Kota Tegal
adalah kota tua, kota legendaris yang penuh dengan bangunan kuno peninggalan
Belanda. Kota ini, pernah menjadi pangkalan militer terpenting Mataram pada
masa Sultan Agung. Di kota ini pula lahir cikal bakal Angkatan Laut di
Indonesia. Letak geografisnya sangat strategis, terletak di persimpangan jalan:
Tegal, Jakarta, Semarang, dan Purwokerto.
Sejak dulu,
kota ini sering digunakan untuk transit para pelancong yang pergi dari dan ke Semarang
atau Jakarta, baik itu pedagang, seniman, atau beragam profesi lainnya.
Barangkali, itulah mengapa Tegal kemudian menjadi kota yang terbuka, kota yang toleran terhadap perubahan yang dibawa oleh orang luar. Selain toleran, Tegal juga ramah, akibatnya para pelancong akan mempunyai kesan tersendiri dengan kota yang berjargon Laka-laka ini. Bahkan, tak jarang mereka mengaku kerasan, betah di Tegal. Ketoleranan dan keramahan Tegal, ditunjukkan pula oleh warganya ketika memilih pemimpin.
Rakyat Tegal tidak lagi mementingkan wong asli Tegal yang harus menjadi pemimpin mereka. Perdebatan bahwa yang layak menjadi pemimpin Tegal adalah putra daerah atau bukan putra daerah telah berangsur-angsur surut. Pertengahan Maret lalu, Walikota dan Wakil Walikota Tegal terpilih akan dilantik. Mereka adalah Siti Masitha Soeparno (Bunda Sitha) dan Nur Sholeh (Kang Nur). Bunda Sitha dan Kang Nur berhasil mengalahkan rival pasangan putra daerah, sekaligus incumbent Ikmal Jaya dan Edy Suripno.
Kultur Wong Tegal
Keterpilihan Bunda Sitha yang bukan orang asli Tegal, bukan putra daerah sebagai Walikota Tegal yang baru, sekali lagi, membuktikan bahwa Tegal itu terbuka, ramah, dan toleran. Meskipun ramah dan toleran, bukan berarti kemudian mereka abai dan pasrah bongkokan. Sejarah panjang Tegal mencatat bahwa wong Tegal pernah begitu kritis terhadap pemimpinnya. Rakyat Tegal tetap peka dan peduli terhadap sepak terjang pemimpin mereka.
Pada zaman
Belanda, dengan semboyan Banteng Wareng Ingobyongan,
rakyat Tegal secara revolusioner pernah menolak Demang Tirtanata yang
dianggap tidak lebih hanya sekedar boneka dan sekutu Belanda, yang tentu ada
maksud besar di balik penempatannya. Memasuki periode
Revolusi, tercetus Peristiwa Tiga Daerah. Di mana rakyat Tegal bergerak
menentang kepala desa, camat, wedana, bupati dan para pejabat lainnya untuk
membalas tindakan-tindakan mereka pada masa penjajahan.
Pasca
tumbangnya Orde Baru, euphoria Reformasi
menjalar sampai Tegal. Ini terbukti ketika rakyat Tegal, dengan serangkaian
demonstrasi dan pernyataan politik, berhasil menggulingkan Walikota M. Zakir
yang dianggap arogan dan melakukan praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Contoh-contoh tersebut, adalah sedikit manifestasi dari kultur wong Tegal yang revolusioner.
Karakter yang sepadan dengan falsafah
Banteng Loreng Binoncengan, sebuah falsafah
yang menggambarkan perwatakan wong Tegal
yang lugu, lugas, dan berani, seperti banteng loreng. Tetapi, bagaimanapun,
pada akhirnya Tegal dapat ditaklukkan oleh orang yang mengetahui perwatakannya,
meskipun ia hanya seorang bocah angon, anak kecil yang berseruling.
Bunda Sitha,
sebagai Walikota Tegal yang baru, harus banyak belajar dari perjalanan roda
sejarah Tegal. Ia sudah selayaknya mencoba menjadi bocah angon, anak kecil
berseruling yang bisa menjadi sahabat akrab, bisa memahami dan mengayomi keinginan
banteng loreng itu. Bunda Sitha, juga tidak boleh arogan dan KKN, jika tidak
ingin di-Zakirkan dari kursi pemerintahannya.
Membicarakan Tegal sebagai satu kesatuan budaya, tidak bisa semena-mena
memisahkan antara kotamadya dan kabupaten. Maka, tidak bisa pula keduanya dibedakan
karakter Tegalannya. Kota dan
Kabupaten Tegal hanya terpisah secara
adminstratif, lain tidak. Oleh karena itu, seruan hati-hati dan semangat
megayomi, rasa-rasanya relevan, jika, paling tidak juga dibaca oleh pemimpin Kabupaten
Tegal. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar