“What’s
in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” Kalimat itu,
adalah kalimat terkenal dari William Shakespeare (1564-1661), Sastrawan
terbesar Inggris, pengarang cerita legendaris Romeo and Juliet. Kalimat itu, sekurang-kurangnya, jika
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut: Apalah arti sebuah
nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap
berbau wangi.
Shakespeare mungkin benar, karena kodratnya, mawar akan tetap berbau wangi meskipun diberi nama anggrek. Tetapi, Shakespeare tidak sepenuhnya benar, jika menganggap nama itu tidak berarti. Andaikata nama tidak berarti apa-apa, seperti anggapan Shakespeare, barangkali Allah tidak akan mengajarkan nama-nama benda kepada Adam. Bagi kebanyakan orang tua, khususnya di Jawa, nama adalah do’a.
Sehingga, mereka selalu memberikan nama-nama yang baik untuk anak-anak mereka. Jarang sekali ada orang tua memberi nama yang jelek untuk anak-anaknya. Anda tentu mengenal Soekarno. Siapa sangka, jika Pendiri Republik Indonesia itu memiliki nama kecil Kusno? Alkisah, Kusno kecil sering sakit-sakitan. Dus, Raden Soekemi, ayah Kusno yang orang Jawa itu, mengganti nama Kusno menjadi Soekarno.
Raden Soekemi terinspirasi tokoh wayang Adipati Karna, Pahlawan Besar dari Negeri Hastinapura. Dan terbukti benar, Soekarno menjadi Pahlawan Besar. Tentu, kita semua akan mempunyai cerita masing-masing tentang arti sebuah nama. Kita semua, pasti secara sadar pernah menanyakan kepada orang tua kita: apa arti nama kita? Maka, sejak saat itu, nama menjadi penting.
Nama adalah do’a orang tua. Ini, sepertinya juga berlaku untuk orang tua Wiwit Bekti Setiyo. Orang tua Wiwit, tentu mendambakan anaknya yang wiwitan (pertama) ini menjadi anak yang berbakti (bekti) dan setia (setiyo). Nama Wiwit Bekti Setiyo, memang tidak akan pernah Anda temukan di baliho-baliho, poster-poster berlatar belakang partai di pinggir jalan, atau yang dipaku di badan pohon. Paling banter, Anda akan bisa menemukan Wiwit di Desa Penarukan, rumahnya. Atau di kantor belakang Pasar Banjaran, tempat kerjanya.
Wiwit yang berbakti dan yang setia di tahun politik, tentu akan lolos sensor KPU. Karena ini bukan kampanye. Wiwit bukan caleg dari partai manapun. Pun jika benar-benar ada partai politik yang ingin meminang, Wiwit tentu akan menolak. Karena Wiwit tidak pernah bercita-cita menjadi caleg. Ia hanya ingin hidup sederhana, dan mati masuk surga, seperti quotes yang ia tuliskan di buku kenang-kenangan SMA.
Maka Wiwit tetap bukan caleg, barangkali, sebagaimana kita semua yang belum menikah, ia hanya caten (calon penganten) yang belum dipinang ‘partai politik’ manapun. Sehingga, ia masih dalam bidikan KUA. Wiwit, dalam istilah sepak bola: masih bebas transfer. Sejak SMA, Wiwit memang menggemari sepak bola. Ia mantap sebagai Striker, yang memang lebih berbakat menjebol gawang ketimbang menjaganya.
Gayanya styles, mulai dari rambut hingga nomor punggungnya, mirip (atau dimiripkan ya?) dengan Cristiano Ronaldo, peraih Ballon d’Or 2013 itu. Meskipun akhirnya, aku pikir ia lebih mirip dengan Atep, Mantan Winger Timnas Indonesia. Penggemar Manchester United dan Persib Bandung ini, juga sangat menggemari musik, terutama Rock. Kotak, seperti yang Anda tahu, adalah band rock pujaannya. Dalam percakapan, ia seringkali mengaku ‘rocker yang beriman’.
Bakatnya di musik, sempat terasah ketika semasa SMA menjadi vokalis The Zaskia. Menurut Sigit Maulana, Wiwit memang cukup ‘menjual’, baik dari segi suara maupun penampilan (minimal dari vokalis sebelumnya, yang namanya terpaksa dirahasiakan di sini), sehingga ia direkrut menjadi vokalis. Dengan modal lagu cover Biar Aku Menjagamu, apa daya, The Zaskia gagal terkenal, tetapi band sekolahan itu cukup fenomenal, minimal bagi personelnya masing-masing.
Hari ini, dua puluh lima tahun yang lalu, Wiwit Bekti Setiyo dilahirkan. Kemarin, ia sempat bergurau meminta kado. Tanpa berpikir panjang, aku membuka laptop, dan membiarkan jemari ini menari, memaksa otak kanan dan kiri berpikir keras memutar memori yang sempat terlintas. Dan hasilnya: tulisan yang Anda baca ini, semoga bisa menjadi kado.
Di pertambahan sekaligus pengurangan usianya, selamat ulang tahun. Semoga bisa menjadi manusia yang bekti, manusia yang berbakti: bagi orang tua, agama, bangsa, dan negara, seperti Soekarno. Juga semoga bisa terus setiyo, tetap setia menjadi manusia, dalam keadaan apapun. Setia seperti Adipati Karna, ketika berperang membela Negeri Hastinapura, meskipun yang dihadapi adalah Pandawa, saudaranya sendiri. (*)
Shakespeare mungkin benar, karena kodratnya, mawar akan tetap berbau wangi meskipun diberi nama anggrek. Tetapi, Shakespeare tidak sepenuhnya benar, jika menganggap nama itu tidak berarti. Andaikata nama tidak berarti apa-apa, seperti anggapan Shakespeare, barangkali Allah tidak akan mengajarkan nama-nama benda kepada Adam. Bagi kebanyakan orang tua, khususnya di Jawa, nama adalah do’a.
Sehingga, mereka selalu memberikan nama-nama yang baik untuk anak-anak mereka. Jarang sekali ada orang tua memberi nama yang jelek untuk anak-anaknya. Anda tentu mengenal Soekarno. Siapa sangka, jika Pendiri Republik Indonesia itu memiliki nama kecil Kusno? Alkisah, Kusno kecil sering sakit-sakitan. Dus, Raden Soekemi, ayah Kusno yang orang Jawa itu, mengganti nama Kusno menjadi Soekarno.
Raden Soekemi terinspirasi tokoh wayang Adipati Karna, Pahlawan Besar dari Negeri Hastinapura. Dan terbukti benar, Soekarno menjadi Pahlawan Besar. Tentu, kita semua akan mempunyai cerita masing-masing tentang arti sebuah nama. Kita semua, pasti secara sadar pernah menanyakan kepada orang tua kita: apa arti nama kita? Maka, sejak saat itu, nama menjadi penting.
Nama adalah do’a orang tua. Ini, sepertinya juga berlaku untuk orang tua Wiwit Bekti Setiyo. Orang tua Wiwit, tentu mendambakan anaknya yang wiwitan (pertama) ini menjadi anak yang berbakti (bekti) dan setia (setiyo). Nama Wiwit Bekti Setiyo, memang tidak akan pernah Anda temukan di baliho-baliho, poster-poster berlatar belakang partai di pinggir jalan, atau yang dipaku di badan pohon. Paling banter, Anda akan bisa menemukan Wiwit di Desa Penarukan, rumahnya. Atau di kantor belakang Pasar Banjaran, tempat kerjanya.
Wiwit yang berbakti dan yang setia di tahun politik, tentu akan lolos sensor KPU. Karena ini bukan kampanye. Wiwit bukan caleg dari partai manapun. Pun jika benar-benar ada partai politik yang ingin meminang, Wiwit tentu akan menolak. Karena Wiwit tidak pernah bercita-cita menjadi caleg. Ia hanya ingin hidup sederhana, dan mati masuk surga, seperti quotes yang ia tuliskan di buku kenang-kenangan SMA.
Maka Wiwit tetap bukan caleg, barangkali, sebagaimana kita semua yang belum menikah, ia hanya caten (calon penganten) yang belum dipinang ‘partai politik’ manapun. Sehingga, ia masih dalam bidikan KUA. Wiwit, dalam istilah sepak bola: masih bebas transfer. Sejak SMA, Wiwit memang menggemari sepak bola. Ia mantap sebagai Striker, yang memang lebih berbakat menjebol gawang ketimbang menjaganya.
Gayanya styles, mulai dari rambut hingga nomor punggungnya, mirip (atau dimiripkan ya?) dengan Cristiano Ronaldo, peraih Ballon d’Or 2013 itu. Meskipun akhirnya, aku pikir ia lebih mirip dengan Atep, Mantan Winger Timnas Indonesia. Penggemar Manchester United dan Persib Bandung ini, juga sangat menggemari musik, terutama Rock. Kotak, seperti yang Anda tahu, adalah band rock pujaannya. Dalam percakapan, ia seringkali mengaku ‘rocker yang beriman’.
Bakatnya di musik, sempat terasah ketika semasa SMA menjadi vokalis The Zaskia. Menurut Sigit Maulana, Wiwit memang cukup ‘menjual’, baik dari segi suara maupun penampilan (minimal dari vokalis sebelumnya, yang namanya terpaksa dirahasiakan di sini), sehingga ia direkrut menjadi vokalis. Dengan modal lagu cover Biar Aku Menjagamu, apa daya, The Zaskia gagal terkenal, tetapi band sekolahan itu cukup fenomenal, minimal bagi personelnya masing-masing.
Hari ini, dua puluh lima tahun yang lalu, Wiwit Bekti Setiyo dilahirkan. Kemarin, ia sempat bergurau meminta kado. Tanpa berpikir panjang, aku membuka laptop, dan membiarkan jemari ini menari, memaksa otak kanan dan kiri berpikir keras memutar memori yang sempat terlintas. Dan hasilnya: tulisan yang Anda baca ini, semoga bisa menjadi kado.
Di pertambahan sekaligus pengurangan usianya, selamat ulang tahun. Semoga bisa menjadi manusia yang bekti, manusia yang berbakti: bagi orang tua, agama, bangsa, dan negara, seperti Soekarno. Juga semoga bisa terus setiyo, tetap setia menjadi manusia, dalam keadaan apapun. Setia seperti Adipati Karna, ketika berperang membela Negeri Hastinapura, meskipun yang dihadapi adalah Pandawa, saudaranya sendiri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar