Nama kecilnya Ibrahim. Datuk Tan Malaka adalah gelarnya. Muhammad Yamin, dalam buku Tan Malaka Bapak Republik Indonesia (1964), menulis: Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Filipina sebelum Revolusi Filipina pecah.
Jika Yamin menyebut Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia, Soekarno menjulukinya sebagai Orang yang Mahir Revolusi. Oleh karenanya, Sang Proklamator itu memberikan mandat kepada Tan Malaka untuk memimpin Revolusi andaikata ia dan Hatta meninggal dunia.
Tan Malaka menghabiskan masa hidupnya untuk bergerilya. Di dalam negeri ia bergerak dari Bukittinggi, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, sampai Kediri. Di luar negeri, ia berjuang di Amsterdam, Berlin, Moskow, Shanghai, Hong Kong, Bangkok, Saigon, Singapura sampai Manila. Ia adalah peletak dasar ide menuju Republik Indonesia. Pada 1925, menulis Naar de Republiek Indonesia. Karyanya yang lain, Massa Actie (1926), disebut-sebut sebagai buku panduan, bahan bacaan wajib kaum pergerakan saat itu.
Tan Malaka adalah seorang Indonesia yang sangat mencintai bangsa dan tanah airnya. Hal ini, digambarkan oleh Matu Mona dalam roman sejarahnya yang terkenal, Pacar Merah Indonesia: Petualangan Tan Malaka menjadi Buron Polisi Kolonial (2010). Matu, menggambarkan Tan Malaka dengan nama Vichitra yang tergolek lemah, sakit di Thailand.
“Aku rasa penyakitku jauh daripada sembuh, karena penyakit yang kuderita ini selamanya mengganggu aku. Obat tidak berhasil menyembuhkannya, karena semasa di Filipina aku sudah diberi obat oleh sahabatku yang setia, dirawat oleh dokter yang ternama, malah tidak juga berhasil. Cuma satu yang bisa menyembuhkan penyakit ini sesembuh-sembuhnya, yaitu aku mesti mengecap tanah airku yang nyaman itu.”
Sambil mengucapkan Indonesia, Vichitra, Pacar Merah yang sakit itu, melelehkan air matanya. Karena kata-kata itu menimbulkan kenang-kenangan yang hebat dan dahsyat, menyayukan dan memediskan ke dalam jantung hatinya.
Tan Malaka adalah Pacar Merah yang terus menerus dibunuh oleh bangsanya. Meskipun telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, sejak ditembak mati di Desa Selopanggung Kediri, sampai hari ini, ia belum mendapatkan tempat yang semestinya. Ide, gagasan, dan pikirannya terus menerus berusaha dibunuh, dikubur.
Baru-baru ini, di Surabaya, diskusi buku Tan Malaka dibubarkan oleh ormas Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB). Sebagian media, menyebut Front Pembela Islam (FPI). Mereka mengatakan diskusi itu meresahkan, karena mengajarkan Marxisme atau Komunisme yang dianggapnya sebagai ajaran kafir harbi, yang harus diperangi.
Premanisme semacam itu, terpaksa mengingatkan kita akan kebiasaan rezim militeris Orde Baru yang sangat alergi dengan Marxisme dan Komunisme. Pada masa Orde Baru, segala sesuatu yang dianggap berbau Marxisme dan Komunisme, semuanya dibakar habis, dilenyapkan.
Tentu, peristiwa di Surabaya itu sangat menyayat hati, ketika di sisi lain, kita telah bersepakat merobohkan rezim militeris Orde Baru dan menggelar Orde yang lebih demokratis di bawah bendera Reformasi. Peristiwa itu, juga mengindikasikan bahwa Orde Baru memang telah lenyap, tetapi, hantu-hantu mereka masih tetap bergentayangan, dan eksis.
Ide, gagasan, dan pikiran Tan Malaka, sebagaimana ide, gagasan, dan pikiran manusia, sejatinya tidak akan pernah mati, meskipun dibunuh dan dikubur berulangkali. Satu hal yang mereka, preman bersorban itu lupakan, sebagaimana yang sering dikatakan Tan Malaka: Dari dalam kubur, suaranya akan lebih keras daripada di atas bumi. (*)
Jika Yamin menyebut Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia, Soekarno menjulukinya sebagai Orang yang Mahir Revolusi. Oleh karenanya, Sang Proklamator itu memberikan mandat kepada Tan Malaka untuk memimpin Revolusi andaikata ia dan Hatta meninggal dunia.
Tan Malaka menghabiskan masa hidupnya untuk bergerilya. Di dalam negeri ia bergerak dari Bukittinggi, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, sampai Kediri. Di luar negeri, ia berjuang di Amsterdam, Berlin, Moskow, Shanghai, Hong Kong, Bangkok, Saigon, Singapura sampai Manila. Ia adalah peletak dasar ide menuju Republik Indonesia. Pada 1925, menulis Naar de Republiek Indonesia. Karyanya yang lain, Massa Actie (1926), disebut-sebut sebagai buku panduan, bahan bacaan wajib kaum pergerakan saat itu.
Tan Malaka adalah seorang Indonesia yang sangat mencintai bangsa dan tanah airnya. Hal ini, digambarkan oleh Matu Mona dalam roman sejarahnya yang terkenal, Pacar Merah Indonesia: Petualangan Tan Malaka menjadi Buron Polisi Kolonial (2010). Matu, menggambarkan Tan Malaka dengan nama Vichitra yang tergolek lemah, sakit di Thailand.
“Aku rasa penyakitku jauh daripada sembuh, karena penyakit yang kuderita ini selamanya mengganggu aku. Obat tidak berhasil menyembuhkannya, karena semasa di Filipina aku sudah diberi obat oleh sahabatku yang setia, dirawat oleh dokter yang ternama, malah tidak juga berhasil. Cuma satu yang bisa menyembuhkan penyakit ini sesembuh-sembuhnya, yaitu aku mesti mengecap tanah airku yang nyaman itu.”
Sambil mengucapkan Indonesia, Vichitra, Pacar Merah yang sakit itu, melelehkan air matanya. Karena kata-kata itu menimbulkan kenang-kenangan yang hebat dan dahsyat, menyayukan dan memediskan ke dalam jantung hatinya.
Tan Malaka adalah Pacar Merah yang terus menerus dibunuh oleh bangsanya. Meskipun telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, sejak ditembak mati di Desa Selopanggung Kediri, sampai hari ini, ia belum mendapatkan tempat yang semestinya. Ide, gagasan, dan pikirannya terus menerus berusaha dibunuh, dikubur.
Baru-baru ini, di Surabaya, diskusi buku Tan Malaka dibubarkan oleh ormas Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB). Sebagian media, menyebut Front Pembela Islam (FPI). Mereka mengatakan diskusi itu meresahkan, karena mengajarkan Marxisme atau Komunisme yang dianggapnya sebagai ajaran kafir harbi, yang harus diperangi.
Premanisme semacam itu, terpaksa mengingatkan kita akan kebiasaan rezim militeris Orde Baru yang sangat alergi dengan Marxisme dan Komunisme. Pada masa Orde Baru, segala sesuatu yang dianggap berbau Marxisme dan Komunisme, semuanya dibakar habis, dilenyapkan.
Tentu, peristiwa di Surabaya itu sangat menyayat hati, ketika di sisi lain, kita telah bersepakat merobohkan rezim militeris Orde Baru dan menggelar Orde yang lebih demokratis di bawah bendera Reformasi. Peristiwa itu, juga mengindikasikan bahwa Orde Baru memang telah lenyap, tetapi, hantu-hantu mereka masih tetap bergentayangan, dan eksis.
Ide, gagasan, dan pikiran Tan Malaka, sebagaimana ide, gagasan, dan pikiran manusia, sejatinya tidak akan pernah mati, meskipun dibunuh dan dikubur berulangkali. Satu hal yang mereka, preman bersorban itu lupakan, sebagaimana yang sering dikatakan Tan Malaka: Dari dalam kubur, suaranya akan lebih keras daripada di atas bumi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar