Estafet pemerintahan Tegal yang mula-mula berawal dari Kalisoka bergeser ke daerah pesisir. Sejarah mencatat kadipaten pernah berpusat di Kawasan Kaloran, Kota Tegal. Seperti apa kondisinya sekarang?
Jarum jam menunjukkan pukul 08.15. Suasana Pasar Pagi Kota Tegal mulai hiruk pikuk. Di salah satu sudut pasar Blok C, Nur, 55, duduk di sebuah kursi di depan lapaknya. Pedagang kebutuhan pokok asal Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, itu sedang menunggu pembeli yang datang untuk membeli dagangannya.
“Di sini sudah tidak terlalu ramai seperti di luar. Kebanyakan yang datang adalah pelanggan,” kata Nur kepada Radar Tegal, Kamis (13/4). Nur dan pedagang lainnya tidak banyak mengetahui tentang pasar rakyat yang mereka tempati dulunya adalah merupakan pusat pemerintahan kadipaten atau Komplek Keraton Kaloran.
Bangunan utama keraton telah rata dengan tanah, yang terlihat adalah lapak-lapak pedagang untuk berjualan daging ayam, ikan, kelapa, sayur, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Sementara di lantai atas, sebagian besar bangunan tidak ditempati, karena kontruksinya mengalami keretakan, sehingga tidak layak untuk tempat berjualan.
Para sejarawan sepakat bahwa pusat pemerintahan Tegal sempat berada di Kaloran sebelum berpindah ke Mangkukusuman. Sejarawan Yono Daryono mengatakan, sebelum menjadi pasar, Keraton Kaloran sempat menjadi Kantor DPU Kabupaten Tegal. Dahulu, di sana terdapat pendapa kadipaten. “Pendapa ada di situ, di Blok C. Lalu, sempat untuk Kantor DPU Kabupaten Tegal,” ungkap Yono.
Menurut Yono, hilangnya situs pusat pemerintahan di Kaloran karena proyek perluasan Pasar Pagi. “Saat zaman wali kota Zakir menurunkan blandar (rangkaian utama ari atap, Red) pendapa,” ujar Yono.
Sejarawan Wijanarto mengungkapkan, blandar kayu jati tersebut dipindah ke Rumah Dinas Bupati Tegal di zaman bupati Agus Riyanto. Wijanarto menyebut Keraton Kaloran sebagai perkampungan birokasi pegawai kadipaten, dengan pola pendapa diapit kampung-kampung yang merupakan kawasan untuk hunian pegawainya.
Bukti lain Kaloran menjadi pusat pemerintahan adalah adanya kampung-kampung di sekitar seperti Kampung Sentanan yang berasal dari kata sentono yang berarti prajurit. Kemudian, Kepatihan yang berada di wilayah Jalan HOS Cokroaminoto. Kepatihan adalah tempat tinggal patih. “Kemudian ada lagi Mangkukusuman dan Mandipuran,” ucap Wijanarto.
Sementara di pintu masuk Komplek Pasar Pagi terdapat gapura berbentuk benteng di kanan kiri. Gapura ini kerap disebut Benteng Kaloran. Namun, kebanyakan sejarawan menilai gapura tersebut dibangun kompeni, mengingat strukturnya yang mencirikan bangunan khas Eropa. Saat ini, gapura dimaksud difungsikan sebagai Pos Trantib Pasar Pagi dan Ruang Laktasi.
Pada saat pusat pemerintahan di Kaloran, menurut buku Tegal Sepanjang Sejarah yang ditulis Soemarno dan kawan-kawan, Tegal dipimpin seorang bupati dari Wangsa Reksonegoro, yaitu RM Panji Haji Cokronegoro atau yang kemudian dikenal Bupati Kaloran. Cokronegoro mengangkat senjata melawan kompeni karena tindakan kompeni merugikan Tegal.
Tegal dipaksa melunasi pajak yang diperbesar jumlahnya, tanah-tanah banyak dijual saat Daendels berkuasa. Cokronegoro bertambah sakit hati ketika kompeni menempatkan Tumenggung Sumodiwongso ke Tegal pada 1812. Sehingga, bupati Tegal saat itu rangkap. Cokronegoro akhirnya dapat ditangkap dan ditahan kompeni.
Perlawanan dilanjutkan oleh Tumenggung Surengrono yang masih setia. Tidak lama kemudian, Cokronegoro dapat meloloskan diri dan menyingkir ke Semedo hingga meninggal dan dimakamkan di sana. Makam bupati yang berada Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, itu diberi nama sebagai Makam Mbah Kaloran. (*)
*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal dengan judul Menilik Jejak Pusat Pemerintahan Tegal di Kaloran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar