Sejarah menggambarkan Mbah Panggung sebagai sosok yang dihukum karena ajarannya. Namun di sisi lain, diakui sebagai ulama yang dimuliakan oleh masyarakat. Kontradiksi ini mendorong seorang santri yang juga putra kiai, Firman Hadi, melakukan penelusuran. Gus Firhad, sapaan akrabnya, menemukan versi lain, berbeda dari cerita yang selama ini beredar.
Awal mula penyebaran agama Islam di Kota Tegal tidak terlepas dari figur Mbah Panggung. Dari catatan Babad Negari Tegal, ada beberapa keterangan mengenai Mbah Panggung. Pertama, adalah Pangeran Panggung yang merupakan putra dari Sunan Ampel yakni Sunan Drajat. Kedua, Pangeran Panggung yang merupakan putra dari Sunan Kalijaga.
Ketiga, putra Raden Fatah yang bernama Raden Kanduruhan. Keempat, paman dari Sultan Demak III. Kelima, putra Prabu Brawijaya V yang mempunyai nama Raden Panggung atau Abdurrahman. Cukup sulit menentukan siapa sebenarnya yang dimaksud Mbah Panggung. Informasi yang ada samar-samar karena kebanyakan bersumber dari tutur.
Masyarakat umumnya mengetahui Pangeran Panggung diterangkan sebagai murid dari Syekh Siti Jenar. Pangeran Panggung bahkan sering mengunjungi padepokan gurunya itu di Cirebon. Karena mengembangkan ajaran wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti yang dianggap membahayakan, Dewan Wali di Demak memutuskan menghukum mati Syekh Siti Jenar.
Alkisah, Pangeran Panggung sendiri memiliki dua pembantu bernama Iman dan Tokid, yang dalam pandangan manusia biasa terlihat berwujud dua ekor anjing. Keduanya selalu mengikuti Pangeran Panggung, termasuk ketika pergi ke masjid. Gegerlah masyarakat Bintoro. Penguasa Demak tidak tinggal diam. Pangeran Panggung dipanggil dan Sidang Dewan Wali memvonis hukuman dibakar.
Saat dihukum, Pangeran Panggung menuliskan pesan-pesan dan wasiatnya yang dikemas dalam bentuk tembang atau kidung. Pesan dan wasiat Pangeran Panggung tersebut dikenal Suluk Malang Sumirang. Isinya, sebuah piwulang agar para pemuda jangan lekas mengambil keputusan terhadap seseorang yang tampaknya menyalahi hukum.
Terkait tempat Pangeran Panggung dihukum terdapat dua pandangan. Pertama di Tegal dan kedua di Demak. Namun, ada yang berpendapat Pangeran Panggung moksa atau mintaraga, sehingga ada daerah yang sekarang disebut Mintaragen. Ada pula yang mempercayai Pangeran Panggung meninggal dunia karena usia tua, ditandai dengan adanya Makam Mbah Panggung di Kota Tegal.
Gus Firhad yang melakukan penelusuran sejak 2020 menyimpulkan terdapat tiga sosok Mbah Panggung yang berbeda. Mbah Panggung I adalah yang dikisahkan sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia putra dari Raden Kanduruhan. Menurut Gus Firhad, dalam Sidang Dewan Wali, Mbah Pangung I diberondong pertanyaan dan mampu menjawabnya.
Mbah Panggung tidak dihukum secara fisik seperti dibakar. “Pasca Sidang Dewan Wali, Mbah Panggung I tidak dihukum eksekusi seperti terpidana lain, tapi diasingkan,” kata Gus Firhad, Sabtu (2/4/2023).
Ke mana Mbah Panggung I diasingkan? Gus Firhad yang saat ini juga menjabat kepala Bidang Infrastruktur Informatika Diskominfo Kota Tegal menyebut Mbah Panggung I diasingkan ke hutan Bintoro yang masuk wilayah Kulonprogo dan dimakamkan di sana. Pada 2021, Gus Firhad telah berkunjung ke makam yang berada di Kabupaten Kulonprogo tersebut.
Untuk mengembalikan masyarakat yang tereduksi ajaran Mbah Panggung I, Demak di bawah kepemimpinan Sultan Trenggono mengutus ulama lain yang masih bagian dari Dewan Wali. Ditunjuklah Sunan Drajat, yang juga ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam ke daerah pesisir. Sunan Drajat disebut Gus Firhad sebagai Mbah Panggung II.
Tugas dakwah pesisiran Sunan Drajat tidak hanya fokus di Kota Tegal, tetapi menyeluruh ke wilayah pesisir. Karena itu, Sunan Drajat tidak bertahan lama di sini, karena visinya menyebarkan agama Islam lebih luas. Salah satu murid Sunan Drajat adalah Mbah Jati. Makam Mbah Jati berada di Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
Sebagai pengganti untuk melanjutkan dakwah Sunan Drajat di Kota Tegal, Demak mengutus Syekh Abdurrahman, yang kemudian disebut Gus Firhad sebagai Mbah Panggung III. Mbah Panggung III inilah yang dimakamkan di Tempat Pemakaman Muslim Panggung, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, tepatnya di Jalan KH Mukhlas.
“Yang disarekan di Kota Tegal dalam versi saya adalah Mbah Panggung III,” ungkap Gus Firhad.
Makam Mbah Panggung III sampai sekarang banyak diziarahi masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Setiap tahun juga diadakan peringatan Khaul Mbah Panggung. Penelusuran lengkap Gus Firhad mengenai Mbah Panggung rencananya akan diterbitkan ke dalam sebuah buku yang diberi judul Panggil Aku Ki Ageng Panggung.
“Insya Allah akan diterbitkan bertepatan dengan Hari Santri,” ujar ketua Yayasan Insan Tebu Ireng Kota Tegal tersebut. (*)
*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal dengan judul Penelusuran Gus Firhad Tentang Tokoh Mbah Panggung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar