15 Jun 2024

Pokanjari Riwayatmu Kini

Kota Tegal mempunyai segudang daya tarik untuk  didatangi. Selain destinasi wisata pantai, kota ini menyuguhkan destinasi wisata kuliner yang rasanya juga wajib dikunjungi. 

Salah satunya Pondok Makan Jalan Teri atau Pokanjari yang berada di ujung utara kota, tepatnya di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat.

Gapura tua berdiri melintang di pintu masuk Jalan Teri. Dengan kondisi cat yang sudah lusuh dan mengelupas, pada gapura tersebut terukir tulisan Pondok Makan Jalan Teri (Pokanjari) Kodya Kota Tegal. Saat memasuki kawasan, dijumpai puluhan warung makan berjejer di jalan yang menghubungkan antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran itu.

Pokanjari merupakan merupakan pusat kuliner pertama di Kota Tegal dari hasil kebijakan formal Pemerintah Kodya Tegal. Wali Kota Tegal HM Zakir yang memimpin Kota Tegal dari 1989 sampai 1998 memindahkan para pedagang yang berjualan di pinggir jalan Kawasan Simpang Lampu Merah Gantung, karena dinilai semrawut.

Sebelum menjadi Pokanjari, Jalan Teri dulu dihiasi gubug liar. “Dulu di Perempatan Lampu Merah semrawut, sehingga pedagang dipindah ke sini,” kenang Tamba, 67, yang telah separuh abad menggantungkan hidupnya di Pokanjari saat berbincang dengan Radar Tegal sembari menikmati segelas teh di salah satu warung makan Pokanjari, Rabu (7/2/2024).

Puluhan tahun silam Tamba berjualan sayur di Pokanjari. Namun, kini usahanya itu dilanjutkan oleh anak perempuannya. Pedagang sayur dan kebutuhan pokok lainnya, termasuk anak perempuan Tamba itu, biasanya berjualan di Pokanjari pada pagi hari. Mereka masih bertahan sampai sekarang dan menempati ujung sebelah timur Jalan Teri.

Untuk warung makan, tidak semuanya berjualan pagi atau siang hari. Ada yang berniaga pada malam hari. Pada pagi atau siang hari dapat ditemui warung yang menjual makanan antara lain nasi rames, nasi gudeg, sampai bubur ayam. Pada malam harinya, makanan yang bisa ditemui di antaranya nasi grombyang, sate ayam, hingga swike.

Pokanjari memang tidak seramai dulu. Namun demikian, sejumlah warung makan yang tersisa mencoba terus eksis di pusat kuliner legendaris itu. Salah satunya, Warung Pak Naim yang dioperasikan Tati, 48. Warung makan yang dikelola Tati mengandalkan pelanggan siswa salah satu sekolah pelayaran yang persis ada di seberang warung.

Meskipun dekat pabrik dinamo dan perbengkelan Jalan Gajah Mada, kebanyakan karyawannya memesan catering untuk makan siang, atau memilih makan di tempat lain. Tati mengelola sendirian warungnya itu, karena apabila mengajak pembantu, pendapatannya tidak mencukupi untuk menggaji. “Di sini tidak bisa mengandalkan orang lewat,” ungkap Tati yang ingin Pokanjari kembali ramai seperti dulu.

Terpisah, Ahli Perancangan Kota Abdullah Sungkar menyampaikan, Pokanjari merupakan koridor jalan yang diupayakan menjadi pusat keramaian baru. Awalnya memang dianggap berhasil, namun seiring dengan perkembangan zaman terus terdegradasi. Penyebabnya diperkirakan karena kurangnya ragam kuliner yang ditawarkan dan ketiadaan lahan parkir yang memadai.

Selain itu, dikarenakan tren kuliner sistem francise ala kafe yang menjamur. Budaya dan tren kuliner saat ini sangat berbeda dengan tempo dulu, khususnya bagi generasi milenial sebagai kelompok konsumen pontensial. “Quality of life sebagai pengalaman dan gambaran yang melekat pada sebuah tempat bagi mereka yang mengunjungi Pokanjari tentu sudah akan sangat berbeda,” ujar Sungkar. (*)

Kota Tegal mempunyai segudang daya tarik untuk didatangi. Selain destinasi wisata pantai, kota ini menyuguhkan destinasi wisata kuliner yang rasanya juga wajib dikunjungi. Salah satu destinasi wisata kuliner tersebut adalah Pondok Makan Jalan Teri atau Pokanjari yang berada di ujung utara kota, tepatnya di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat.

Gapura tua berdiri melintang di pintu masuk Jalan Teri. Dengan kondisi cat yang sudah lusuh dan mengelupas, pada gapura tersebut terukir tulisan Pondok Makan Jalan Teri (Pokanjari) Kodya Kota Tegal. Saat memasuki kawasan, dijumpai puluhan warung makan berjejer di jalan yang menghubungkan antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran itu.

Pokanjari merupakan merupakan pusat kuliner pertama di Kota Tegal dari hasil kebijakan formal Pemerintah Kodya Tegal. Wali Kota Tegal HM Zakir yang memimpin Kota Tegal dari 1989 sampai 1998 memindahkan para pedagang yang berjualan di pinggir jalan Kawasan Simpang Lampu Merah Gantung, karena dinilai semrawut.

Sebelum menjadi Pokanjari, Jalan Teri dulu dihiasi gubug liar. “Dulu di Perempatan Lampu Merah semrawut, sehingga pedagang dipindah ke sini,” kenang Tamba, 67, yang telah separuh abad menggantungkan hidupnya di Pokanjari saat berbincang dengan Radar Tegal sembari menikmati segelas teh di salah satu warung makan Pokanjari, Rabu (7/2/2024).

Puluhan tahun silam Tamba berjualan sayur di Pokanjari. Namun, kini usahanya itu dilanjutkan oleh anak perempuannya. Pedagang sayur dan kebutuhan pokok lainnya, termasuk anak perempuan Tamba itu, biasanya berjualan di Pokanjari pada pagi hari. Mereka masih bertahan sampai sekarang dan menempati ujung sebelah timur Jalan Teri.

Untuk warung makan, tidak semuanya berjualan pagi atau siang hari. Ada yang berniaga pada malam hari. Pada pagi atau siang hari dapat ditemui warung yang menjual makanan antara lain nasi rames, nasi gudeg, sampai bubur ayam. Pada malam harinya, makanan yang bisa ditemui di antaranya nasi grombyang, sate ayam, hingga swike.

Pokanjari memang tidak seramai dulu. Namun demikian, sejumlah warung makan yang tersisa mencoba terus eksis di pusat kuliner legendaris itu. Salah satunya, Warung Pak Naim yang dioperasikan Tati, 48. Warung makan yang dikelola Tati mengandalkan pelanggan siswa salah satu sekolah pelayaran yang persis ada di seberang warung.

Meskipun dekat pabrik dinamo dan perbengkelan Jalan Gajah Mada, kebanyakan karyawannya memesan catering untuk makan siang, atau memilih makan di tempat lain. Tati mengelola sendirian warungnya itu, karena apabila mengajak pembantu, pendapatannya tidak mencukupi untuk menggaji. “Di sini tidak bisa mengandalkan orang lewat,” ungkap Tati yang ingin Pokanjari kembali ramai seperti dulu.

Terpisah, Ahli Perancangan Kota Abdullah Sungkar menyampaikan, Pokanjari merupakan koridor jalan yang diupayakan menjadi pusat keramaian baru. Awalnya memang dianggap berhasil, namun seiring dengan perkembangan zaman terus terdegradasi. Penyebabnya diperkirakan karena kurangnya ragam kuliner yang ditawarkan dan ketiadaan lahan parkir yang memadai.

Selain itu, dikarenakan tren kuliner sistem francise ala kafe yang menjamur. Budaya dan tren kuliner saat ini sangat berbeda dengan tempo dulu, khususnya bagi generasi milenial sebagai kelompok konsumen pontensial. “Quality of life sebagai pengalaman dan gambaran yang melekat pada sebuah tempat bagi mereka yang mengunjungi Pokanjari tentu sudah akan sangat berbeda,” ujar Sungkar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar