Raden Mas Rangsang (1593-1646) atau yang kemudian
bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama adalah Raja
terbesar Kerajaan Mataram setelah Panembahan Senapati. Meskipun Senapati
berhasil meletakkan kekuasaan Mataram di atas wilayah yang luas, dari Kali
Citarum di Jawa Barat sampai Blambangan di ujung timur pulau Jawa, tetapi, setiap
kali pergantian Raja masih saja timbul pembangkangan, pemberontakan.
Pranata SSP, dalam Cerita dari Imogiri (1977), menulis, untuk mempersatukan seluruh wilayah negara, ideologi dan hukum saja tidak lengkap, maka Mataram harus memiliki Pemerintahan yang kuat. Ketika berkuasa (1613-1645), Sultan Agung menyadari bahwa tugas kemiliteran di Mataram yang notabene adalah sebuah negara baru itu sangatlah penting.
Sultan yang juga bergelar Prabu Pandita Hanyakrakusuma ini, kemudian meneruskan tradisi sejak zaman Majapahit: semua penduduk dikenakan wajib militer. Setiap desa, sedikitnya harus mempunyai seratus prajurit yang tangguh, dan sang kepala desa wajib merangkap menjadi kepala seksi atau yang disebut Panatus: Pemimpin Satus Prajurit.
Tiap-tiap kecamatan harus memiliki seribu prajurit, dan tentu saja, sang camat merangkap pula sebagai Panewu: Pemimpin Sewu Prajurit. Pendek kata, pada zaman itu tiap kepala pemerintahan, baik di pusat maupun daerah wajib memiliki kualitas sebagai panglima perang.
Pemberontakan dari Dalam
Bentrok dengan VOC di Jepara
Pranata SSP, dalam Cerita dari Imogiri (1977), menulis, untuk mempersatukan seluruh wilayah negara, ideologi dan hukum saja tidak lengkap, maka Mataram harus memiliki Pemerintahan yang kuat. Ketika berkuasa (1613-1645), Sultan Agung menyadari bahwa tugas kemiliteran di Mataram yang notabene adalah sebuah negara baru itu sangatlah penting.
Sultan yang juga bergelar Prabu Pandita Hanyakrakusuma ini, kemudian meneruskan tradisi sejak zaman Majapahit: semua penduduk dikenakan wajib militer. Setiap desa, sedikitnya harus mempunyai seratus prajurit yang tangguh, dan sang kepala desa wajib merangkap menjadi kepala seksi atau yang disebut Panatus: Pemimpin Satus Prajurit.
Tiap-tiap kecamatan harus memiliki seribu prajurit, dan tentu saja, sang camat merangkap pula sebagai Panewu: Pemimpin Sewu Prajurit. Pendek kata, pada zaman itu tiap kepala pemerintahan, baik di pusat maupun daerah wajib memiliki kualitas sebagai panglima perang.
Pemberontakan dari Dalam
Daerah-daerah pantai merasa tidak puas dengan
Pemerintah Pusat Mataram. Sebagai negara maritim, bukankah seharusnya
Pemerintah Pusat harus berada di kota pantai? Dengan memiliki armada laut yang
kuat? Dengan demikian, kota pantailah yang lebih pantas menjadi ibu kota Negara
Mataram, bukan di kota pedalaman seperti Kreta ataupun Kotagede. Berangkat dari
alasan ini, Gresik yang sejak semula telah menjadi kota dagang yang maju pesat,
terang-terangan menentang Sultan Agung.
Pada tahun berikutnya, 1614, Adipati Kediri yang
pernah memegang tampuk pemerintahan pusat Negara Maritim Nusantara abad-12,
memimpikan untuk mengulang sejarah. Kediri memberontak dibantu pasukan Tuban
dan Pasuruan mencoba menyerang Pusat Mataram tapi gagal.
Namun demikian, Jawa Timur tidak putus harapan. Adipati
Surabaya bangkit dan tampil kedepan sebagai pemimpin pemberontakan. Sebuah
pasukan gabungan dari sembilan kabupaten yang teridiri dari Surabaya, Gresik,
Tuban, Lasem, Japan (Mojokero), Wirasaba, Pasuruan, Arosbaya (Madura Barat),
dan Sumenep terbentuk. Pasukan raksasa itu berangkat bersama dari daerah
masing-masing untuk menyerang Pusat Pemerintahan Mataram.
Tetapi karena persiapan yang kurang matang,
logistik kurang di atur dengan baik, dan ditambah wabah penyakit yang datang
menyerang perkemahan pasukan, memaksa pasukan raksasa ini kembali pulang
sebelum menemukan Pusat Pemerintahan Mataram yang sesungguhnya.
Adipati Jepara Tumenggung Bahureksa bertugas
mengkoordinasi seluruh daerah pantai utara, sudah sejak semula curiga dari
maksud VOC berdagang di Nusantara. Ketika VOC mendapatkan ijin dari Pemerintah
Pusat Mataram sejak 1610 untuk membangun kantor dagang di Jepara, ia berusaha
menghambat pembangunan itu dengan jalan mempersuliit VOC untuk mendapatkan
bahan bangunan. VOC tambah mendongkol ketika saat itu pula Pemerintah Pusat
Mataram meberikan ijin mendirkan kantor kepada Kompeni Inggris.
Pimpinan VOC kemudian merampas kapal-kapal dagang
Mataram yang berlabuh di Jepara. Tindakan kurang ajar ini kemudian langsung
dibalas Tumenggung Bahureksa. Sesuai intruksi Sultan Agung, kantor VOC di
Jepara digempur habis. Jan Pieterzoon Coen naik pitam. Ia mengirimkan duta
untuk berunding agar membebaskan tawanan Bahureksa. Permohonan itu ditolak
Sultan Agung. Bentrokan tak dapat dihindarkan.
Armada VOC dari Sunda Kelapa dikirim untuk
menggempur balik Jepara. Setibanya di sana, Jepara ditembaki dari lautan. Satu
pasukan VOC yang kuat mendarat dan melakukan pembakaran besar-besaran. Jepara
terbakar. Tentara Mataram di Jepara yang dipimpin Bahureksa terlalu lemah untuk
melakukan perlawanan. Meskipun demikian, mereka melakukan perlawanan sekuat
mungkin. Kerusakan Jepara akhirnya hanya terbatas pada bangunan di sekitar
pelabuhan saja.
Setelah membakar Jepara, VOC berlayar ke barat
dan membakar Sunda Kelapa serta kemudian
mendudukinya sebagai daerah kekuasaan yang pertama di Jawa. Kelak pada tahun
1921, Jayakarta alias Sunda Kelapa itu
diubah nama menjadi Batavia. Sejak peristiwa itu, Sultan Agung menganggap VOC
sebagai musuh bebuyutan.
Cita-cita mempersatukan seluruh wilayah Nusantara,
meskipun sampai akhir hayatnya tidak terlaksana seluruhnya, Sultan Agung tetap
menolak tunduk pada VOC. Itulah patriotisme yang bisa kita lihat dari seorang
ulama dan pemimpin besar dari Mataram. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar