Ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan dan melahirkan bayi republik di Pegangsaan Timur, Jakarta, kabar bahagia itu tidak serta merta langsung didengar oleh rakyat Tegal, yang wilayahnya jauh berada di ujung barat Jawa Tengah. Minimnya perangkat komunikasi dan belum masifnya media massa seperti sekarang ini, membuat segala informasi dari Jakarta, sering datang terlambat ke Tegal Bahari.
Namanya juga penjajah, pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang secara heroik dibacakan oleh Bung Karno, sontak tidak mendapatkan restu dari Jepang, ‘si empunya wilayah’. Meskipun dalam negeri Matahari Terbit itu tengah diguncang prahara akibat bombardir Sekutu di Nagasaki dan Hiroshima, negerinya Kaisar Hirohito itu ternyata belum sepenuhnya rela dan mau melepaskan tanah yang digadang-gadang sebagai serpihan surga itu: Nusantara.
Tidak terkecuali Tegal, Jepang toh masih wira-wiri, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah lainnya. Sehingga, peristiwa bersejarah di Pegangsaan Timur, menjadi kabur dan tidak jelas dibaca oleh para pejuang di daerah. Namun, bak air bah, akhirnya gelora kemerdekaan sampai juga di Tegal. Tetapi, para pejuang masih berpikir seribu kali untuk menyingkirkan bendera Matahari Terbit dan menggantinya dengan bendera nasional: Sang Saka Merah Putih.
Gelora kemerdekaan tidak mungkin terbendung bagi warga bangsa yang merindukan kebebasan dari belenggu penjajahan. Tentu saja, ketika kabar itu akhirnya sampai di Tegal, rakyat menyambutnya dengan rasa suka cita dan gegap gempita. Tetapi, meski pekik merdeka terdengar di mana-mana, Jepang masih saja bersikukuh menghalangi rakyat untuk mengibarkan bendera kemerdekaan.
Pada masa transisi tersebut, kemudian dibentuklah Komite Nasional Indonesia (KNI) dengan mengangkat Ki Tjiptosatmoko sebagai Ketua KNI Kodya Tegal dan Mas Slamet Reksoatmojo sebagai Ketua KNI Kabupaten Tegal. Meskipun relatif rutin mendekati para pejuang, KNI belum sepenuhnya bisa mengambilalih kekuasaan. Kala itu, pemuda-pemuda Tegal juga membentuk barisan pelopor seperti Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Tidak lain, barisan-barisan tersebut dibentuk untuk memobilisasi gerakan bila mana Jepang kembali ‘berulah’. Sementara untuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang telah diubah namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diketuai oleh Soewarto Reksosoebroto. TKR inilah yang kelak dikemudian hari menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.
Rakyat Tegal semakin yakin akan kabar kemerdekaan, setelah salah seorang pemuda dari Barisan Pelopor rajin mengikuti rapat-rapat gelap. Pemuda tersebut menyakinkan bahwa dari berita yang dia dengar, Jepang memang telah menyerah. Selain pemuda tersebut, kesaksian bahwa Indonesia telah merdeka di Jakarta, juga diungkapkan oleh petugas-petugas kereta api. Dengan mata kepala sendiri, mereka melihat banyak gerbong kereta api yang bertuliskan semboyan: Merdeka atau Mati!
Ketika keyakinan kemerdekaan semakin menguat, Tokoh Nasionalis Tua mengambil prakarsa agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Dilakukanlah berbagai macam propaganda kemerdekaan. Komite Nasional Daerah (KND) yang sesuai dengan instruksi Jakarta, pun dibentuk.
Yono Daryono, dalam artikel Pertama Bendera Merah Putih Berkibar di Tegal yang dimuat dalam buku Semangat Orang-Orang Tegal (2003) yang disusun oleh Prof Abu Suud menulis, pada tanggal 24 dan 25 Agustus, Barisan Pelopor bersama dengan bung-bung becak, Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), pemuda pabrik tekstil, pemuda Zosenjo (galangan kapal), Dinas Kesehatan, Bank Rakyat, dan lain lain mengadakan aksi massa yakni pemasangan dan penempelan bendera Merah Putih dan slogan-slogan kemerdekaan di setiap tembok, rumah, pasar, bangunan, dan kendaraan.
Tetapi, aksi massa tersebut ditentang oleh pangreh praja setempat. Para bendoro yang masih terkooptasi dengan pemerintah Dai Nippon, justru memerintahkan untuk menurunkan dan melarang pengibaran bendera Merah Putih. Sikap ini, menggambarkan bahwa betapa ternyata keraguan makna proklamasi masih menyelimuti, utamanya di kalangan elite tradisional: para bendoro pangreh praja tadi. Selain itu, sikap ini merupakan gambaran ketakutan pangreh praja bila mana pengibaran bendera Merah Putih dibiarkan, pemerintah Dai Nippon akan mengambil tindakan.
Sikap pangreh yang lebih memihak ‘atasan’ dan bukan memihak rakyat Tegal, membuat mereka akhirnya saling berhadapan. Rakyat Tegal yang haus kemerdekaan, terus melakukan kampanye pengibaran bendera. Wali Kota Tegal yang kala itu dijabat oleh R. Sungeb, hanya mengijinkan pengibaran bendera Merah Putih sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu di samping kiri bendera Hinomaru Jepang. Situasi ini, mengakibatkan konflik di kantor-kantor pemerintah, antara atasan Jepang, pangreh praja, dan tentunya kaum nasionalis yang bekerja di sana.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Bung Karno mengeluarkan maklumat yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945, bendera nasional Sang Saka Merah Putih untuk terus dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.
Di Surabaya terkenal peristiwa heroik perobekan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) menjadi bendera Indonesia (Merah-Putih) di Hotel Yamato Surabaya (sekarang Hotel Majapahit Surabaya) pada tanggal 18 September 1945. Insiden tersebut didahului oleh gagalnya perundingan antara Sudirman (Residen Surabaya) dan Mr. W.V.Ch Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda. Peristiwa heroik tersebut kemudian dikenal dengan Insiden Hotel Yamato.
Bila Surabaya punya Insiden Hotel Yamato, Tegal punya kisah heroik seorang pemuda bernama Rahmat. Bung Rahmat adalah pegawai bengkel kereta api Tegal. Pada 6 Septemer 1945, ketika umat Islam sedang meyambut hari raya Idul Fitri, dia secara mengejutkan mengibarkan bendera Merah Putih di halaman bengkel kereta api. Tak ayal, tindakan nekat Bung Rahmat, membuat mata dan telinga Jepang memerah. Bung Rahmat akhirnya diinterogasi, karena tak berdaya oleh tekanan Jepang, akhirnya bendera Merah Putih kembali diturunkan.
Tidak rela melihat bendera nasional yang dikibarkan Bung Rahmat diturunkan Jepang, pemuda Yunus dan Suwadri gemas. Mereka kemudian memutuskan berangkat ke Jakarta untuk memita kepastian pada Bung Karno bahwa Indonesia telah benar-benar merdeka.
Belum ada kabar dari Yunus dan Suwadri, sehari setelah kenekatan Bung Rahmat, bendera Merah Putih kembali dikibarkan di atas gedung Semarang Cheribon Stoomtram Maatschaapij (dikenal sebagai Gedung Biro). Di bawah pimpinan Tarsono, para pemuda mengawal dengan senjata kelewang dan benda tajam lain, alih-alih untuk mengantisipasi bila mana Jepang kembali mencoba menurunkan bendera nasional. Semangat para pemuda Tegal yang rela mati demi republik yang baru lahir, membuat sekujur tubuh Jepang merinding. Tentara Jepang tidak berani melakukan tindakan terhadap Tarsono dan kawan-kawan.
Revolusi dalam Revolusi
Buruh kereta api di Tegal yang diketuai
oleh Mohammad Joenoes membentuk kelompok revolusi merdeka yang diberi nama
Angkatan Muda Kereta Api (AMKA). Sesudah mengadakan kontak dengan Jakarta, pada
para pemuda AMKA menculik pemimpin setempat. Gagasan menculik pemimpin
dilakukan untuk memaksa mereka untuk mengubah sikap agar secara aktif mendukung
perjuangan Revolusi, muncul ketika seorang pemuda Jakarta di Tegal, yang
merupakan anggota Angkatan Pemuda Indonesia (API) menceritakan kisah ‘diculiknya’
Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, oleh Sukarni dan kawan-kawan yang
tidak sabar menunggu kemerdekaan.
Diilhami oleh penculikan Sukarni dan kawan-kawan, Mohammad Joenoes dan kawan-kawan kemudian menahan tiga orang pimpinan di Tegal, yaitu Wali Kota Tegal R. Soengeb, Inspektur Polisi Kadarman, dan seorang kepala pabrik gula.
Memasuki Oktober 1945, gelora Kemerdekaan diwarnai oleh sebuah gerakan yang diberi nama Gerakan Tiga Daerah atau Peristiwa Tiga Daerah. Anton E Lucas menyebutnya Revolusi dalam Revolusi. Revolusi Sosial yang terjadi di Tiga Daerah; Tegal, Brebes, dan Pemalang ini merupakan pemberontakan rakyat terhadap kelas penguasa: elite tradisional atau pangreh praja.
Di mana seluruh elite birokrat seperti pangreh praja, wedana, camat, kepala desa dan pejabat lain yang dituding terlibat melakukan penghisapan atas kaum tani selama pendudukan Jepang di Jawa, yang memainkan peran penting atas pengerahan kerja paksa Romusha, dilengserkan dan diganti dengan pemerintah yang baru. Gerakan rakyat untuk membalas apa yang dilakukan elite birokrat selama pendudukan Jepang, merupakan sebuah ciri yang khas dalam sebuah dinamika Revolusi.
Dikisahkan, insiden pertama Revolusi Sosial tersebut terjadi di Tegal Selatan. Gerakan meledak tatkala seorang kepala desa dipermalukan dan dipecat dari jabatannya. Dalam waktu satu minggu, Revolusi Sosial kemudian merebak di Tiga Daerah. Seorang wedana dan dua orang camat terbunuh, polisi pun tidak luput menjadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar