnya kenyang.

Bocah angon akan merasa sukses jika bantengnya bisa makan dengan enak, sekalipun dirinya sendiri tidak makan. Bagi bocah angon yang dipikirkan adalah bantengnya dan bukan dirinya sendiri. Ia akan selalu bekerja keras dan bahkan sampai melupakan dirinya sendiri. Sehingga saat bocah angon mendapat ancaman dari harimau, banteng akan rela membelanya, sampai tetes darah penghabisan.

Mantan Bupati Tegal Agus Riyanto dalam bukunya yang berjudul Insya Allah (2008) memandang gambaran Banteng Loreng Binoncengan adalah perlawanan sekaligus solidaritas, atau balas budi dan kerelaan banteng kepada bocah angon terhadap keganasan harimau. Banteng dengan tubuh penuh luka melawan raja hutan. Sementara sahabat kecil dilindungi, berada di atas punggung banteng.

Sejarah Perlawanan

Ihwal perlawanan, sejarah Tegal memang merupakan sejarah perlawanan. Kita ingat benar bagaimana kegigihan penguasa Tegal kala Mataram Adipati Martoloyo dalam melawan Kompeni Belanda, meskipun ia harus berbeda pendapat dengan Adipati Anom, pangeran muda Mataram yang selama ini ia patuhi apa segala perintahnya.

Keputusan Adipati Anom yang akan meminta bantuan Belanda untuk melawan pangeran Madura Trunojoyo sangat menusuk hati Martoloyo, hingga kemudian ia memilih meninggalkan sang adipati. Karena sikapnya itu, Belanda mencoba menyingkirkan Martoloyo dengan cara mereka. Terjadilah pertempuran dahsyat yang menyebabkan gugurnya Martoloyo dan Martopuro.

Dalam buku Tegal dari Masa ke Masa (1959), Suputro bahkan menulis figur Martoloyo lah yang dapat dianggap sebagai penjelmaan dari lambang Banteng Loreng Binoncengan.

Secuplik perlawanan lain juga direkam dalam buku Tegal Sepanjang Sejarah (1984) yang ditulis oleh Soemarno BA Dkk. Dengan semboyan Banteng Wareng Ingobyongan, rakyat Tegal secara revolusioner pernah menolak Demang Tirtanata yang dianggap tidak lebih hanya sekadar boneka dan sekutu Belanda, yang tentu ada maksud besar di balik penempatannya.

Semboyan Banteng Wareng Ingobyongan saya kira cukup dekat artinya dengan Banteng Loreng Binoncengan.

Selain kedua buku tersebut, Banteng Loreng Binoncengan juga sedikit diulas dalam Bagian Pendahuluan di buku One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah dalam Revolusi Indonesia (1989) maupun cetakan terbarunya berjudul Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi karya sejarawan dan peneliti asal Australia Anton Lucas.

Buku tersebut mengisahkan revolusi sosial yang terjadi di Tiga Derah yaitu Tegal, Brebes, dan Pemalang setelah proklamasi kemerdekaan berkumandang di Jakarta.

Saya pikir Anton memiliki alasan tertentu mengapa Banteng Loreng Binoncengan bersama persepsi kedaerahan lainnya disinggung dalam Bagian Pendahuluan buku tersebut, meskipun hanya beberapa paragraf saja.

Bisa jadi, peristiwa revolusi sosial yang digerakkan rakyat Tegal dengan tokoh utama Kutil menentang kepala desa, camat, wedana, bupati dan para pejabat lainnya untuk membalas tindakan-tindakan mereka pada masa penjajahan adalah mempersepsikan karakter rakyat Tegal yang akan melawan manakala dipimpin oleh orang yang memiliki sifat buruk.

Tegal juga lagi-lagi mencatatkan sejarah perlawanan. Pasca tumbangnya Orde Baru, euphoria Reformasi menjalar sampai Tegal. Ini terbukti ketika rakyat Tegal, dengan serangkaian demonstrasi dan pernyataan politik, berhasil menggulingkan Walikota M Zakir yang dianggap arogan dan melakukan praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).

Benang Merah

Melalui sejarah perlawanan yang bertaut dengan Banteng Loreng Binoncengan sebagai ungkapan, simbol, maupun falsafah lokal yang telah ditampilkan di atas, saya kira dapat ditarik benang merah untuk konsep kepemimpinan ideal di Tegal. Selain bermental bocah angon, pemimpin Tegal seyogyanya memiliki sifat baik dan bijaksana.

Antara lain misalnya tidak mau bersekutu dengan penjajah atau pihak-pihak yang berpotensi menyengsarakan rakyat. Kemudian, tidak menjadi boneka semata, yang dapat dimainkan orang atau golongan yang hanya memikirkan dirinya atau golongannya saja. Kemudian tidak otoriter atau arogan dan tidak melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Ini menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin menjadi pemimpin Tegal. Sebab, bukankah sejarah selalu berulang? Maka, sebuah kerugian bagi yang tidak mau belajar. (*)

Keterangan Gambar: Visualisasi Banteng Loreng Binoncengan diambil dari buku Tegal dari Masa ke Masa (1959) karya Suputro.

16 Feb 2024

Kisah Raja Mataram Islam dan Sembilan Pengikutnya

Di Kota Tegal terdapat ratusan makam yang telah berusia cukup tua dan dianggap keramat oleh warga. Makam-makam tersebut tersebar di empat kecamatan, salah satunya, Makam Mbah Depok yang berada di Jalan Samadikun, Kelurahan Tunon, Kecamatan Tegal Selatan, tidak jauh dari pusat kota yang berpenduduk dua ratus ribuan jiwa itu.

Suara angsa dari peternakan menggericau menyambut orang yang berziarah ke Makam Mbah Depok pagi itu, Selasa (30/1). Pohon-pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi ke langit memberikan keteduhan bagi peziarah. Sekitar lima puluh meter dari pintu masuk makam, ada sebuah pusara yang tampak menonjol dibandingkan dengan pusara lainnya.

Pusara berkeramik putih itu berada dalam sebuah gubug seluas dua kali dua meter. Gubug tanpa dinding beralaskan paving dan berpagar bambu tersebut memiliki empat pilar bangunan yang terbuat dari kayu gluguh. Pada bagian atapnya, menggunakan genteng dari tanah liat. Pusara tersebut ditandai dengan dua nisan kayu yang berbentuk mirip gada.

Orang mengenal pusara ini sebagai tempat bersemayamnya Mbah Depok, yang namanya dijadikan nama komplek makam. Dari cerita yang selama ini beredar, Mbah Depok disebut memiliki nama lain Kiai Haji Sulaiman bin Abdulloh Maruf yang berasal dari Sumatera. Namun, ada pula yang menyebut Mbah Depok dengan nama lain Kiai Abu Suud.

Beberapa waktu lalu, Jamiyah Arju Rohmah Kota Tegal yang dibina Ustaz Akrom Hafidz mengadakan Pentas Wayang Santri dengan Lakon Mbabar Mbah Depok yang diselenggarakan dalam acara pengajian rutin di rumah salah satu jamaah, Iwan Tempe. Tepatnya, pada Sabtu malam (27/1), dengan menghadirkan dalang Ki Tobat Surono.

Menurut Ki Tobat yang dikenal piawai melakonkan babad, pusara tersebut adalah petilasan Raja Pertama Mataram Islam Panembahan Senopati. “Alhamdulillah wasyukurillah, di Makam Depok adalah petilasan Mbah Mataram. Ada petilasan Panembahan Senopati di Kelurahan Tunon, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal,” ujar Ki Tobat.

Diceritakan, Panembahan Senopati adalah putra dari Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Dewi Sabinah. Pamanahan merupakan putra dari Ki Ageng Enis yang merupakan keturunan Ki Ageng Sela. Sedangkan Dewi Sabinah ialah putri dari Nyai Ageng Saba, kakak perempuan Ki Ageng Enis. Artinya, Pamanahan menikah dengan sepupunya sendiri.

Senopati memiliki nama kecil Raden Srubut dan Raden Danang. Setelah ngawula di Kraton Pajang, Raden Danang diangkat sebagai anak oleh Raja Pajang Sultan Hadiwijaya dan diberi tambahan nama Sutawijaya. Karena Pajang berselisih dengan Jipang, Danang Sutawijaya diberi tugas untuk menaklukkan penguasa Jipang Arya Penangsang.

Dengan media wayang golek, Ki Tobat mengisahkan geger Pajang dan Jipang. Penangsang memiliki sebuah pusaka yaitu Keris Setan Kober yang membuat dirinya sakti mandraguna. Kesaktian Penangsang kian paripurna karena memiliki kuda jantan tunggangan yang menjadi andalannya. Kuda jantan tersebut bernama Gagak Rimang.

Mengetahui seterunya sakti mandraguna, Hadiwijaya memberikan pusaka kepada Sutawijaya, yaitu Tombak Kiai Plered yang merupakan warisan dari Sunan Kalijaga. Sang sultan yang menguasai ilmu weruh sadurunge winarah mengetahui kelemahan Penangsang, yakni dengan membuat Gagak Rimang tidak patuh kepada tuannya itu.

Diaturlah strategi dengan membawa kuda betina yang masih perawan ke medan pertempuran. Siasat berhasil. Gagak Rimang kegirangan sampai-sampai tidak mau menuruti perintah tuannya. Kesempatan tersebut digunakan Sutawijaya untuk menusuk perut Penangsang menggunakan Tombak Kiai Plered hingga usus lawannya itu berhamburan.

Dasar memang orang sakti, ditusuk tombak bukannya mati. Penangsang justru menaruh usus yang berhamburan ke tombak yang menusuknya. Penangsang marah lalu mencabut tombak tersebut untuk menyerang Sutawijaya. Namun setelah dicabut, usus Penangsang justru putus dan akhirnya membuat pemimpin Jipang itu kehilangan nyawa.

Hadiwijaya lalu memberikan hadiah kepada Pamanahan berupa Alas Mentaok, sebagai imbalan karena telah berhasil mengalahkan Penangsang melalui tangan Sutawijaya. Alas Mentaok kemudian dibabat untuk didirikan sebuah pedukuhan yang lama kelamaan semakin ramai. Pedukuhan ini menjadi cikal bakal berdirinya Mataram Islam.

“Ngger, suatu saat Mataram muncul kembali. Daerah ini dinamakan Mataram,” pesan Pamanahan kepada sang putra, Sutawijaya, yang kelak menjadi Raja Pertama Mataram Islam dan menyandang gelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama, yang berarti menunjukkan seorang raja berkuasa atas pemerintahhan dan keagamaan.

“Ini cerita benar, saya kutip dari Kitab Wringin Sapto zaman Dewan Wali Sanga hasil gubahan Sunan Kalijaga untuk pengingat perjalanan sejarah agar jangan sampai terlupakan. Sumber yang lebih tua lagi adalah Serat Centhini dan Pararaton,” terang Ki Tobat yang kini menetap di Kelurahan Pesurungan Kidul, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.

Menurut Ki Tobat, Sutawijaya jauh-jauh datang ke Dusun Tunon untuk mengajarkan ilmu kepada sembilan pengikut setianya di sebuah padepokan. Karena itulah dinamakan Makam Mbah Depok, yang diambil dari kata padepokan. Di Makam Mbah Depok ini juga dapat dijumpai jejak sembilan pengikut setia Sutawijaya.

“Pengikutnya jumlahnya sembilan. Nisan yang bertuliskan aksara Jawa ada dua,” ucap Ki Tobat.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Radar Tegal bersama Penggerak Jamiyah Arju Rohmah Turah Untung, beberapa meter dari petilasan Mbah Depok dapat dijumpai beberapa makam bernisan kuno. Setelah dihitung, jumlahnya ada tujuh. “Yang dua kemungkinan rusak,” ucap Untung yang juga pernah menulis buku tentang makam-makam kuno di Kota Tegal.

Jika dilihat dari ukiran nisan yang beraksara Jawa itu, dapat terbaca tulisan nama yakni Mas Secadirana dan Mas Surahmat. Sedangkan lima lainnya belum terdeteksi identitasnya karena tidak terukir nama di nisannya. “Kami berharap Makam Mbah Depok bisa mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Kota Tegal,” harap Untung. (*)

*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal

6 Jul 2023

Jejak Pemerintahan Tegal di Kaloran

Estafet pemerintahan Tegal yang mula-mula berawal dari Kalisoka bergeser ke daerah pesisir. Sejarah mencatat kadipaten pernah berpusat di Kawasan Kaloran, Kota Tegal. Seperti apa kondisinya sekarang?

Jarum jam menunjukkan pukul 08.15. Suasana Pasar Pagi Kota Tegal mulai hiruk pikuk. Di salah satu sudut pasar Blok C, Nur, 55, duduk di sebuah kursi di depan lapaknya. Pedagang kebutuhan pokok asal Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, itu sedang menunggu pembeli yang datang untuk membeli dagangannya.

“Di sini sudah tidak terlalu ramai seperti di luar. Kebanyakan yang datang adalah pelanggan,” kata Nur kepada Radar Tegal, Kamis (13/4). Nur dan pedagang lainnya tidak banyak mengetahui tentang pasar rakyat yang mereka tempati dulunya adalah merupakan pusat pemerintahan kadipaten atau Komplek Keraton Kaloran.

Bangunan utama keraton telah rata dengan tanah, yang terlihat adalah lapak-lapak pedagang untuk berjualan daging ayam, ikan, kelapa, sayur, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Sementara di lantai atas, sebagian besar bangunan tidak ditempati, karena kontruksinya mengalami keretakan, sehingga tidak layak untuk tempat berjualan.

Para sejarawan sepakat bahwa pusat pemerintahan Tegal sempat berada di Kaloran sebelum berpindah ke Mangkukusuman. Sejarawan Yono Daryono mengatakan, sebelum menjadi pasar, Keraton Kaloran sempat menjadi Kantor DPU Kabupaten Tegal. Dahulu, di sana terdapat pendapa kadipaten. “Pendapa ada di situ, di Blok C. Lalu, sempat untuk Kantor DPU Kabupaten Tegal,” ungkap Yono.

Menurut Yono, hilangnya situs pusat pemerintahan di Kaloran karena proyek perluasan Pasar Pagi. “Saat zaman wali kota Zakir menurunkan blandar (rangkaian utama ari atap, Red) pendapa,” ujar Yono.

Sejarawan Wijanarto mengungkapkan, blandar kayu jati tersebut dipindah ke Rumah Dinas Bupati Tegal di zaman bupati Agus Riyanto. Wijanarto menyebut Keraton Kaloran sebagai perkampungan birokasi pegawai kadipaten, dengan pola pendapa diapit kampung-kampung yang merupakan kawasan untuk hunian pegawainya.

Bukti lain Kaloran menjadi pusat pemerintahan adalah adanya kampung-kampung di sekitar seperti Kampung Sentanan yang berasal dari kata sentono yang berarti prajurit. Kemudian, Kepatihan yang berada di wilayah Jalan HOS Cokroaminoto. Kepatihan adalah tempat tinggal patih. “Kemudian ada lagi Mangkukusuman dan Mandipuran,” ucap Wijanarto.

Sementara di pintu masuk Komplek Pasar Pagi terdapat gapura berbentuk benteng di kanan kiri. Gapura ini kerap disebut Benteng Kaloran. Namun, kebanyakan sejarawan menilai gapura tersebut dibangun kompeni, mengingat strukturnya yang mencirikan bangunan khas Eropa. Saat ini, gapura dimaksud difungsikan sebagai Pos Trantib Pasar Pagi dan Ruang Laktasi.

Pada saat pusat pemerintahan di Kaloran, menurut buku Tegal Sepanjang Sejarah yang ditulis Soemarno dan kawan-kawan, Tegal dipimpin seorang bupati dari Wangsa Reksonegoro, yaitu RM Panji Haji Cokronegoro atau yang kemudian dikenal Bupati Kaloran. Cokronegoro mengangkat senjata melawan kompeni karena tindakan kompeni merugikan Tegal.

Tegal dipaksa melunasi pajak yang diperbesar jumlahnya, tanah-tanah banyak dijual saat Daendels berkuasa. Cokronegoro bertambah sakit hati ketika kompeni menempatkan Tumenggung Sumodiwongso ke Tegal pada 1812. Sehingga, bupati Tegal saat itu rangkap. Cokronegoro akhirnya dapat ditangkap dan ditahan kompeni.

Perlawanan dilanjutkan oleh Tumenggung Surengrono yang masih setia. Tidak lama kemudian, Cokronegoro dapat meloloskan diri dan menyingkir ke Semedo hingga meninggal dan dimakamkan di sana. Makam bupati yang berada Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, itu diberi nama sebagai Makam Mbah Kaloran. (*)

*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal dengan judul Menilik Jejak Pusat Pemerintahan Tegal di Kaloran.

6 Apr 2023

Pangeran Panggung dan Geger Bumi Bintoro

Sejarah menggambarkan Mbah Panggung sebagai sosok yang dihukum karena ajarannya. Namun di sisi lain, diakui sebagai ulama yang dimuliakan oleh masyarakat. Kontradiksi ini mendorong seorang santri yang juga putra kiai, Firman Hadi, melakukan penelusuran. Gus Firhad, sapaan akrabnya, menemukan versi lain, berbeda dari cerita yang selama ini beredar.

Awal mula penyebaran agama Islam di Kota Tegal tidak terlepas dari figur Mbah Panggung. Dari catatan Babad Negari Tegal, ada beberapa keterangan mengenai Mbah Panggung. Pertama, adalah Pangeran Panggung yang merupakan putra dari Sunan Ampel yakni Sunan Drajat. Kedua, Pangeran Panggung yang merupakan putra dari Sunan Kalijaga.

Ketiga, putra Raden Fatah yang bernama Raden Kanduruhan. Keempat, paman dari Sultan Demak III. Kelima, putra Prabu Brawijaya V yang mempunyai nama Raden Panggung atau Abdurrahman. Cukup sulit menentukan siapa sebenarnya yang dimaksud Mbah Panggung. Informasi yang ada samar-samar karena kebanyakan bersumber dari tutur.

Masyarakat umumnya mengetahui Pangeran Panggung diterangkan sebagai murid dari Syekh Siti Jenar. Pangeran Panggung bahkan sering mengunjungi padepokan gurunya itu di Cirebon. Karena mengembangkan ajaran wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti yang dianggap membahayakan, Dewan Wali di Demak memutuskan menghukum mati Syekh Siti Jenar.

Alkisah, Pangeran Panggung sendiri memiliki dua pembantu bernama Iman dan Tokid, yang dalam pandangan manusia biasa terlihat berwujud dua ekor anjing. Keduanya selalu mengikuti Pangeran Panggung, termasuk ketika pergi ke masjid. Gegerlah masyarakat Bintoro. Penguasa Demak tidak tinggal diam. Pangeran Panggung dipanggil dan Sidang Dewan Wali memvonis hukuman dibakar.

Saat dihukum, Pangeran Panggung menuliskan pesan-pesan dan wasiatnya yang dikemas dalam bentuk tembang atau kidung. Pesan dan wasiat Pangeran Panggung tersebut dikenal Suluk Malang Sumirang. Isinya, sebuah piwulang agar para pemuda jangan lekas mengambil keputusan terhadap seseorang yang tampaknya menyalahi hukum.

Terkait tempat Pangeran Panggung dihukum terdapat dua pandangan. Pertama di Tegal dan kedua di Demak. Namun, ada yang berpendapat Pangeran Panggung moksa atau mintaraga, sehingga ada daerah yang sekarang disebut Mintaragen. Ada pula yang mempercayai Pangeran Panggung meninggal dunia karena usia tua, ditandai dengan adanya Makam Mbah Panggung di Kota Tegal.

Gus Firhad yang melakukan penelusuran sejak 2020 menyimpulkan terdapat tiga sosok Mbah Panggung yang berbeda. Mbah Panggung I adalah yang dikisahkan sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia putra dari Raden Kanduruhan. Menurut Gus Firhad, dalam Sidang Dewan Wali, Mbah Pangung I diberondong pertanyaan dan mampu menjawabnya.

Mbah Panggung tidak dihukum secara fisik seperti dibakar. “Pasca Sidang Dewan Wali, Mbah Panggung I tidak dihukum eksekusi seperti terpidana lain, tapi diasingkan,” kata Gus Firhad, Sabtu (2/4/2023).

Ke mana Mbah Panggung I diasingkan? Gus Firhad yang saat ini juga menjabat kepala Bidang Infrastruktur Informatika Diskominfo Kota Tegal menyebut Mbah Panggung I diasingkan ke hutan Bintoro yang masuk wilayah Kulonprogo dan dimakamkan di sana. Pada 2021, Gus Firhad telah berkunjung ke makam yang berada di Kabupaten Kulonprogo tersebut.

Untuk mengembalikan masyarakat yang tereduksi ajaran Mbah Panggung I, Demak di bawah kepemimpinan Sultan Trenggono mengutus ulama lain yang masih bagian dari Dewan Wali. Ditunjuklah Sunan Drajat, yang juga ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam ke daerah pesisir. Sunan Drajat disebut Gus Firhad sebagai Mbah Panggung II.

Tugas dakwah pesisiran Sunan Drajat tidak hanya fokus di Kota Tegal, tetapi menyeluruh ke wilayah pesisir. Karena itu, Sunan Drajat tidak bertahan lama di sini, karena visinya menyebarkan agama Islam lebih luas. Salah satu murid Sunan Drajat adalah Mbah Jati. Makam Mbah Jati berada di Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.

Sebagai pengganti untuk melanjutkan dakwah Sunan Drajat di Kota Tegal, Demak mengutus Syekh Abdurrahman, yang kemudian disebut Gus Firhad sebagai Mbah Panggung III. Mbah Panggung III inilah yang dimakamkan di Tempat Pemakaman Muslim Panggung, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, tepatnya di Jalan KH Mukhlas.

“Yang disarekan di Kota Tegal dalam versi saya adalah Mbah Panggung III,” ungkap Gus Firhad.

Makam Mbah Panggung III sampai sekarang banyak diziarahi masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Setiap tahun juga diadakan peringatan Khaul Mbah Panggung. Penelusuran lengkap Gus Firhad mengenai Mbah Panggung rencananya akan diterbitkan ke dalam sebuah buku yang diberi judul Panggil Aku Ki Ageng Panggung.

“Insya Allah akan diterbitkan bertepatan dengan Hari Santri,” ujar ketua Yayasan Insan Tebu Ireng Kota Tegal tersebut. (*)

*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal dengan judul Penelusuran Gus Firhad Tentang Tokoh Mbah Panggung