Di atas atap gapura, patung dua naga berwarna hijau terlihat saling berhadapan dan di tengahnya terdapat patung berbentuk lingkaran dengan aksen bara api.
Patung dua naga berwarna hijau dan patung menyerupai bola api juga tampak bernaung di atas atap kelenteng. Di pintu masuk, berdiri dua patung singa yang seolah menjadi penjaga. Saat masuk ke dalam, altar utama langsung menyambut pengunjung. Di sanalah tempat pemujaan bagi dewa utama atau tuan rumah dari klenteng ini: Tek Hay Cin Jin.
Keberadaan Kelenteng Tek Hay Kiong di Jalan Gurami, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Menurut catatan, kelenteng bernama Kelenteng Tek Hay Kiong itu ada sejak abad ke-18. Kelenteng ini tidak terlepas dari kisah Kwee Lak Kwa, seorang tokoh Tionghoa yang ikut berjuang melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) saat terjadi pembantaian etnis Tionghoa di Batavia atau yang dikenal dengan peristiwa Geger Pacinan.
Kwee Lak Kwa bergerilya dan terdesak hingga ke Tegal. Di daerah yang disinggahinya itu, Kwee Lak Kwa suka menolong dan membaur dengan penduduk setempat. Kwee Lak Kwa mengajarkan metode bercocok tanam dan mencari ikan yang baik. “Di tempat yang disinggahi, beliau sering menolong, serta mengajarkan bercocok tanam dan menangkap ikan,” kata Rohaniwan Kelenteng Tek Hay Kiong Chen Li Wei Dao Chang tengah pekan lalu.
Ada sejumlah versi yang menceritakan kepergian Kwee Lak Kwa. Pertama, Kwee Lak Kwa berlayar entah ke mana dan tidak pernah kembali. Kedua, mencapai moksa. Setelah menghilang, Kwee Lak Kwa sering muncul secara bersamaan di beberapa tempat yang berjauhan. Dia juga kerap menampakkan diri pada nelayan-nelayan di Tegal untuk memberi petunjuk.
Atas jasa-jasanya itu, penduduk membangun sebuah kelenteng untuk menghormati Kwee Lak Kwa yang bergelar Tek Hay Cin Jin. Kelenteng itu dinamai Cin Jin Bio. Setelah Cin Jin Bio dibangun pada 1760 di masa Opsir Tionghoa Kapiten Souw Pek Gwan, dalam perkembangannya, Cin Jin Bio dilaporkan banyak mengalami kerusakaan pada bagian tembok.
Karena itu, Cin Jin Bio direstorasi pertama kali oleh Opsir Tionghoa Kapiten Tan Koen Hway yaitu pada 1837. Restorasi dilakukan dengan mempertahankan bentuk aslinya dan namanya diubah menjadi Tek Hay Kiong. Sejumlah peralatan sembahyang masih bertahan sejak 1837, di antaranya meja dan tempat dupa. Selain itu, juga papan nama.
“Ini ada tahunnya,” ucap Chen Li Wei Dao Chang sembari memperlihatkan ukiran tahun di meja sembahyang.
Di dalam kelenteng juga terdapat prasasti yang menerangkan bahwa dilakukan restorasi kelenteng yang disumbang oleh Kapiten Tan Koen Hway, Mayor Batavia, Mayor Semarang, dan sejumlah letnan di Tegal. Kapiten Tan Koen Hway menyumbang secara pribadi sebesar 1.000 Gulden, Mayor Batavia 200 Gulden, dan Mayor Semarang 200 Gulden.
Kebajikan Tek Hay Cin Jin terabadikan dalam papan syair pujian yang masih terpasang di salah satu sudut kelenteng. Pada papan syair tersebut tertulis syair pujian dengan huruf Mandarin. “Tek Hay Cin Jin mempunyai kebajikan yang disebarkan untuk masyarakat di pesisir dari tempat ini,” ucap Chen Li Wei Dao Chang menerjemahkan syair dengan Bahasa Mandarin itu.
Seiring berjalannya waktu, terjadi kerusuhan etnis di Bumiayu pada 1940-an. Kala itu, Kelenteng Tek Hay Kiong dijadikan sebagai tempat pengungsian warga Tionghoa dari Bumiayu. Kelenteng ini juga menyimpan Patung Dewa dari Kelenteng Pesayangan. Artinya, dulu di Desa Pesayangan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, pernah ada sebuah kelenteng.
“Ada dokumen yang menyebutkan bahwa pada 1949 pengurus kelenteng meminta Wedana Adiwerna membangun kembali kelenteng,” ucap Chen Li Wei Dao Chang.
Selain itu, kelenteng ini juga memiliki Gamelan Pusaka Kiai Nagamulya yang dibuat pada 1861, sesuai tahun yang terukir. Gamelan tersebut bukan gamelan sembarangan. “Ini bukan gamelan receh. Gamelan ini memiliki nilai seni tinggi. Salah satu gamelan berkualitas di luar keraton, kata orang keraton yang pernah ke sini,” ungkap Chen Li Wei Dao Chang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar