Tulisan yang sengaja saya buat untuk menjawab pertanyaan Novi Ariyanti, adik saya yang kala itu merupakan mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ternyata banyak dikutip berbagai sumber berita dan informasi. Berdasarkan statistik yang dibuat secara otomatis oleh Blogger, tulisan tersebut sampai saat ini telah dilihat oleh 811 pasang mata.
Seingat saya, kali pertama saya terseret-seret adalah ketika saya dihubungi Nuansa Gilang Insani, yang merupakan salah satu pendiri kelompok suporter Persekat Kabupaten Tegal, Skaterz. Saat itu, rupaya sedang digagas pembuatan maskot untuk Persekat. Dan seperti yang diketahui bersama, Balo kemudian dipilih menjadi nama maskot Laskar Ki Gede Sebayu.
Mudah ditebak, Balo merupakan singkatan Banteng Loreng Binoncengan. Dugaan saya, Osa, sapaan Nuansa Gilang Insani, ketika itu menghubungi saya karena dua alasan. Pertama, karena saya merupakan mantan pemain Persekat Junior. Kedua, karena saya menulis tentang Banteng Loreng Binoncengan di blog ini.
Berikutnya, saya ingat dalam sebuah rapat, bos saya menyinggung tulisan saya di blog yang dikutip sebuah portal. Kala itu saya cukup bangga, hingga sebelas tahun kemudian, seorang mahasiswi dari Universitas Negeri Semarang memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud dan tujuan. Namanya adalah Nilna Aula Niswah yang bersama timnya akan mengajukan proposal penelitian.
Nilna dan tim mengajukan judul Analisis Falsafah Banteng Loreng Binoncengan Terhadap Konsep Ideal Pemimpin Masyarakat Tegal Berdasarkan Teori PCC untuk Meningkatkan Integrasi Bangsa, yang setelah disetujui berjudul Falsafah Banteng Loreng Binoncengan Pada Masyarakat Tegal: Penguat Integritas Bangsa Melalui Konsep Kepemimpinan Ideal Berdasarkan Teori Person Centered.
Nilna lalu meminta saya menjadi salah satu narasumber untuk diwawancara. Saya semula menolak karena rasanya lebih banyak yang kompeten. Namun ternyata Nilna bersikeras dan membuat saya akhirnya tidak mampu menolak. Saya lagi-lagi teringat Pram, yang baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh.
Barangkali diminta menjadi narasumber oleh Nilna dan tim adalah akibat yang saya peroleh dari menulis Banteng Loreng Binoncengan di blog pribadi. Hehehe.
Pelajaran Kepemimpinan
Sebagaimana yang telah tertulis di blog ini, Banteng Loreng Binoncengan menggambarkan watak orang Tegal yang gagah berani (banteng) dan agak kasar (loreng), akan tetapi pada hakikatnya Banteng Loreng Binoncengan dapat dituntun, ditunggangi, dan dikuasai oleh orang yang lemah lembut dan ramah-tamah serta tidak mempunyai maksud buruk.
Seseorang tersebut biasanya dilambangkan anak laki-laki yang mengerti betul perwatakan banteng. Anak laki-laki tersebut adalah seorang penggembala atau bocah angon yang menjaga banteng dengan penuh kasih sayang. Sehingga ketika harimau akan menerkam, banteng melindungi dan menyelamatkan bocah angon meskipun menderita luka parah pada sekujur tubuhnya.
Dalam blog ini, saya juga menafsirkan Banteng Loreng Binoncengan dapat memberikan makna dan pelajaran, salah satunya soal kepemimpinan. Dari segi kepemimpinan, jika banteng diibaratkan adalah rakyat Tegal, maka yang bisa menuntun, menunggangi, dan menguasai banteng adalah seseorang yang bermental bocah angon.
Terlepas dari laki-laki atau perempuan, pemimpin Tegal harus siap menjadi bocah angon. Dalam angon banteng, seorang bocah angon harus bisa bersikap sabar, pengertian, penuh kasih sayang, dan mengarahkan kemana seharusnya banteng mencari makan, agar banteng yang dulunya liar berubah menjadi jinak dan penurut karena perutnya kenyang.
Bocah angon akan merasa sukses jika bantengnya bisa makan dengan enak, sekalipun dirinya sendiri tidak makan. Bagi bocah angon yang dipikirkan adalah bantengnya dan bukan dirinya sendiri. Ia akan selalu bekerja keras dan bahkan sampai melupakan dirinya sendiri. Sehingga saat bocah angon mendapat ancaman dari harimau, banteng akan rela membelanya, sampai tetes darah penghabisan.
Mantan Bupati Tegal Agus Riyanto dalam bukunya yang berjudul Insya Allah (2008) memandang gambaran Banteng Loreng Binoncengan adalah perlawanan sekaligus solidaritas, atau balas budi dan kerelaan banteng kepada bocah angon terhadap keganasan harimau. Banteng dengan tubuh penuh luka melawan raja hutan. Sementara sahabat kecil dilindungi, berada di atas punggung banteng.
Sejarah Perlawanan
Ihwal perlawanan, sejarah Tegal memang merupakan sejarah perlawanan. Kita ingat benar bagaimana kegigihan penguasa Tegal kala Mataram Adipati Martoloyo dalam melawan Kompeni Belanda, meskipun ia harus berbeda pendapat dengan Adipati Anom, pangeran muda Mataram yang selama ini ia patuhi apa segala perintahnya.
Keputusan Adipati Anom yang akan meminta bantuan Belanda untuk melawan pangeran Madura Trunojoyo sangat menusuk hati Martoloyo, hingga kemudian ia memilih meninggalkan sang adipati. Karena sikapnya itu, Belanda mencoba menyingkirkan Martoloyo dengan cara mereka. Terjadilah pertempuran dahsyat yang menyebabkan gugurnya Martoloyo dan Martopuro.
Dalam buku Tegal dari Masa ke Masa (1959), Suputro bahkan menulis figur Martoloyo lah yang dapat dianggap sebagai penjelmaan dari lambang Banteng Loreng Binoncengan.
Secuplik perlawanan lain juga direkam dalam buku Tegal Sepanjang Sejarah (1984) yang ditulis oleh Soemarno BA Dkk. Dengan semboyan Banteng Wareng Ingobyongan, rakyat Tegal secara revolusioner pernah menolak Demang Tirtanata yang dianggap tidak lebih hanya sekadar boneka dan sekutu Belanda, yang tentu ada maksud besar di balik penempatannya.
Semboyan Banteng Wareng Ingobyongan saya kira cukup dekat artinya dengan Banteng Loreng Binoncengan.
Selain kedua buku tersebut, Banteng Loreng Binoncengan juga sedikit diulas dalam Bagian Pendahuluan di buku One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah dalam Revolusi Indonesia (1989) maupun cetakan terbarunya berjudul Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi karya sejarawan dan peneliti asal Australia Anton Lucas.
Buku tersebut mengisahkan revolusi sosial yang terjadi di Tiga Derah yaitu Tegal, Brebes, dan Pemalang setelah proklamasi kemerdekaan berkumandang di Jakarta.
Saya pikir Anton memiliki alasan tertentu mengapa Banteng Loreng Binoncengan bersama persepsi kedaerahan lainnya disinggung dalam Bagian Pendahuluan buku tersebut, meskipun hanya beberapa paragraf saja.
Bisa jadi, peristiwa revolusi sosial yang digerakkan rakyat Tegal dengan tokoh utama Kutil menentang kepala desa, camat, wedana, bupati dan para pejabat lainnya untuk membalas tindakan-tindakan mereka pada masa penjajahan adalah mempersepsikan karakter rakyat Tegal yang akan melawan manakala dipimpin oleh orang yang memiliki sifat buruk.
Tegal juga lagi-lagi mencatatkan sejarah perlawanan. Pasca tumbangnya Orde Baru, euphoria Reformasi menjalar sampai Tegal. Ini terbukti ketika rakyat Tegal, dengan serangkaian demonstrasi dan pernyataan politik, berhasil menggulingkan Walikota M Zakir yang dianggap arogan dan melakukan praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Benang Merah
Melalui sejarah perlawanan yang bertaut dengan Banteng Loreng Binoncengan sebagai ungkapan, simbol, maupun falsafah lokal yang telah ditampilkan di atas, saya kira dapat ditarik benang merah untuk konsep kepemimpinan ideal di Tegal. Selain bermental bocah angon, pemimpin Tegal seyogyanya memiliki sifat baik dan bijaksana.
Antara lain misalnya tidak mau bersekutu dengan penjajah atau pihak-pihak yang berpotensi menyengsarakan rakyat. Kemudian, tidak menjadi boneka semata, yang dapat dimainkan orang atau golongan yang hanya memikirkan dirinya atau golongannya saja. Kemudian tidak otoriter atau arogan dan tidak melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ini menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin menjadi pemimpin Tegal. Sebab, bukankah sejarah selalu berulang? Maka, sebuah kerugian bagi yang tidak mau belajar. (*)
Keterangan Gambar: Visualisasi Banteng Loreng Binoncengan diambil dari buku Tegal dari Masa ke Masa (1959) karya Suputro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar