Alun-Alun Slawi |
Pagi itu, Selasa (28/1/2014), handphone berbunyi dengan nada standard
pertanda sebuah pesan pendek masuk. Beberapa detik kemudian, tampil dilayar
sebuah kalimat dari si pengirim pesan:
“Apa kabar Mas? Semalam mimpi
panjenengan, ada juga anak-anak yang lain: Dije (Didi Junaedi), Pak Ustad
(Ruslani), Caleg (Sigit Maulana), Cemo (Muhammad Isnaeni Wahyudi), Wiwit (Bekti
Setiyo). Kita semua pada kumpul.”
Dengan sigap, aku kemudian menjawab: “Ayo Mas, kapan pulang?” Ia lantas membalas: “Iya Mas, ingin pulang. Nanti main, kalau pulang.” Kami pun kemudian terbawa suasana rindu, tanpa sadar percakapan menuju saling berbagi kabar. Syukur, ia dalam keadaan baik.
Ya, Rizka Sofyan, si pengirim sms itu, memanggil aku Mas. Aku juga memanggil ia Mas, meski usia hanya berpaut beberapa bulan saja. Tradisi kami, panggilan Mas, adalah produk perjuangan, perwujudan dari rasa saling menghormati, satu sama lain. Habis siang terbitlah malam. Di luar, tanah Dukuhwaru basah kuyup, setelah dirundung hujan. Sementara di televisi, Persib Bandung sementara unggul dua gol dari klub Thailand Raj Pracha FC. Seisi Stadion Si Jalak Harupat Bandung menyambut dengan riang.
Di tengah hiruk pikuk Bobotoh Persib merayakan gol kedua yang diciptakan oleh Makan Konate, handphone kembali berbunyi: “Mas ada di mana? Aku mau ke rumah.” Diiringi dengan teriakan Valentino, sang komentator, yang terkenal membakar itu, aku segera megetik abjad: “Di rumah Mas, monggo. Sudah sampai mana? Ia, kemudian lekas membalas: “Sampai di gerbang Dukuhwaru.”
Aku, yang saat itu masih sarungan, menyambut Rizka di halaman depan. Slankers yang baru saja diwisuda sebagai Sarjana Hukum itu sudah tiba di depan rumah. Ia sengaja pulang, datang dari Cirebon dengan menggandeng seorang bidadari surganya. Dua kawan yang sudah lama tidak berjumpa ini pun kemudian salaman, erat. Mereka masuk, dan duduk santai di ruang tamu.
Di ruang tamu, suasana hangat. Rizka sempat menunjukkan foto wisudanya. Ia gagah mengenakan toga itu. Obrolan terus mengalir, ia dan bidadari surganya kemudian mengajak tuan rumah yang masih sarungan itu untuk keluar makan Kupat Glabed, makanan khas Tegal, yang barangkali akan sulit ditemukan di Cirebon.
Berhubung kami bertiga, agar orang ketiga tidak dicurigai setan, maka, sekaligus urusan makan, ‘haram’ hukumnya kalau tidak mengajak Yudi. Mobil Plat E yang disetir Rizka pun meluncur di atas sirkuit basah, detak jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Aku sudah berganti pakaian, tidak lagi sarungan, tanpa sempat membuatkan wedang. Yudi yang malam itu berada di Pagiyanten, akhirnya diciduk. Untuk melengkapi, Wiwit yang tentu sedang menyaksikan laga Persib, juga diajak.
Cerita menegangkan, terjadi saat perjalanan Pagiyanten menuju rumah Wiwit di Penarukan. Di tengah perjalanan, dua orang menghentikan mobil kami, secara santun ia memohon untuk diberi tumpangan sampai ke Pertigaan Cunong, sementara satu orang lainnya petentang-petenteng mencurigakan. Karena gerak-gerik mereka yang diduga tidak hanya sekedar ingin menumpang, secara santun pula kami menolak permohonan mereka.
Rizka, sudah menyiapkan setrum dengan watt besar di tangan kanannya, aku dan Yudi juga sudah pasang kuda-kuda andai saja mereka memaksa. Beruntung, mereka cukup pengertian. Kami, aman dari tindakan yang tidak diingingkan. Dan Wiwit sudah menunggu di pinggir jalan. Beberapa menit di perjalanan, tibalah di Alun-Alun Tegal. Lima piring Kupat Glabed dan lima gelas teh hangat tersaji menemani perbincangan, di temaram Tegal yang katanya laka-laka.
Di Alun-Alun Tegal, selain menikmati malam berhias lampu-lampu yang tak kunjung padam, kita juga bisa melihat kontrasnya pedagang yang tidak disiplin. Mereka masih saja membuang air sisa pencucian di selokan. Padahal, tindakan ini yang sempat dipersoalkan Pemkot Tegal. Banyak keluhan, bahwa selokan, terutama di depan Masjid Agung Tegal yang menjadi sumber aroma tidak sedap yang menyengat.
Yang perlu diingat, Alun-Alun adalah wajah kota, dan bukan hanya warga Tegal saja yang singgah di sini. Maka sudah seharusnya, kita semua ikut menjaga kebersihan dan keindahannya.
Setelah melahap habis Kupat Glabed, perjalanan dilanjutkan ke Alun-Alun Slawi. Di tengah perjalanan, perbincangan semakin menarik. Rizka menceritakan tentang pengalamannya bermain teater. Suatu ketika, ia di daulat untuk menjadi ajudan Gubernur dalam lakon Surat Untuk Gubernur.
Surat Untuk Gubernur menceritakan tentang perjuangan seorang rakyat kecil tak terurus, yang menyurati Gubernurnya agar diperhatikan. Dan cerita ini, memang relevan, jika misalnya melihat kasus Dinasti Banten yang bergelimang harta, sedangkan kondisi rakyat dan daerahnya masih dalam keadaan tertinggal, tidak terurus, dan jelata.
Sesampainya di Alun-Alun Slawi, jahe susu sudah menunggu. Tikar kembali digelar, aku sengaja memutarkan Alun-Alun Slawi, lagu pop Tegalan yang dinyanyikan Bupati Agus Riyanto semasa ia masih menjabat. Agus, di mata Rizka, juga Bupati yang baik, Bupati yang punya program, Bupati yang visioner. Sayang, ia kejeblos kasus Jalingkos.
Perbincangan bergulir, malam semakin larut meninggalkan kasus Agus. Dan para pedagang Alun-Alun Slawi terlihat sudah mulai kukud. Begitupun kami, sebelum menuju pulang, kami sempat berfoto. Rizka tetap Slankers, ia bukan penggemar lagu Pance F. Pondaag: “Biarlah hanya di dalam mimpi, kita saling melepaskan rindu.” Rizka, telah mewujudkan mimpinya: pulang dengan indah dan bahagia, berkumpul dengan kami, kawan-kawan yang dirindukan dalam mimpinya itu.
Maka, benarlah kata orang bijak: semua berawal dari mimpi. Jadi, bermimpilah. Wujudkan mimpi-mimpi itu tidak hanya dengan berpangku. Bergeraklah dengan progresif dan revolusioner, demi hari esok yang lebih baik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar