Tari Giyul Bahari |
Sejak
dulu, Kota Tegal dikenal mempunyai slogan Kota Bahari. Ini dikarenakan letak
georafis Kota Tegal yang tepat berada di bibir pantai, orang menyebutnya
pesisir pantai utara (pantura). Sebagamaina tabiat masyarakat pantura, maka
tidak mengherankan jika sebagian besar warga Kota Tegal hidup dari laut sebagai
nelayan.
Atas dasar itu, Pengelola Sanggar Seni Perwitasari Priambodo dan Sri Damayanti tiga tahun yang lalu melakukan observasi jauh ke perkampungan-perkampungan nelayan. Mereka melihat, merasakan, dan berdialog langsung di tengah kehidupan para nelayan. Bagi mereka, kehidupan nelayan merupakan heroisme tersendiri. Sebab, menjadi seorang nelayan memang penuh resiko, di tengah laut seorang nelayan bisa saja bertemu dengan ombak dan badai yang besar. Namun mereka tetap tawakal menjalani kehidupan dilautan. Melaut, bagi mereka merupakan tugas suci untuk bisa memberikan kehidupan istri dan anak sendiri.
Dari hasil observasi pasangan suami istri tersebut, maka terciptalah sebuah tari yang diberi nama Giyul Bahari. Tari Giyul Bahari, seperti dijelaskan Priambodo, merupakan sebuah tari kreasi yang menceritakan kehidupan seorang nelayan. Giyul sendiri, merupakan penghalusan kata dari geol atau gerakan bergoyang.
Jumlah
penari, disesuaikan dengan kondisi, bisa dengan dua orang, empat orang atau
lebih, asal formasi nya tetap laki-laki dan perempuan. Tari ini diawali dengan
tabuhan musik gamelan yang bernuansa kerakyatan, dengan narasi berupa
perjalanan seorang nelayan dari rumah yang hendak mencari ikan di laut, sebelum
berangkat dia tidak lupa mempersiapkan seluruh peralatan dan mengangkat sembah
untuk berdoa pada Allah Yang Maha Kuasa.
Kemudian,
sang penari laki-laki melakukan gerakan dayungan yang menggambarkan nelayan
telah berangkat dengan mendayung sebuah perahu. Sebagaimana seorang nelayan,
adakalanya mendapatkan ikan banyak, tetapi, pada saat tertentu bisa sama sekali
tidak mendapatkan ikan. Setelah mengumpulkan hasil tangkapan, datanglah seorang
Dewi Baruna yang diperankan oleh penari putri yang membawa kepis (tempat ikan).
Selang beberapa saat, Dewi Baruna memakai selendang dan menjelma menjadi rakyat biasa. Setelah diterima Dewi Baruna, ikan pun di olah dan di bawa untuk dijual ke pasar. Di akhir tari, baik sang nelayan maupun Dewi Baruna bersama-sama memanjatkan doa kepada Allah atas karunia yang didapatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar