16 Feb 2024

Kisah Raja Mataram Islam dan Sembilan Pengikutnya

Di Kota Tegal terdapat ratusan makam yang telah berusia cukup tua dan dianggap keramat oleh warga. Makam-makam tersebut tersebar di empat kecamatan, salah satunya, Makam Mbah Depok yang berada di Jalan Samadikun, Kelurahan Tunon, Kecamatan Tegal Selatan, tidak jauh dari pusat kota yang berpenduduk dua ratus ribuan jiwa itu.

Suara angsa dari peternakan menggericau menyambut orang yang berziarah ke Makam Mbah Depok pagi itu, Selasa (30/1). Pohon-pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi ke langit memberikan keteduhan bagi peziarah. Sekitar lima puluh meter dari pintu masuk makam, ada sebuah pusara yang tampak menonjol dibandingkan dengan pusara lainnya.

Pusara berkeramik putih itu berada dalam sebuah gubug seluas dua kali dua meter. Gubug tanpa dinding beralaskan paving dan berpagar bambu tersebut memiliki empat pilar bangunan yang terbuat dari kayu gluguh. Pada bagian atapnya, menggunakan genteng dari tanah liat. Pusara tersebut ditandai dengan dua nisan kayu yang berbentuk mirip gada.

Orang mengenal pusara ini sebagai tempat bersemayamnya Mbah Depok, yang namanya dijadikan nama komplek makam. Dari cerita yang selama ini beredar, Mbah Depok disebut memiliki nama lain Kiai Haji Sulaiman bin Abdulloh Maruf yang berasal dari Sumatera. Namun, ada pula yang menyebut Mbah Depok dengan nama lain Kiai Abu Suud.

Beberapa waktu lalu, Jamiyah Arju Rohmah Kota Tegal yang dibina Ustaz Akrom Hafidz mengadakan Pentas Wayang Santri dengan Lakon Mbabar Mbah Depok yang diselenggarakan dalam acara pengajian rutin di rumah salah satu jamaah, Iwan Tempe. Tepatnya, pada Sabtu malam (27/1), dengan menghadirkan dalang Ki Tobat Surono.

Menurut Ki Tobat yang dikenal piawai melakonkan babad, pusara tersebut adalah petilasan Raja Pertama Mataram Islam Panembahan Senopati. “Alhamdulillah wasyukurillah, di Makam Depok adalah petilasan Mbah Mataram. Ada petilasan Panembahan Senopati di Kelurahan Tunon, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal,” ujar Ki Tobat.

Diceritakan, Panembahan Senopati adalah putra dari Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Dewi Sabinah. Pamanahan merupakan putra dari Ki Ageng Enis yang merupakan keturunan Ki Ageng Sela. Sedangkan Dewi Sabinah ialah putri dari Nyai Ageng Saba, kakak perempuan Ki Ageng Enis. Artinya, Pamanahan menikah dengan sepupunya sendiri.

Senopati memiliki nama kecil Raden Srubut dan Raden Danang. Setelah ngawula di Kraton Pajang, Raden Danang diangkat sebagai anak oleh Raja Pajang Sultan Hadiwijaya dan diberi tambahan nama Sutawijaya. Karena Pajang berselisih dengan Jipang, Danang Sutawijaya diberi tugas untuk menaklukkan penguasa Jipang Arya Penangsang.

Dengan media wayang golek, Ki Tobat mengisahkan geger Pajang dan Jipang. Penangsang memiliki sebuah pusaka yaitu Keris Setan Kober yang membuat dirinya sakti mandraguna. Kesaktian Penangsang kian paripurna karena memiliki kuda jantan tunggangan yang menjadi andalannya. Kuda jantan tersebut bernama Gagak Rimang.

Mengetahui seterunya sakti mandraguna, Hadiwijaya memberikan pusaka kepada Sutawijaya, yaitu Tombak Kiai Plered yang merupakan warisan dari Sunan Kalijaga. Sang sultan yang menguasai ilmu weruh sadurunge winarah mengetahui kelemahan Penangsang, yakni dengan membuat Gagak Rimang tidak patuh kepada tuannya itu.

Diaturlah strategi dengan membawa kuda betina yang masih perawan ke medan pertempuran. Siasat berhasil. Gagak Rimang kegirangan sampai-sampai tidak mau menuruti perintah tuannya. Kesempatan tersebut digunakan Sutawijaya untuk menusuk perut Penangsang menggunakan Tombak Kiai Plered hingga usus lawannya itu berhamburan.

Dasar memang orang sakti, ditusuk tombak bukannya mati. Penangsang justru menaruh usus yang berhamburan ke tombak yang menusuknya. Penangsang marah lalu mencabut tombak tersebut untuk menyerang Sutawijaya. Namun setelah dicabut, usus Penangsang justru putus dan akhirnya membuat pemimpin Jipang itu kehilangan nyawa.

Hadiwijaya lalu memberikan hadiah kepada Pamanahan berupa Alas Mentaok, sebagai imbalan karena telah berhasil mengalahkan Penangsang melalui tangan Sutawijaya. Alas Mentaok kemudian dibabat untuk didirikan sebuah pedukuhan yang lama kelamaan semakin ramai. Pedukuhan ini menjadi cikal bakal berdirinya Mataram Islam.

“Ngger, suatu saat Mataram muncul kembali. Daerah ini dinamakan Mataram,” pesan Pamanahan kepada sang putra, Sutawijaya, yang kelak menjadi Raja Pertama Mataram Islam dan menyandang gelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama, yang berarti menunjukkan seorang raja berkuasa atas pemerintahhan dan keagamaan.

“Ini cerita benar, saya kutip dari Kitab Wringin Sapto zaman Dewan Wali Sanga hasil gubahan Sunan Kalijaga untuk pengingat perjalanan sejarah agar jangan sampai terlupakan. Sumber yang lebih tua lagi adalah Serat Centhini dan Pararaton,” terang Ki Tobat yang kini menetap di Kelurahan Pesurungan Kidul, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.

Menurut Ki Tobat, Sutawijaya jauh-jauh datang ke Dusun Tunon untuk mengajarkan ilmu kepada sembilan pengikut setianya di sebuah padepokan. Karena itulah dinamakan Makam Mbah Depok, yang diambil dari kata padepokan. Di Makam Mbah Depok ini juga dapat dijumpai jejak sembilan pengikut setia Sutawijaya.

“Pengikutnya jumlahnya sembilan. Nisan yang bertuliskan aksara Jawa ada dua,” ucap Ki Tobat.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Radar Tegal bersama Penggerak Jamiyah Arju Rohmah Turah Untung, beberapa meter dari petilasan Mbah Depok dapat dijumpai beberapa makam bernisan kuno. Setelah dihitung, jumlahnya ada tujuh. “Yang dua kemungkinan rusak,” ucap Untung yang juga pernah menulis buku tentang makam-makam kuno di Kota Tegal.

Jika dilihat dari ukiran nisan yang beraksara Jawa itu, dapat terbaca tulisan nama yakni Mas Secadirana dan Mas Surahmat. Sedangkan lima lainnya belum terdeteksi identitasnya karena tidak terukir nama di nisannya. “Kami berharap Makam Mbah Depok bisa mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Kota Tegal,” harap Untung. (*)

*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal

6 Jul 2023

Jejak Pemerintahan Tegal di Kaloran

Estafet pemerintahan Tegal yang mula-mula berawal dari Kalisoka bergeser ke daerah pesisir. Sejarah mencatat kadipaten pernah berpusat di Kawasan Kaloran, Kota Tegal. Seperti apa kondisinya sekarang?

Jarum jam menunjukkan pukul 08.15. Suasana Pasar Pagi Kota Tegal mulai hiruk pikuk. Di salah satu sudut pasar Blok C, Nur, 55, duduk di sebuah kursi di depan lapaknya. Pedagang kebutuhan pokok asal Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, itu sedang menunggu pembeli yang datang untuk membeli dagangannya.

“Di sini sudah tidak terlalu ramai seperti di luar. Kebanyakan yang datang adalah pelanggan,” kata Nur kepada Radar Tegal, Kamis (13/4). Nur dan pedagang lainnya tidak banyak mengetahui tentang pasar rakyat yang mereka tempati dulunya adalah merupakan pusat pemerintahan kadipaten atau Komplek Keraton Kaloran.

Bangunan utama keraton telah rata dengan tanah, yang terlihat adalah lapak-lapak pedagang untuk berjualan daging ayam, ikan, kelapa, sayur, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Sementara di lantai atas, sebagian besar bangunan tidak ditempati, karena kontruksinya mengalami keretakan, sehingga tidak layak untuk tempat berjualan.

Para sejarawan sepakat bahwa pusat pemerintahan Tegal sempat berada di Kaloran sebelum berpindah ke Mangkukusuman. Sejarawan Yono Daryono mengatakan, sebelum menjadi pasar, Keraton Kaloran sempat menjadi Kantor DPU Kabupaten Tegal. Dahulu, di sana terdapat pendapa kadipaten. “Pendapa ada di situ, di Blok C. Lalu, sempat untuk Kantor DPU Kabupaten Tegal,” ungkap Yono.

Menurut Yono, hilangnya situs pusat pemerintahan di Kaloran karena proyek perluasan Pasar Pagi. “Saat zaman wali kota Zakir menurunkan blandar (rangkaian utama ari atap, Red) pendapa,” ujar Yono.

Sejarawan Wijanarto mengungkapkan, blandar kayu jati tersebut dipindah ke Rumah Dinas Bupati Tegal di zaman bupati Agus Riyanto. Wijanarto menyebut Keraton Kaloran sebagai perkampungan birokasi pegawai kadipaten, dengan pola pendapa diapit kampung-kampung yang merupakan kawasan untuk hunian pegawainya.

Bukti lain Kaloran menjadi pusat pemerintahan adalah adanya kampung-kampung di sekitar seperti Kampung Sentanan yang berasal dari kata sentono yang berarti prajurit. Kemudian, Kepatihan yang berada di wilayah Jalan HOS Cokroaminoto. Kepatihan adalah tempat tinggal patih. “Kemudian ada lagi Mangkukusuman dan Mandipuran,” ucap Wijanarto.

Sementara di pintu masuk Komplek Pasar Pagi terdapat gapura berbentuk benteng di kanan kiri. Gapura ini kerap disebut Benteng Kaloran. Namun, kebanyakan sejarawan menilai gapura tersebut dibangun kompeni, mengingat strukturnya yang mencirikan bangunan khas Eropa. Saat ini, gapura dimaksud difungsikan sebagai Pos Trantib Pasar Pagi dan Ruang Laktasi.

Pada saat pusat pemerintahan di Kaloran, menurut buku Tegal Sepanjang Sejarah yang ditulis Soemarno dan kawan-kawan, Tegal dipimpin seorang bupati dari Wangsa Reksonegoro, yaitu RM Panji Haji Cokronegoro atau yang kemudian dikenal Bupati Kaloran. Cokronegoro mengangkat senjata melawan kompeni karena tindakan kompeni merugikan Tegal.

Tegal dipaksa melunasi pajak yang diperbesar jumlahnya, tanah-tanah banyak dijual saat Daendels berkuasa. Cokronegoro bertambah sakit hati ketika kompeni menempatkan Tumenggung Sumodiwongso ke Tegal pada 1812. Sehingga, bupati Tegal saat itu rangkap. Cokronegoro akhirnya dapat ditangkap dan ditahan kompeni.

Perlawanan dilanjutkan oleh Tumenggung Surengrono yang masih setia. Tidak lama kemudian, Cokronegoro dapat meloloskan diri dan menyingkir ke Semedo hingga meninggal dan dimakamkan di sana. Makam bupati yang berada Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, itu diberi nama sebagai Makam Mbah Kaloran. (*)

*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal dengan judul Menilik Jejak Pusat Pemerintahan Tegal di Kaloran.

6 Apr 2023

Pangeran Panggung dan Geger Bumi Bintoro

Sejarah menggambarkan Mbah Panggung sebagai sosok yang dihukum karena ajarannya. Namun di sisi lain, diakui sebagai ulama yang dimuliakan oleh masyarakat. Kontradiksi ini mendorong seorang santri yang juga putra kiai, Firman Hadi, melakukan penelusuran. Gus Firhad, sapaan akrabnya, menemukan versi lain, berbeda dari cerita yang selama ini beredar.

Awal mula penyebaran agama Islam di Kota Tegal tidak terlepas dari figur Mbah Panggung. Dari catatan Babad Negari Tegal, ada beberapa keterangan mengenai Mbah Panggung. Pertama, adalah Pangeran Panggung yang merupakan putra dari Sunan Ampel yakni Sunan Drajat. Kedua, Pangeran Panggung yang merupakan putra dari Sunan Kalijaga.

Ketiga, putra Raden Fatah yang bernama Raden Kanduruhan. Keempat, paman dari Sultan Demak III. Kelima, putra Prabu Brawijaya V yang mempunyai nama Raden Panggung atau Abdurrahman. Cukup sulit menentukan siapa sebenarnya yang dimaksud Mbah Panggung. Informasi yang ada samar-samar karena kebanyakan bersumber dari tutur.

Masyarakat umumnya mengetahui Pangeran Panggung diterangkan sebagai murid dari Syekh Siti Jenar. Pangeran Panggung bahkan sering mengunjungi padepokan gurunya itu di Cirebon. Karena mengembangkan ajaran wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti yang dianggap membahayakan, Dewan Wali di Demak memutuskan menghukum mati Syekh Siti Jenar.

Alkisah, Pangeran Panggung sendiri memiliki dua pembantu bernama Iman dan Tokid, yang dalam pandangan manusia biasa terlihat berwujud dua ekor anjing. Keduanya selalu mengikuti Pangeran Panggung, termasuk ketika pergi ke masjid. Gegerlah masyarakat Bintoro. Penguasa Demak tidak tinggal diam. Pangeran Panggung dipanggil dan Sidang Dewan Wali memvonis hukuman dibakar.

Saat dihukum, Pangeran Panggung menuliskan pesan-pesan dan wasiatnya yang dikemas dalam bentuk tembang atau kidung. Pesan dan wasiat Pangeran Panggung tersebut dikenal Suluk Malang Sumirang. Isinya, sebuah piwulang agar para pemuda jangan lekas mengambil keputusan terhadap seseorang yang tampaknya menyalahi hukum.

Terkait tempat Pangeran Panggung dihukum terdapat dua pandangan. Pertama di Tegal dan kedua di Demak. Namun, ada yang berpendapat Pangeran Panggung moksa atau mintaraga, sehingga ada daerah yang sekarang disebut Mintaragen. Ada pula yang mempercayai Pangeran Panggung meninggal dunia karena usia tua, ditandai dengan adanya Makam Mbah Panggung di Kota Tegal.

Gus Firhad yang melakukan penelusuran sejak 2020 menyimpulkan terdapat tiga sosok Mbah Panggung yang berbeda. Mbah Panggung I adalah yang dikisahkan sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia putra dari Raden Kanduruhan. Menurut Gus Firhad, dalam Sidang Dewan Wali, Mbah Pangung I diberondong pertanyaan dan mampu menjawabnya.

Mbah Panggung tidak dihukum secara fisik seperti dibakar. “Pasca Sidang Dewan Wali, Mbah Panggung I tidak dihukum eksekusi seperti terpidana lain, tapi diasingkan,” kata Gus Firhad, Sabtu (2/4/2023).

Ke mana Mbah Panggung I diasingkan? Gus Firhad yang saat ini juga menjabat kepala Bidang Infrastruktur Informatika Diskominfo Kota Tegal menyebut Mbah Panggung I diasingkan ke hutan Bintoro yang masuk wilayah Kulonprogo dan dimakamkan di sana. Pada 2021, Gus Firhad telah berkunjung ke makam yang berada di Kabupaten Kulonprogo tersebut.

Untuk mengembalikan masyarakat yang tereduksi ajaran Mbah Panggung I, Demak di bawah kepemimpinan Sultan Trenggono mengutus ulama lain yang masih bagian dari Dewan Wali. Ditunjuklah Sunan Drajat, yang juga ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam ke daerah pesisir. Sunan Drajat disebut Gus Firhad sebagai Mbah Panggung II.

Tugas dakwah pesisiran Sunan Drajat tidak hanya fokus di Kota Tegal, tetapi menyeluruh ke wilayah pesisir. Karena itu, Sunan Drajat tidak bertahan lama di sini, karena visinya menyebarkan agama Islam lebih luas. Salah satu murid Sunan Drajat adalah Mbah Jati. Makam Mbah Jati berada di Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.

Sebagai pengganti untuk melanjutkan dakwah Sunan Drajat di Kota Tegal, Demak mengutus Syekh Abdurrahman, yang kemudian disebut Gus Firhad sebagai Mbah Panggung III. Mbah Panggung III inilah yang dimakamkan di Tempat Pemakaman Muslim Panggung, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, tepatnya di Jalan KH Mukhlas.

“Yang disarekan di Kota Tegal dalam versi saya adalah Mbah Panggung III,” ungkap Gus Firhad.

Makam Mbah Panggung III sampai sekarang banyak diziarahi masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Setiap tahun juga diadakan peringatan Khaul Mbah Panggung. Penelusuran lengkap Gus Firhad mengenai Mbah Panggung rencananya akan diterbitkan ke dalam sebuah buku yang diberi judul Panggil Aku Ki Ageng Panggung.

“Insya Allah akan diterbitkan bertepatan dengan Hari Santri,” ujar ketua Yayasan Insan Tebu Ireng Kota Tegal tersebut. (*)

*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal dengan judul Penelusuran Gus Firhad Tentang Tokoh Mbah Panggung

12 Okt 2020

Menjaga Eksistensi Batik Tegalan

Warga belajar membatik di Griya Batik, Rabu (30/9)  

Ibu-ibu dari Kelurahan Debong Kidul, Kecamatan  Tegal Selatan, Kota Tegal, duduk berjarak di Griya Batik Cempaka Mulya, Jalan Teuku Cik Ditiro, Rabu (30/9/2020). 

Meski baru pertama kali, jemari mereka seperti sudah terlatih mengarahkan canting di atas kain putih. Dari Griya Batik tersebut, semangat menjaga eksistensi Batik Tegalan terlihat menggelora.

“Saya ingin Batik Tegalan tidak punah,” kata Nurjanah, 45, yang turut belajar membatik bersama warga kelurahannya yang lain. Nurjanah berujar, berbeda dengan memasak, membatik membutuhkan keterampilan khusus. Perempuan berhijab ini berkeinginan Kota Tegal tidak hanya terkenal dengan wartegnya, tetapi juga Batik Tegalan sebagai ikon daerah.

Tak hanya ibu-ibu, niat belajar membatik juga datang dari generasi milenial. Salah satunya, Siti Nurfalah, 23. Sebagai pemula, Nurfalah mengaku awalnya membatik susah. Namun, dia antusias dan ketertarikannya terhadap Batik Tegalan semakin bertambah. “Ada yang mengira batik hanya pantas dipakai orang tua, tetapi sebenarnya dari kalangan muda banyak peminatnya,” ungkap Nurfalah.

Kecamatan Tegal Selatan merupakan sentra Batik Tegalan yang dipunyai Kota Tegal. Menurut Perajin Batik Tegalan sekaligus Ketua Koperasi Cempaka Mulya Sri Rejeki, sejarah kecamatan tersebut menjadi sentra Batik Tegalan tidak dapat terpisahkan dengan Batik Tegalan yang ditekuni perajin dari Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal.

Hal ini mengingat Tegal Selatan pernah menjadi bagian wilayah Kecamatan Dukuhturi, sebelum kemudian menjadi daerah pengembangan Kota Tegal. “Sehingga, tidak ada pembedaan, cara membatiknya juga sama. Batik Tegalan sudah ada sejak zaman nenek buyut kami. Generasi muda harus ikut mempertahankan,” tutur Sri.

Membatik perlu kesabaran, ketelatenan, dan keuletan. Menyiapkan regenerasi pembatik, diakui Sri cukup susah. Namun Sri bersyukur karena tetap ada kalangan muda yang berminat membatik. Di samping itu, Koperasi Cempaka Mulya terus mengajak ibu-ibu yang masih keturunan pembatik untuk bersama-sama nguri-uri Batik Tegalan sebagai warisan nenek moyang. “Kami tetap harus ada penerusnya,” ucap Sri.

Batik Tegalan terdiri dari dua jenis, yakni cap dan tulis. Motifnya beragam mulai Beras Mawur, serta yang khas dan tidak dimiliki daerah lain seperti Gribigan, Cecek Ngawe, Kembang Pacar, dan Tumbar Bolong. Yang membedakan Batik Tegalan dengan batik Pekalongan, Solo, maupun Jogja, adalah warnanya yang lebih berani.

“Batik Tegalan berani bersaing, karena mempunyai kekhasan tersendiri,” jelas Sri. Koperasi Cempaka Mulya yang diketuai Sri membawahi sejumlah kelompok meliputi Canting Mas (Kelurahan Bandung), Sekar Ayu, Rizki Ayu, Beras Mawur (Kalinyamat Wetan), dan Karisma (Keturen). Kelurahan lain didorong agar membuat kelompok, sehingga selain melestarikan Batik Tegalan, keterampilan yang dimiliki dapat menambah perekonomian.

Sri mengemukakan, pandemi Covid-19 yang belum surut dampaknya sangat terasa bagi penjualan dan pemasaran Batik Tegalan. Ditambah izin hajatan yang dicabut sementara, akan mengurangi pesanan. Meski demikian, perajin tetap memproduksi Batik Tegalan, walupun setelah itu hanya disimpan. Tantangan lainnya adalah bahan baku yang harganya meningkat.

Ke depan, Sri berharap pemasaran Batik Tegal ditingkatkan, salah satunya dengan membuat showroom Batik Tegalan di Jakarta. Di samping itu, mendorong pelatihan difasilitasi untuk pemula agar regenerasi pembatik berjalan. “Setiap pameran di Jakarta, selalu ditanya, ada showroomnya? Untuk pelatihan pemula, harus ada,” terang Sri. 

*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal

2 Okt 2020

Kisah Bendera Merah Putih Pertama Kali Berkibar di Tegal (2-Habis)

Kalau Berani, Silakan Tuan Turunkan Bendera Itu Sendiri

Sampai awal September, bendera Jepang masih berkibaran di Kantor-Kantor Pemerintah. Begitupun di Bengkel Kereta Api dan Gedung SCS atau yang kini dikenal Gedung Birao. Bertepatan dengan perayaan Idul Fitri yakni 6 September 1945, seorang pemuda bernama Rakhmat memberanikan diri mengibarkan bendera Merah Putih di halaman Bengkel Kereta Api.

Aksinya membuat telinga Jepang memerah. Rahmat pun dipanggil atasannya untuk menurunkan Merah Putih. Rahmat menolak. Namun, tidak berkutik di bawah ancaman senjata. Dia akhirnya menurunkan Merah Putih di kantornya. Insiden ini menyulut kemarahan para pemuda dan membangkitkan semangat mengibarkan Merah Putih di seluruh Kota Tegal.

Empat hari kemudian, Merah Putih berkibar di pucuk Gedung Birao, menggunakan tiang sepanjang 13 meter dari pipa. Di tengah penaikan bendera ini, seorang kempeitai datang dan memerintahkan agar Merah Putih diturunkan. Para pemuda sepakat menolak, dan terjadi ketegangan. Kempeitai menodongkan pistol. Para pemuda balik menggertak.

“Kalau berani silakan Tuan Kempeitai turunkan bendera itu sendiri,” ancam pemuda yang dikomandoi Moh Yunus, seperti dituturkan Sisdiono berdasarkan cerita Achmad. Para pemuda sudah bertekad untuk menaikkan Merah Putih. Yang menghalangi akan dilawan. Akhirnya, Kempeitai itu pergi meninggalkan tempat dengan sepeda motornya.

Pengibaran Merah Putih terus berlanjut. Menjalar hingga ke Slawi, Jatibarang, dan Brebes. Masyarakat juga dilibatkan membuat Merah Putih untuk dikibarkan di tempat umum dan rumah masing-masing. Sang Saka dapat berkibar gagah sampai sekarang.

 *Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal

6 Sep 2020

Kisah Bendera Merah Putih Pertama Kali Berkibar di Tegal (1)

Tak Gentar di Bawah Ancaman Jepang 

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945, tidak serta merta langsung didengar rakyat di daerah, mengingat sistem komunikasi yang terbatas kala itu. Di sisi lain, Jepang juga masih ingin bercokol di Nusantara. Inilah kisah perjuangan para pemuda mengibarkan Sang Saka Merah Putih pertama kali di Tegal.

Sembari mengamati berkas-berkas, Sisdiono menceritakan kisah perjuangan para pemuda untuk mengibarkan Merah Putih, berdasarkan kisah yang dituturkan sang ayah. Pria berusia 63 tahun tersebut merupakan putra dari veteran pejuang, Achmad. Achmad sempat menjabat Sekretaris Macab Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten/Kota Madya Tegal. 

Achmad menuliskan kesaksiannya dalam buku Tegal Berjuang pada 1986, yang proses penyuntingannya dibantu Sisdiono. Karena jasa-jasanya, Achmad mendapatkan empat penghargaan dari Presiden, yaitu Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satyalencana Perang Kemerdekaan, dan Piagam Veteran Utama. Achmad yang wafat 2005 dimakamkan TMP Pura Kusumanegara Kota Tegal.

Berdasarkan cerita ayahandanya itu, Sisdiono mengungkapkan, baru pada 18 Agustus 1945 berita Proklamasi Kemerdekaan santer dibicarakan. Pada keesokan harinya, di Tegal terlihat beberapa prajurit Peta dan Heiho pulang ke rumah masing-masing, karena kesatuanmya dibubarkan. “Itu pertanda keruntuhan kekuasaan Jepang,” kata Sisdiono menirukan cerita Achmad, Selasa (18/8). 

Melihat situasi tersebut, para pemuda yang dikomandoi Moh Jusup mendatangi Wali Kota R Soengeb Reksoatmodjo. Mereka mendesak wali kota mengumumkan Proklamasi, namun wali kota menolak karena belum ada perintah dari Gusainkabu di Jakarta. Hingga 26 Agustus 1945, bendera Jepang, Hinomaru, masih berkibaran di kantor-kantor pemerintahan Tegal.

Informasi Proklamasi Kemerdekaan semakin jelas. Jusup dan pemuda lainnya kembali mendatangi wali kota untuk meminta bendera. Di Balai Kota yang kini menjadi Gedung DPRD Kota Tegal, mereka mendapatkan bendera dari Darmo Prawiro. Dengan gagah berani, Jusup menuju Rumah Penjara untuk mengibarkan Merah Putih, menggantikan Hinomaru yang masih berkibar sangat menyolok.

Jusup dihadang dua opsir dengan wajah angker dengan sepucuk pistol Vikers di meja, agar mengurungkan niatnya. Suasana menjadi tegang. Di bawah ancaman, Jusup tetap mengibarkan Merah Putih di Rumah Penjara. Sukses mengibarkan bendera di Rumah Penjara, Jusup menaikkan Merah Putih di depan Kantor Polisi, setelah Hinomaru diturunkan.

Pemuda berbaris, bersikap tegak, menghormat Merah Putih yang sedang dinaikkan. “Upacara yang hikmat itu membuat beberapa pemuda menangis karena terharu dan baru melihat Sang Saka Merah Putih,” ungkap Sisdiono menggambarkan cerita sang ayah.

Selanjutnya, pemuda mendatangi Balai Kota untuk meminta bendera lagi. Setelah mendapatkan bendera, mereka mengibarkan Merah Putih di Menara Water Leideng, atau Menara Air PDAM yang terletak di Jalan Pancasila. Tanpa rasa takut, pemuda menaiki tangga Menara Water Leideng untuk mengibarkan Merah Putih di pucuk menara tertinggi di Tegal.

Keesokan harinya, pemuda M Yakub Mangunkusumo membuat kejutan. Dia dan lima orang lainnya mengacaukan jalannya upacara penaikan Hinomaru di depan Pelabuhan Tegal. Dengan gerak cepat, dia merebut Hinomaru dan memasukkan ke dalam baju, dan segera menaikkan Merah Putih. Yakub kemudian menghilang berhari-hari karena diburu Polisi Militer Jepang, Kempeitai.

Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal

 

27 Nov 2019

Mahasiswa 4.0

Mahasiswa dicatat sebagai kaum yang menentukan perjalanan bangsa. Pada 1908, sekumpulan mahasiswa Stovia membentuk Boedi Oetomo sebagai wadah perjuangan yang memiliki struktur pengorganisasian modern. Sesudah itu, pergerakan mahasiswa berkembang seiring dibentuknya Indische Vereeninging. 

Episode tersebut menandai munculnya angkatan pembaharu dalam sejarah Indonesia, dengan misi utama menumbuhkan kesadaran kebangsaan di kalangan rakyat untuk memperoleh kemerdekaan, berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme, dengan mendorong rakyat melalui pendidikan.  

Kelompok terpelajar semakin menunjukkan eksistensinya. Pada 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Kongres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta, dipelopori Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Mahasiswa, intelektual, dan aktivis kala itu sepakat bersatu dalam bingkai Indonesia.  

Pergerakan mahasiswa yang menjadi rintisan pergerakan nasional akhirnya memanen buah perjuangannya. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, Revolusi belum selesai. Melompat ke 1998, mahasiswa mengambil peran membidani Reformasi dengan menumbangkan rezim otoriter Orde Baru.    

Tantangan Saat Ini  

Setelah Reformasi bergulir, tantangan terbesar yang saat ini dihadapi adalah Revolusi Industri 4.0. Era baru ini ditandai otomatisasi yang berpadu dengan internet. Ekonom Jerman Klaus Schwabn menyatakan Revolusi Industri 4.0 secara fundamental dapat mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang lain.  

McKinsey Global Institute dalam laporan berjudul Jobs Lost, Job Gained: Workforce Transitions In A Time of Automation menyebut banyak pekerjaan berpotensi hilang menyusul adanya otomatisasi. Pada 2030, sekitar 75 juta hingga 375 juta pekerja diskenariokan harus beralih ke kategori pekerjaan lain. Skenario tersebut mesti disikapi secara serius oleh mahasiswa. 

Mahasiswa harus adaptif terhadap kemungkinan mesin menggantikan pekerjaan lulusan perguruan tinggi. Internet untuk segala, kecerdasan buatan, dan data raksasa adalah contoh narasi yang penting dijadikan bahan diskusi maupun seminar, karena Revolusi Industri 4.0 mencakup segala bidang.  

Pemahaman literasi baru agar mulai tertanam, karena menghadapi Revolusi Industri 4.0 tidak cukup dengan menguasai literasi lama, menulis dan membaca saja. Para pakar merumuskan literasi baru yang harus dikuasai mahasiswa berupa literasi data, literasi teknologi, dan literasi sumber daya manusia.  

Literasi data merupakan kemampuan untuk membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi. Sedangkan literasi teknologi yakni memahami tata cara kerja mesin dan aplikasi teknologi. Kedua literasi tersebut, perlu ditunjang dengan literasi sumber daya manusia agar dapat mencapai tujuannya, yaitu belajar sepanjang hayat.  

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir berpesan agar mahasiswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin selama kuliah di kampus, tidak hanya di bidang akademik, namun juga kreativitas dan inovasi, serta menggali dan mempelajari kompetensi lain dari berbagai sumber untuk meningkatkan keterampilan.  

Ciri-ciri mahasiswa Abad 21 adalah yang memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif, memecahkan masalah, mengatasi perbedaan, dan menggagas ide-ide baru dengan teknologi sebagai alat bantu. Selain untuk menghadapi tantangan, keterampilan itu sekaligus menjadi modal memanfaatkan peluang yang dihadirkan Revolusi Industri 4.0. 

Tentu, romantisme gerakan mahasiswa akan selalu membekas. Mahasiswa tetap diharapkan menjadi agen perubahan yang memiliki sensitivitas terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Tanpa melepas khitah sebagai kaum tercerahkan, menjawab tantangan dan peluang Revolusi Industri 4.0 adalah tugas sejarah berikutnya bagi mahasiswa 4.0.  

Hidup mahasiswa! (*) 

*Artikel ini telah dimuat di Majalah Mata Kampus