Manusia bisa
saja tampil dengan daya survive yang
begitu hebat. Tetapi, penyakit dan ajal, terkadang lebih buas menerkam ia: si
manusia. Di Rumah Sakit Yarsis Solo, Minggu (5/1/2014), jagad seni Nusantara
berduka, Ki Slamet Gundono, dipanggil Allah, Kekasih yang sangat ia cinta dan puja
itu. Gundono, kemudian dimakamkan Senin (6/1/2014), di tanah kelahirannya: Desa
Dukuhsalam, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. Para sahabat seniman dan
budayawan juga handai taulan, berdesak mengantar Gundono pergi keharibaan Kekasihnya,
di Akhirat sana.
Lahir 16 Juni 1967, dengan nama Gundono. Bakat mendalang Gundono, tertanam sejak kecil. Ayahnya, Ki Suwardi, adalah dalang yang waktu itu cukup laris di Tegal. Tamat dari sekolah dasar, Gundono memutuskan untuk nyantri di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Babakan Lebaksiu. Awalnya Gundono yakin, di Pesantren, ia bisa betah dan tekun belajar. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Di Pesantren, darah berkeseniannya semakin meledak-ledak. Ia sering ngacir, mencuri waktu untuk pergi menonton ketoprak dan wayang.
Lahir 16 Juni 1967, dengan nama Gundono. Bakat mendalang Gundono, tertanam sejak kecil. Ayahnya, Ki Suwardi, adalah dalang yang waktu itu cukup laris di Tegal. Tamat dari sekolah dasar, Gundono memutuskan untuk nyantri di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Babakan Lebaksiu. Awalnya Gundono yakin, di Pesantren, ia bisa betah dan tekun belajar. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Di Pesantren, darah berkeseniannya semakin meledak-ledak. Ia sering ngacir, mencuri waktu untuk pergi menonton ketoprak dan wayang.
Setelah lulus dari Pesantren, Gudono melanjutkan pendidikan ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Teater (1988-1990). Kemudian pindah ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta Jurusan Pedalangan.
Sang Ekalaya
Bambang Ekalaya adalah putra Prabu Hirayandanu, Raja Nisada. Suatu hari, Ekalaya mendengar ada seorang yang hebat dalam memanah, namanya Arjuna, murid Durna. Ekalaya pun tertarik untuk menjadi murid Durna, tetapi ditolak, tetapi ia tetap mendapat restu. Setelah itu, Ekalaya pergi ke hutan, ia membuat patung serupa Durna. Setiap akan latihan memanah, ia meminta restu patung Durna, yang dianggap gurunya itu. Dus, suatu ketika, terbukti, dalam memanah, Ekalaya lebih hebat dari Arjuna, murid resmi Durna.
Seperti Ekalaya yang begitu mengagumi Durna, Gundono adalah pengagum berat Ki Nartosabdo. Gundono begitu terpesona dengan dalang asal Semarang itu. Untuk kepentingan studi, ia mengolah Kumbakarna Gugur karya Ki Nartosabdo. Ia juga membeli hampir semua kaset Ki Nartosabdo. Ke-Ekalayaan Gundono, terlihat ketika di dalam biliknya, terdapat gambar danm patung Ki Nartosabdo. Ia sering memandang gambar dan patung itu, memohon restu, agar ia bisa sungguh ngangsu kawruh darinya. Demikian tekun Gundono belajar dari Ki Nartosabdo, Durnanya Ekalaya. Dengan begitu, ia telah benar-benar menjadi Bambang Ekalaya.
Gundono, adalah dalang nyentrik. Dengan wayang suket, ia mendalang dengan sederhana, apa adanya. Tidak mesti menggunakan suket (rumput). Ia mencomot pisang, kerupuk, tahu aci, atau jajanan yang ada di depannnya untuk dijadikan wayang. Berat badannya, tidak membatasi geraknya. Terkadang, ia mendalang sambil duduk, berdiri, atau sesekali menggoyangkan badan dengan menggendong kentrung khasnya.
Latar belakang Pesantren, membuat ia bisa secara mendalam menyayat bacaan barzanji. Dalam setiap pagelarannya, Gundono selalu mengajak pendengarnya untuk berfikir filosofis. Ceritanya satir, menggelitik, terkadang pedas khas Tegalan. Lewat suluk, denting kentrung, gerak wayang suket, dan suara yang ia sajikan secara merdu, syahdu dan sekali waktu melengking, selalu terselip nilai-nilai kehidupan yang bukan saja menghipnotis, melainkan merasuk ke dalam relung setiap jiwa yang mendegarnya.
Kini, Gundono memang telah tiada. Ia telah wisuda. Tetapi, ia akan tetap hidup. Ia meliuk di dalam gerak wayang suket, ia merasuk di dalam bahasa Tegalan yang egaliter, dan ia meresap di dalam merdunya syair Kangen Barzanji. (*)
Bambang Ekalaya adalah putra Prabu Hirayandanu, Raja Nisada. Suatu hari, Ekalaya mendengar ada seorang yang hebat dalam memanah, namanya Arjuna, murid Durna. Ekalaya pun tertarik untuk menjadi murid Durna, tetapi ditolak, tetapi ia tetap mendapat restu. Setelah itu, Ekalaya pergi ke hutan, ia membuat patung serupa Durna. Setiap akan latihan memanah, ia meminta restu patung Durna, yang dianggap gurunya itu. Dus, suatu ketika, terbukti, dalam memanah, Ekalaya lebih hebat dari Arjuna, murid resmi Durna.
Seperti Ekalaya yang begitu mengagumi Durna, Gundono adalah pengagum berat Ki Nartosabdo. Gundono begitu terpesona dengan dalang asal Semarang itu. Untuk kepentingan studi, ia mengolah Kumbakarna Gugur karya Ki Nartosabdo. Ia juga membeli hampir semua kaset Ki Nartosabdo. Ke-Ekalayaan Gundono, terlihat ketika di dalam biliknya, terdapat gambar danm patung Ki Nartosabdo. Ia sering memandang gambar dan patung itu, memohon restu, agar ia bisa sungguh ngangsu kawruh darinya. Demikian tekun Gundono belajar dari Ki Nartosabdo, Durnanya Ekalaya. Dengan begitu, ia telah benar-benar menjadi Bambang Ekalaya.
Gundono, adalah dalang nyentrik. Dengan wayang suket, ia mendalang dengan sederhana, apa adanya. Tidak mesti menggunakan suket (rumput). Ia mencomot pisang, kerupuk, tahu aci, atau jajanan yang ada di depannnya untuk dijadikan wayang. Berat badannya, tidak membatasi geraknya. Terkadang, ia mendalang sambil duduk, berdiri, atau sesekali menggoyangkan badan dengan menggendong kentrung khasnya.
Latar belakang Pesantren, membuat ia bisa secara mendalam menyayat bacaan barzanji. Dalam setiap pagelarannya, Gundono selalu mengajak pendengarnya untuk berfikir filosofis. Ceritanya satir, menggelitik, terkadang pedas khas Tegalan. Lewat suluk, denting kentrung, gerak wayang suket, dan suara yang ia sajikan secara merdu, syahdu dan sekali waktu melengking, selalu terselip nilai-nilai kehidupan yang bukan saja menghipnotis, melainkan merasuk ke dalam relung setiap jiwa yang mendegarnya.
Kini, Gundono memang telah tiada. Ia telah wisuda. Tetapi, ia akan tetap hidup. Ia meliuk di dalam gerak wayang suket, ia merasuk di dalam bahasa Tegalan yang egaliter, dan ia meresap di dalam merdunya syair Kangen Barzanji. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar