Jorge Luis Borges dalam suatu kesempatan mengatakan: “Di antara semua instrumen manusia, yang paling penting, tidak diragukan lagi; adalah buku.” Menurut penulis kenamaan Argentina itu, seperti juga mikroskop atau teleskop bagi penglihatan, lalu telepon bagi pendengaran atau suara, maka buku adalah kepanjangan dari ingatan dan imajinasi.
Lain Borges, lain Agus Riyanto. Dalam kumpulan artikelnya yang berjudul Insya Allah, Mantan Bupati Tegal itu menuliskan: Karakter manusia sangat dipengaruhi oleh referensi. Perilaku adalah manifestasi dari bayangan, gambaran sesuatu, atau sesuatu yang ada dalam benak atau otak. Apabila otak jarang diisi, diasah, diasuh, maka menjadi kering ide, tumpul analisa, dan menjadi pragmatis.
Sehingga gejala bangsa menghadapi globalisasi, bingungnya generasi mengatasi masalah, dan tumbuhnya pikiran-pikiran jalan pintas, adalah buah dari generasi nol buku.Masih kata Agus, membaca banyak buku dengan sendirinya seperti membangun perpustakaan otak, yang sel-selnya terselaputi pengalaman, gagasan orang lain. Sehingga menghadapi atau mengantisipasi masalah, baginya adalah seperti petinju yang pantang memilih tempat bertading. Percaya diri, siap menghadapi masalah yang harus dipecahkan.
Masih kata Agus, membaca banyak buku dengan sendirinya seperti membangun perpustakaan otak, yang sel-selnya terselaputi pengalaman, gagasan orang lain. Sehingga menghadapi atau amengantisipasi masalah, baginya adalah seperti petinju yang pantang memilih tempat bertading. Percaya diri, siap menghadapi masalah yang harus dipecahkan.
Borges dan Agus benar, kegemilangan sebuah generasi, memang tidak terlepas dari peran buku. Kita tengok saja semisal Kartini atau Soekarno, mereka adalah para pelopor yang kutu buku. Seperti diketahui, Kartini sejak muda sudah akrab dengan Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Sedangkan Soekarno, akrab dengan buku-buku sejak ia indekos di rumah ‘Raja Tanpa Mahkota’ HOS Tjokro Aminoto. Kesukaan Soekarno membaca, boleh jadi mengantarkan ia secara mental berbicara dengan Penulis Declaration of Independence Thomas Jefferson, Presiden Amerikat Serikat Pertama George Washington, Nabi Kaum Proletar Karl Marx, Frederich Engels, Lenin, Jean Jacques Rousseau, dan Ahli Pidato Terbesar dalam Sejarah Perancis Jean Jaures.
Soekarno mengibaratkan dirinya pernah mengalami kehidupan negarawan-negarawan besar itu. Soekarno adalah Jefferson, Soekarno adalah Voltaire, dan Soekarno adalah Danton, pejuang besar dari Revolusi Perancis. Secara tidak langsung, Soekarno menjadi tersangkut secara emosional dengan negarawan-negarawan tersebut.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, khususnya televisi dan internet, di Indonesia budaya membaca dirasa semakin menjadi tamu asing. Anak-anak muda, tidak dimunafikan lebih asyik dengan segala perangkat gadgetnya di tangan mereka. Meskipun membaca juga bisa dilakukan secara on line, membaca buku secara konvensional telah dianggap membosankan, usang. Lihat saja, tak dinafikan jika di jaman sekarang, pemandanagan dalam kereta, di ruang tunggu stasiun, di ruang tungggu terminal, atau di tempat-tempat umum lain, kita menjadi teramat susah menjumpai orang-orang yang sedang membaca buku.
Dari sepuluh orang, mungkin hanya satu yang melakukan itu. Pemuda Rangga yang gemar membaca dan mengunjungi perpustakaan, baru ada dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Tak ayal, hasil survei UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada tahun 2012 mencatat, minat baca di Indonesia merupakan yang terendah di Asia Tenggara. Menurut UNESCO, indeks minat membaca Indonesia baru mencapai 0,001.
Artinya, dalam setiap seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP (United Nations Development Programme) merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen.
Kondisi itu, barangkali menjadi penyebab mendiang Y.B Mangunwijaya merasa prihatin. Pria yang akrab disapa Romo Mangun itu kemudian mengatakan: “Generasi kita lebih bodoh dari generasi Soekarno-Hatta.” Bukan tanpa alasan, Romo Mangun memandang, Generasi Soekarno bisa membuat negara, lha kok generasi sekarang malah seperti tanpa punya negara? “Itu kan anarkis,” tandas Romo.
Pemerintah sekarang, bisa dianggap gagal mengkampanyekan budaya membaca. Teramat jarang kita mendengar Yang Terhormat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak rakyat Indonesia untuk rajin membaca. Jika kita mengingat Presiden Soekarno, sang singa podium itu seringkali mengutip kalimat penting dari penulis-penulis besar. Presiden Soekarno, kemudian menganjurkan rakyatnya untuk membaca karya-karya dari penulis tersebut.
Penghargaan terhadap buku, sebenarnya telah dilakukan oleh dunia internasional maupun dalam negeri. Hal itu ditandai dengan diperingatinya Hari Buku Internasional setiap tanggal 23 April, dan Hari Buku Nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Mei. Menurut sejarahnya, peringatan Hari Buku Internasional adalah untuk menghormati Miguel de Cervantes, seorang pengarang besar yang meninggal dunia pada 23 April 1616. Sedangkan peringatan Hari Buku Nasional disesuaikan dengan hari didirikannya Perpustakaan Nasional di Jakarta, pada 17 Mei 1980.
Tetapi, sebagaimana sebuah peringatan, semua tidak akan ada artinya jika yang diambil justru abunya, bukan apinya. Memperingati hari buku, harus diikuti pula ‘api’ komitmen untuk menyalakan budaya membaca, paling tidak dimulai dalam diri masing-masing.
Tegal Sudah Cerdas?
Jika Yogyakarta adalah Kota Pendidikan, maka Kota Tegal tetap Kota Bahari. Terletak persis di bibir pantai utara, membuat Kota Tegal ditakdirkan berkultur pesisiran, yang identik dengan kehidupan keras, dan lugas ala nelayan. Meskipun begitu, Kota Tegal tidak pasrah bongkokan, ia terus bertransformasi menuju, paling tidak kota yang berpendidikan. Bukan bermaksud menyaingi Yogyakarta, namun, banyak tumbuhnya universitas atau pun perguruan tinggi memang merupakan sebuah kebutuhan sebuah kota yang memimpikan sebuah kemajuan.
Iklim pendidikan, sudah barang tentu harus diimbangi dengan tersedianya referensi. Dari sana, akan muncul pertanyaan: Seberapa memadai perpustakaan di Kota Tegal? Seberapa banyak toko buku yang komplit dan berharga terjangkau, untuk menyediakan buku bagi kebutuhan masyarakat baca? Lalu, seberapa tinggi minat baca masyarakat Kota Tegal? Dan, apakah Kota Tegal sudah cerdas dengan kondisi itu semua?
Di jantung Kota Tegal, Perpustakaan Daerah Mr Besar Martokoesoemo yang memiliki koleksi ribuan buku, sebenarnya sudah cukup mengakomodir kebutuhan referensi, kebutuhan akan meminjam buku. Akan tetapi, persoalannya ada pada minat baca masyarakat, utamanya masyarakat umum. Sebab, sepanjang ini, perpustakaan didominasi oleh kalangan pelajar dan mahasiswa, yang boleh jadi datang untuk keperluan mengerjakan tugas mereka.
Sementara, di tingkat kantor-kantor kelurahan, juga sebenarya telah disediakan satu ruangan untuk disulap menjadi perpustakaan. Namun, perpustakaan kelurahan masih sebatas menyediakan buku-buku seadanya. Meskipun tentu, sepinya perpustakaan kelurahan, bukan pada persoalan minimnya jumlah buku. Sebab, dengan kapasitasnya pemerintah terkait bisa saja mengusahakan penambahan buku. Persoalan besarnya, lagi-lagi adalah minat baca masyarakat itu sendiri. Harus diakui, minimnya sosialisasi, boleh jadi membuat masyarakat masih abai terhadap budaya membaca buku.
Padahal, seharusnya gerakan gemar membaca, sebagaimana gerakan makan ikan yang telah lebih dulu ada, sangat bisa dilakukan. Misalnya dengan menggelar Tegal Book Fair atau festival-festival buku lain, yang minimal diadakan satu tahun sekali. Tetapi itu belum bisa dilakukan. Sekarang adalah tinggal kemauan bersama, menganggap ikan penting, jika tidak ada kemauan bersama pun akan hanya tinggal dimakan kucing. Sehingga, membudayakan membaca buku, harus dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua di rumah, apakah sudah cukup memberikan penyadaran sepenuhnya bahwa membaca itu penting?
Sementara, sepanjang hemat saya, di Kota Tegal belum ada toko buku besar yang bisa memenuhi kebutuhan buku masyarakat. Toko-toko buku yang ada, belum cukup komplit dan menyediakan buku dengan harga terjangkau. Tegal belum memiliki sentra buku seperti Jakarta memiliki Kwitang, atau Semarang memiliki pasar buku bekas di Pasar Johar. Tumbuhnya pusat perbelanjaan, yang justru lebih banyak menyediakan pakaian, menandakan buku masih menjadi kebutuhan nomor yang sekian.
Kota Tegal harus cerdas, dan buku harus menjadi teman, sebab bukankah sebaik-baiknya teman duduk adalah buku? Mengingat, seperti apa yang disampaikan Imam Suprayogo, Mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, bahwa misi pertama Islam yang mencetak umat Islam kaya ilmu bisa dilihat dari ayat yang pertama kali diturunkan yaitu ‘Iqro’ yang artinya membaca. Menurut Imam, dengan membaca manusia bisa mencipta; orang yang pintar membaca akan bisa mencipta, dan pendidikan diarahkan untuk bisa pintar membaca dan mencipta.
Sekali lagi, Agus Riyanto masih dalam buku yang sama, seperti ingin ‘menjotos’ kita: Sekarang, ketika budaya membaca dan menulis dianggap tamu asing, apa yang diharapkan pada generasi ini? Apakah cukup modal untuk menghadapi kehidupan yang kompetitif, dinamis, sementara mereka belum cukup memiliki referensi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar