20 Jan 2014

Enthus dan Petruk Dadi Ratu

Pekan lalu, Rabu (8/1/2014), adalah hari yang sangat bersejarah bagi Kabupaten Tegal, pasalnya, setelah sekian lama ‘yatim piatu’ pasca mangkatnya Bupati Hery Soelistyawan, dan dipimpin oleh seorang Penjabat Bupati Satriyo Hidayat, Kabupaten yang beribukota di Slawi ini kini resmi memiliki Bupati yang baru. Bupati Tegal yang baru itu adalah Ki Enthus Susmono. 

Bertempat di Pendopo Ki Gede Sebayu, Enthus bersama pasangannya Umi Azizah resmi dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjadi Bupati dan Wakil Bupati Tegal Periode 2014-2019. Pelantikan Enthus sebagai Bupati, di sisi lain dirasa sebagai peristiwa yang juga bersejarah, sebab untuk pertama kalinya: Kabupaten Tegal dipimpin oleh seorang yang berprofesi sebagai dalang.  

Karir Enthus sebagai dalang memang cukup gilang gemilang. Reputasinya didengar oleh kalangan Internasional. Lewat lakon wayang golek ciptaannya: Lupit dan Slenteng, Enthus berhasil mendobrak dan keluar dari pakem pewayangan Surakartanan, maupun Yogyakartanan yang terkesan kalem.

Melalui tokoh Lupit dan Slenteng itu, Enthus kerap kali tidak tedheng aling-aling dalam bertutur di atas panggung, sehingga banyak orang menganggapnya ‘liar’ dan ‘kasar’. Sikap bertutur ‘liar’ dan ‘kasar’ Enthus inilah yang justru kemudian dikatakan oleh Prof. Abu Su’ud sebagai prototype wong Tegal. 

Belajar dari Petruk Dadi Ratu 

Dalam dunia pedalangan, hampir semua dalang pernah mementaskan lakon Petruk Dadi Ratu. Ketika gonjang-ganjing sudah sampai pada taraf yang sangat tidak wajar, para Punakawan mulai membangkang. Puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak Kahyangan Jonggring Saloko (Istana Para Penguasa), mengobrak-abrik dan merekonstruksi tatanan yang selama ini dipakai para penguasa serta para elite untuk berselingkuh dan melakukan manipulasi.

Yang perlu disikapi dalam lakon Petruk Dadi Ratu, bukan soal khayalan seperti versi umum, tetapi justru soal Petruk sebagai pemimpin Revolusi yang menjungkirbalikan tatanan kahyangan yang pada saat itu memang sudah sangat kacau. Petruk merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya.

Dari kisah tersebut, tersirat bahwa Petruk adalah pribadi yang sadar akan peranannya, setelah semua baik, semua berjalan normal, maka Petruk kembali kepada peranan awalnya menjadi seorang pengabdi. Dalam hal ini, Enthus sejak awal telah menjadi Petruk. Pertama, bukan saja mendobrak pakem pewayangan, ia juga pernah melabrak pemerintah berkuasa yang kemudian berujung tiga bulan dibuikan. 

Kedua, puncaknya, Enthus berhasil menjadi Ratu, Bupati untuk rakyat Kabupaten Tegal. Enthus pernah mengatakan bahwa ia bosan mengkritik dari luar. Kini ia telah di dalam, sebagai Bupati Tegal. Tugasnya tidak ringan, seperti Petruk, ia tetap harus (jika perlu) merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya. Persoalan birokrasi, lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat Kabupaten Tegal telah menantinya di seratus hari ke depan.

Enthus tentu tidak akan memposisikan rakyatnya sebagai wayang. Wayang adalah benda mati yang bisa dengan mudah digerakkan, sedangkan manusia itu hidup, mempunyai akal dan pikiran yang berbeda-beda. Menjadi bupatinya manusia, tentu berbeda dengan menjadi dalang dalam menggerakkan wayang. 

Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas). 

Dalang Enthus yang sekarang Bupati, tentu akan lebih paham soal titah dari Petruk ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar