4 Feb 2014

Sultan Agung dan Cita-Cita Persatuan Bangsa

Raden Mas Rangsang (1593-1646) atau yang kemudian bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama adalah Raja terbesar Kerajaan Mataram setelah Panembahan Senapati. Meskipun Senapati berhasil meletakkan kekuasaan Mataram di atas wilayah yang luas, dari Kali Citarum di Jawa Barat sampai Blambangan di ujung timur pulau Jawa, tetapi, setiap kali pergantian Raja masih saja timbul pembangkangan, pemberontakan. 

Pranata SSP, dalam Cerita dari Imogiri (1977), menulis, untuk mempersatukan seluruh wilayah negara, ideologi dan hukum saja tidak lengkap, maka Mataram harus memiliki Pemerintahan yang kuat. Ketika berkuasa (1613-1645), Sultan Agung menyadari bahwa tugas kemiliteran di Mataram yang notabene adalah sebuah negara baru itu sangatlah penting.

Sultan yang juga bergelar Prabu Pandita Hanyakrakusuma ini, kemudian meneruskan tradisi sejak zaman Majapahit: semua penduduk dikenakan wajib militer. Setiap desa, sedikitnya harus mempunyai seratus prajurit yang tangguh, dan sang kepala desa wajib merangkap menjadi kepala seksi atau yang disebut Panatus: Pemimpin Satus Prajurit.

Tiap-tiap kecamatan harus memiliki seribu prajurit, dan tentu saja, sang camat merangkap pula sebagai Panewu: Pemimpin Sewu Prajurit. Pendek kata, pada zaman itu tiap kepala pemerintahan, baik di pusat maupun daerah wajib memiliki kualitas sebagai panglima perang. 

Pemberontakan dari Dalam 

Daerah-daerah pantai merasa tidak puas dengan Pemerintah Pusat Mataram. Sebagai negara maritim, bukankah seharusnya Pemerintah Pusat harus berada di kota pantai? Dengan memiliki armada laut yang kuat? Dengan demikian, kota pantailah yang lebih pantas menjadi ibu kota Negara Mataram, bukan di kota pedalaman seperti Kreta ataupun Kotagede. Berangkat dari alasan ini, Gresik yang sejak semula telah menjadi kota dagang yang maju pesat, terang-terangan menentang Sultan Agung.

Pada tahun berikutnya, 1614, Adipati Kediri yang pernah memegang tampuk pemerintahan pusat Negara Maritim Nusantara abad-12, memimpikan untuk mengulang sejarah. Kediri memberontak dibantu pasukan Tuban dan Pasuruan mencoba menyerang Pusat Mataram tapi gagal.

Namun demikian, Jawa Timur tidak putus harapan. Adipati Surabaya bangkit dan tampil kedepan sebagai pemimpin pemberontakan. Sebuah pasukan gabungan dari sembilan kabupaten yang teridiri dari Surabaya, Gresik, Tuban, Lasem, Japan (Mojokero), Wirasaba, Pasuruan, Arosbaya (Madura Barat), dan Sumenep terbentuk. Pasukan raksasa itu berangkat bersama dari daerah masing-masing untuk menyerang Pusat Pemerintahan Mataram.

Tetapi karena persiapan yang kurang matang, logistik kurang di atur dengan baik, dan ditambah wabah penyakit yang datang menyerang perkemahan pasukan, memaksa pasukan raksasa ini kembali pulang sebelum menemukan Pusat Pemerintahan Mataram yang sesungguhnya. 

Bentrok dengan VOC di Jepara 

Adipati Jepara Tumenggung Bahureksa bertugas mengkoordinasi seluruh daerah pantai utara, sudah sejak semula curiga dari maksud VOC berdagang di Nusantara. Ketika VOC mendapatkan ijin dari Pemerintah Pusat Mataram sejak 1610 untuk membangun kantor dagang di Jepara, ia berusaha menghambat pembangunan itu dengan jalan mempersuliit VOC untuk mendapatkan bahan bangunan. VOC tambah mendongkol ketika saat itu pula Pemerintah Pusat Mataram meberikan ijin mendirkan kantor kepada Kompeni Inggris.

Pimpinan VOC kemudian merampas kapal-kapal dagang Mataram yang berlabuh di Jepara. Tindakan kurang ajar ini kemudian langsung dibalas Tumenggung Bahureksa. Sesuai intruksi Sultan Agung, kantor VOC di Jepara digempur habis. Jan Pieterzoon Coen naik pitam. Ia mengirimkan duta untuk berunding agar membebaskan tawanan Bahureksa. Permohonan itu ditolak Sultan Agung. Bentrokan tak dapat dihindarkan.

Armada VOC dari Sunda Kelapa dikirim untuk menggempur balik Jepara. Setibanya di sana, Jepara ditembaki dari lautan. Satu pasukan VOC yang kuat mendarat dan melakukan pembakaran besar-besaran. Jepara terbakar. Tentara Mataram di Jepara yang dipimpin Bahureksa terlalu lemah untuk melakukan perlawanan. Meskipun demikian, mereka melakukan perlawanan sekuat mungkin. Kerusakan Jepara akhirnya hanya terbatas pada bangunan di sekitar pelabuhan saja.

Setelah membakar Jepara, VOC berlayar ke barat dan  membakar Sunda Kelapa serta kemudian mendudukinya sebagai daerah kekuasaan yang pertama di Jawa. Kelak pada tahun 1921, Jayakarta  alias Sunda Kelapa itu diubah nama menjadi Batavia. Sejak peristiwa itu, Sultan Agung menganggap VOC sebagai musuh bebuyutan.

Cita-cita mempersatukan seluruh wilayah Nusantara, meskipun sampai akhir hayatnya tidak terlaksana seluruhnya, Sultan Agung tetap menolak tunduk pada VOC. Itulah patriotisme yang bisa kita lihat dari seorang ulama dan pemimpin besar dari Mataram. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar