Di Kota Tegal terdapat ratusan makam yang telah berusia cukup tua dan dianggap keramat oleh warga. Makam-makam tersebut tersebar di empat kecamatan, salah satunya, Makam Mbah Depok yang berada di Jalan Samadikun, Kelurahan Tunon, Kecamatan Tegal Selatan, tidak jauh dari pusat kota yang berpenduduk dua ratus ribuan jiwa itu.
Suara angsa dari peternakan menggericau menyambut orang yang berziarah ke Makam Mbah Depok pagi itu, Selasa (30/1). Pohon-pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi ke langit memberikan keteduhan bagi peziarah. Sekitar lima puluh meter dari pintu masuk makam, ada sebuah pusara yang tampak menonjol dibandingkan dengan pusara lainnya.
Pusara berkeramik putih itu berada dalam sebuah gubug seluas dua kali dua meter. Gubug tanpa dinding beralaskan paving dan berpagar bambu tersebut memiliki empat pilar bangunan yang terbuat dari kayu gluguh. Pada bagian atapnya, menggunakan genteng dari tanah liat. Pusara tersebut ditandai dengan dua nisan kayu yang berbentuk mirip gada.
Orang mengenal pusara ini sebagai tempat bersemayamnya Mbah Depok, yang namanya dijadikan nama komplek makam. Dari cerita yang selama ini beredar, Mbah Depok disebut memiliki nama lain Kiai Haji Sulaiman bin Abdulloh Maruf yang berasal dari Sumatera. Namun, ada pula yang menyebut Mbah Depok dengan nama lain Kiai Abu Suud.
Beberapa waktu lalu, Jamiyah Arju Rohmah Kota Tegal yang dibina Ustaz Akrom Hafidz mengadakan Pentas Wayang Santri dengan Lakon Mbabar Mbah Depok yang diselenggarakan dalam acara pengajian rutin di rumah salah satu jamaah, Iwan Tempe. Tepatnya, pada Sabtu malam (27/1), dengan menghadirkan dalang Ki Tobat Surono.
Menurut Ki Tobat yang dikenal piawai melakonkan babad, pusara tersebut adalah petilasan Raja Pertama Mataram Islam Panembahan Senopati. “Alhamdulillah wasyukurillah, di Makam Depok adalah petilasan Mbah Mataram. Ada petilasan Panembahan Senopati di Kelurahan Tunon, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal,” ujar Ki Tobat.
Diceritakan, Panembahan Senopati adalah putra dari Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Dewi Sabinah. Pamanahan merupakan putra dari Ki Ageng Enis yang merupakan keturunan Ki Ageng Sela. Sedangkan Dewi Sabinah ialah putri dari Nyai Ageng Saba, kakak perempuan Ki Ageng Enis. Artinya, Pamanahan menikah dengan sepupunya sendiri.
Senopati memiliki nama kecil Raden Srubut dan Raden Danang. Setelah ngawula di Kraton Pajang, Raden Danang diangkat sebagai anak oleh Raja Pajang Sultan Hadiwijaya dan diberi tambahan nama Sutawijaya. Karena Pajang berselisih dengan Jipang, Danang Sutawijaya diberi tugas untuk menaklukkan penguasa Jipang Arya Penangsang.
Dengan media wayang golek, Ki Tobat mengisahkan geger Pajang dan Jipang. Penangsang memiliki sebuah pusaka yaitu Keris Setan Kober yang membuat dirinya sakti mandraguna. Kesaktian Penangsang kian paripurna karena memiliki kuda jantan tunggangan yang menjadi andalannya. Kuda jantan tersebut bernama Gagak Rimang.
Mengetahui seterunya sakti mandraguna, Hadiwijaya memberikan pusaka kepada Sutawijaya, yaitu Tombak Kiai Plered yang merupakan warisan dari Sunan Kalijaga. Sang sultan yang menguasai ilmu weruh sadurunge winarah mengetahui kelemahan Penangsang, yakni dengan membuat Gagak Rimang tidak patuh kepada tuannya itu.
Diaturlah strategi dengan membawa kuda betina yang masih perawan ke medan pertempuran. Siasat berhasil. Gagak Rimang kegirangan sampai-sampai tidak mau menuruti perintah tuannya. Kesempatan tersebut digunakan Sutawijaya untuk menusuk perut Penangsang menggunakan Tombak Kiai Plered hingga usus lawannya itu berhamburan.
Dasar memang orang sakti, ditusuk tombak bukannya mati. Penangsang justru menaruh usus yang berhamburan ke tombak yang menusuknya. Penangsang marah lalu mencabut tombak tersebut untuk menyerang Sutawijaya. Namun setelah dicabut, usus Penangsang justru putus dan akhirnya membuat pemimpin Jipang itu kehilangan nyawa.
Hadiwijaya lalu memberikan hadiah kepada Pamanahan berupa Alas Mentaok, sebagai imbalan karena telah berhasil mengalahkan Penangsang melalui tangan Sutawijaya. Alas Mentaok kemudian dibabat untuk didirikan sebuah pedukuhan yang lama kelamaan semakin ramai. Pedukuhan ini menjadi cikal bakal berdirinya Mataram Islam.
“Ngger, suatu saat Mataram muncul kembali. Daerah ini dinamakan Mataram,” pesan Pamanahan kepada sang putra, Sutawijaya, yang kelak menjadi Raja Pertama Mataram Islam dan menyandang gelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama, yang berarti menunjukkan seorang raja berkuasa atas pemerintahhan dan keagamaan.
“Ini cerita benar, saya kutip dari Kitab Wringin Sapto zaman Dewan Wali Sanga hasil gubahan Sunan Kalijaga untuk pengingat perjalanan sejarah agar jangan sampai terlupakan. Sumber yang lebih tua lagi adalah Serat Centhini dan Pararaton,” terang Ki Tobat yang kini menetap di Kelurahan Pesurungan Kidul, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
Menurut Ki Tobat, Sutawijaya jauh-jauh datang ke Dusun Tunon untuk mengajarkan ilmu kepada sembilan pengikut setianya di sebuah padepokan. Karena itulah dinamakan Makam Mbah Depok, yang diambil dari kata padepokan. Di Makam Mbah Depok ini juga dapat dijumpai jejak sembilan pengikut setia Sutawijaya.
“Pengikutnya jumlahnya sembilan. Nisan yang bertuliskan aksara Jawa ada dua,” ucap Ki Tobat.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Radar Tegal bersama Penggerak Jamiyah Arju Rohmah Turah Untung, beberapa meter dari petilasan Mbah Depok dapat dijumpai beberapa makam bernisan kuno. Setelah dihitung, jumlahnya ada tujuh. “Yang dua kemungkinan rusak,” ucap Untung yang juga pernah menulis buku tentang makam-makam kuno di Kota Tegal.
Jika dilihat dari ukiran nisan yang beraksara Jawa itu, dapat terbaca tulisan nama yakni Mas Secadirana dan Mas Surahmat. Sedangkan lima lainnya belum terdeteksi identitasnya karena tidak terukir nama di nisannya. “Kami berharap Makam Mbah Depok bisa mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Kota Tegal,” harap Untung. (*)
*Artikel ini telah dimuat di Radar Tegal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar