Seperti kota, daerah, atau komunitas lain di mana pun, Tegal memiliki kekhasan tersendiri. Tegal mengenal semangat yang dimiliki oleh masyarakatnya, semangat yang pada gilirannya bertransformasi menjadi semacam kepribadian. Jika Pekalongan secara simbolik dilambangkan dengan Merak Ngigel Sinonderan ─burung merak yang sedang mengembangkan ekornya dengan bersampirkan selendang pelangi; akibat kepribadian masyarakatnya yang gemar bersolek dan berpakaian.
Perwatakan orang Tegal yang lugu, lugas, dan tidak mementingkan basa-basi, digambarkan dalam diri seekor banteng loreng, yang penuh keberanian, meskipun dengan tubuh penuh luka, bertarung melawan harimau demi melindungi bocah angon yang berada di atas punggungnya. Itulah Banteng Loreng Binoncengan! Falsafah lokal masyarakat Tegal.
Keberanian banteng loreng ala Tegal dalam melawan raja hutan, rupa-rupanya ditampilkan secara gamblang oleh kefenomenalan Warung Tegal atau Warteg ketika berhasil mendobrak panggung kuliner di Ibukota Jakarta, bahkan dunia. Mendunia? Tentu saja. Seperti yang diutarakan dalam buku Semangat Orang-orang Tegal (2003): Warteg, ternyata pernah menjadi pembicaraan dunia internasional ketika berhasil masuk sepuluh besar pada Festival Makanan Asian City yang diselenggarakan pada tanggal 16-18 September 1998 di Tokyo.
Bayangkanlah? Budaya kuliner maha agung seperti dipertontonkan Prancis, Italia, dan negara-negara yang konon berperadaban lebih maju itu, mendapat saingan dari sebuah kultur kuliner Tegalan yang serba murah meriah. Mengherankan bukan? Apalagi kalau dibandingkan dengan kuliner Padang dengan rumah makan Padangnya, Warteg, tidaklah memiliki kekhasan menu.
Maka dapat dikatakan, Warteg adalah perwujudan dari semangat kerja keras orang-orang Tegal, yang suatu ketika pernah begitu tampil radikal-memberontak. Warteg adalah simbol kewiraswastaan revolusioner ala Tegal yang memiliki spirit tidak jago kandang, dan pantang minder dalam menghadapi penantang.
Penulis buku Semangat Orang-orang Tegal Prof. Dr. Abu Su’ud, menyebut kewiraswastaan sebagai salah satu semangat yang menjiwai masyarakat Tegal. Di perantauan (baca: Jakarta), tentu semangat itu tidak hanya ditunjukkan oleh orang-orang Tegal yang Wartegan. Orang-orang Tegal yang Jakartanan, juga banyak yang sukses sebagai pedagang martabak dan Sate Tegal.
Martabak khas Tegal yang terkenal di Jakarta adalah Martabak Lebaksiu. Alhasil, Lebaksiu (baca: Tegal) kemudian dikenal sebagai kampung yang berhasil ‘menjelajah’ Indonesia dengan martabak, karena hampir sebagian warganya mengadu nasib, bukan hanya di Jakarta, tetapi di seluruh daerah di Indonesia dengan berjualan martabak.
Martabak Lebaksiu di Jakarta, salah satunya adalah Martabak Lebaksiu milik Mahmud di daerah Tebet Barat. Sementara Sate Tegal juga banyak bertebaran di Jakarta, seperti Sate Tegal H. Chasmadi di Kuningan Barat, Sate Kambing Batibul Bang Awi Cabang Tegal di Tebet, dan Sate Tegal H. Ridwan di daerah Otista Jakarta Selatan.
Saat ini, kurang lebih setengah juta warga Tegal tinggal di Jakarta. Dan sekitar tiga ratus ribu Warteg tersebar di Ibukota. “Itu belum termasuk (warga Tegal) pedagang bubur ayam, ketoprak, martabak, pengemudi dan jasa lainnya,” tegas Ketua Umum Koperasi Warung Tegal (Kowarteg), Ali Muksin, saat deklarasi Kowarteg Jaya di kantor DPP KNPI, Jakarta, Sabtu (12/1/13).
Melacak jejak semangat hijrah orang-orang Tegal di Jakarta, tentu tidak adil jika hanya memotret semangat kewiraswastaannya saja. Tegal tempo dulu, kerap kali digambarkan televisi lewat lakon lawak semacam Trio Kholik-Darusman-Kimung, Pak Blangkon dalam Anak Ajaib, atau Kenthung dalam Tuyul dan Mbak Yul.
Bahkan, Cici dan Parto yang bukan orang Tegal, menjadi begitu tenar ketika sukses membawakan karakter berdialek Tegalan. Hingga kemudian keduanya dicap publik sebagai orang Tegal. Dalam dunia perfilman, Tegal yang benar-benar Tegal dapat diwakili oleh sineas, penulis skenario Ketika Cinta Bertasbih dan Tukang Bubur Naik Haji The Series Imam Tantowi. Selain Imam, kelahiran Tegal lainnya yang sukses menjadi sutradara adalah Alm. Chaerul Umam.
Di jagat entertainment Ibukota, Tegal seolah tak pernah kehabisan talenta. Kita tentu masih ingat bagaimana Febri Yoga Sapta menggebrak panggung Indonesian Idol 2012 dengan slogannya yang terkenal: Tegalkan Indonesia! Meskipun gagal menjadi juara, keberhasilan Febri menjadi finalis patut diapresiasi.
Tidak mau kalah dengan Febri, di ajang The Master yang juga ditayangkan di RCTI, lagi-lagi kelahiran Tegal menjadi salah satu kontestannya. Dialah Si Manusia Beton Limbad, asli Desa Dukuhwringin Slawi. Kini menetap di Jakarta setelah menandatangani ‘kontrak bisu’ dengan salah satu televisi nasional. Selain sebagai pesulap, Limbad juga membintangi beberapa sinetron dan film.
Moncernya semangat Tegalan, juga diperlihatkan kembali ketika baru-baru ini dedengkot teater Tegal Yono Daryono turut pula bermain dalam Tukang Bubur Naik Haji The Series. Dalam bidang olahraga, Tegal punya Simon Santoso, juara Djarum Indonesia Open Premier Super Series 2012. Pebulutangkis internasional ini sekarang menduduki rangking lima dunia dan bermain untuk klub Tangkas Specs Jakarta.
Di panggung politik nasional, putra Tegal yang patut dibicarakan adalah Politisi Partai Hanura Fuad Bawazier dan Politisi PKS Suswono. Fuad pernah menjabat Menteri Keuangan pada era Pemerintahan Soeharto, sementara Suswono masih aktif menjabat Menteri Pertanian hingga sekarang.
Semangat Hijrah
Secara verbal, kata hijrah dapat diartikan sebagai berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu. Tentu, alasan itu adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Di tanah hijrah, semangat solidaritas banteng kala melindungi bocah angon juga ditunjukkan oleh Tegal.
Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya organisasi-komunitas Tegalan semacam Koperasi Warteg (Kowarteg), Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT), dan Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Jakarta. Semangat hijrah orang-orang Tegal yang ditampilkan dalam sukses Warteg, Sate Tegal, Martabak Lebaksiu, Sineas, Entertainer, Olahragawan, dan Para Politikus Tegal di Jakarta, adalah potret kerja keras telaten, percaya diri, dan pantang menyerah ala Ki Gede Sebayu dalam membendung Kali Gung.
Semua itu, seolah ingin mengabarkan bahwa Tegal bukanlah kuda hitam, apalagi kambing hitam, tetapi Tegal adalah Banteng Loreng Binoncengan! Di Jakarta, mungkin banyak lagi Tegal, atau yang bukan Tegal tetapi punya semangat Tegalan yang tidak tertulis di sini. Yang jelas, di mana pun, Tegal akan tetap Tegal dan yang bukan Tegal boleh saja menjadi Tegal dan ber-Tegalan. Sebab Tegalan; tidak menunjuk tempat lahir, bahasa maupun aksentuasi, tetapi Tegalan adalah pola pikir, watak, sikap, dan perilaku! (*)
Perwatakan orang Tegal yang lugu, lugas, dan tidak mementingkan basa-basi, digambarkan dalam diri seekor banteng loreng, yang penuh keberanian, meskipun dengan tubuh penuh luka, bertarung melawan harimau demi melindungi bocah angon yang berada di atas punggungnya. Itulah Banteng Loreng Binoncengan! Falsafah lokal masyarakat Tegal.
Keberanian banteng loreng ala Tegal dalam melawan raja hutan, rupa-rupanya ditampilkan secara gamblang oleh kefenomenalan Warung Tegal atau Warteg ketika berhasil mendobrak panggung kuliner di Ibukota Jakarta, bahkan dunia. Mendunia? Tentu saja. Seperti yang diutarakan dalam buku Semangat Orang-orang Tegal (2003): Warteg, ternyata pernah menjadi pembicaraan dunia internasional ketika berhasil masuk sepuluh besar pada Festival Makanan Asian City yang diselenggarakan pada tanggal 16-18 September 1998 di Tokyo.
Bayangkanlah? Budaya kuliner maha agung seperti dipertontonkan Prancis, Italia, dan negara-negara yang konon berperadaban lebih maju itu, mendapat saingan dari sebuah kultur kuliner Tegalan yang serba murah meriah. Mengherankan bukan? Apalagi kalau dibandingkan dengan kuliner Padang dengan rumah makan Padangnya, Warteg, tidaklah memiliki kekhasan menu.
Maka dapat dikatakan, Warteg adalah perwujudan dari semangat kerja keras orang-orang Tegal, yang suatu ketika pernah begitu tampil radikal-memberontak. Warteg adalah simbol kewiraswastaan revolusioner ala Tegal yang memiliki spirit tidak jago kandang, dan pantang minder dalam menghadapi penantang.
Penulis buku Semangat Orang-orang Tegal Prof. Dr. Abu Su’ud, menyebut kewiraswastaan sebagai salah satu semangat yang menjiwai masyarakat Tegal. Di perantauan (baca: Jakarta), tentu semangat itu tidak hanya ditunjukkan oleh orang-orang Tegal yang Wartegan. Orang-orang Tegal yang Jakartanan, juga banyak yang sukses sebagai pedagang martabak dan Sate Tegal.
Martabak khas Tegal yang terkenal di Jakarta adalah Martabak Lebaksiu. Alhasil, Lebaksiu (baca: Tegal) kemudian dikenal sebagai kampung yang berhasil ‘menjelajah’ Indonesia dengan martabak, karena hampir sebagian warganya mengadu nasib, bukan hanya di Jakarta, tetapi di seluruh daerah di Indonesia dengan berjualan martabak.
Martabak Lebaksiu di Jakarta, salah satunya adalah Martabak Lebaksiu milik Mahmud di daerah Tebet Barat. Sementara Sate Tegal juga banyak bertebaran di Jakarta, seperti Sate Tegal H. Chasmadi di Kuningan Barat, Sate Kambing Batibul Bang Awi Cabang Tegal di Tebet, dan Sate Tegal H. Ridwan di daerah Otista Jakarta Selatan.
Saat ini, kurang lebih setengah juta warga Tegal tinggal di Jakarta. Dan sekitar tiga ratus ribu Warteg tersebar di Ibukota. “Itu belum termasuk (warga Tegal) pedagang bubur ayam, ketoprak, martabak, pengemudi dan jasa lainnya,” tegas Ketua Umum Koperasi Warung Tegal (Kowarteg), Ali Muksin, saat deklarasi Kowarteg Jaya di kantor DPP KNPI, Jakarta, Sabtu (12/1/13).
Melacak jejak semangat hijrah orang-orang Tegal di Jakarta, tentu tidak adil jika hanya memotret semangat kewiraswastaannya saja. Tegal tempo dulu, kerap kali digambarkan televisi lewat lakon lawak semacam Trio Kholik-Darusman-Kimung, Pak Blangkon dalam Anak Ajaib, atau Kenthung dalam Tuyul dan Mbak Yul.
Bahkan, Cici dan Parto yang bukan orang Tegal, menjadi begitu tenar ketika sukses membawakan karakter berdialek Tegalan. Hingga kemudian keduanya dicap publik sebagai orang Tegal. Dalam dunia perfilman, Tegal yang benar-benar Tegal dapat diwakili oleh sineas, penulis skenario Ketika Cinta Bertasbih dan Tukang Bubur Naik Haji The Series Imam Tantowi. Selain Imam, kelahiran Tegal lainnya yang sukses menjadi sutradara adalah Alm. Chaerul Umam.
Di jagat entertainment Ibukota, Tegal seolah tak pernah kehabisan talenta. Kita tentu masih ingat bagaimana Febri Yoga Sapta menggebrak panggung Indonesian Idol 2012 dengan slogannya yang terkenal: Tegalkan Indonesia! Meskipun gagal menjadi juara, keberhasilan Febri menjadi finalis patut diapresiasi.
Tidak mau kalah dengan Febri, di ajang The Master yang juga ditayangkan di RCTI, lagi-lagi kelahiran Tegal menjadi salah satu kontestannya. Dialah Si Manusia Beton Limbad, asli Desa Dukuhwringin Slawi. Kini menetap di Jakarta setelah menandatangani ‘kontrak bisu’ dengan salah satu televisi nasional. Selain sebagai pesulap, Limbad juga membintangi beberapa sinetron dan film.
Moncernya semangat Tegalan, juga diperlihatkan kembali ketika baru-baru ini dedengkot teater Tegal Yono Daryono turut pula bermain dalam Tukang Bubur Naik Haji The Series. Dalam bidang olahraga, Tegal punya Simon Santoso, juara Djarum Indonesia Open Premier Super Series 2012. Pebulutangkis internasional ini sekarang menduduki rangking lima dunia dan bermain untuk klub Tangkas Specs Jakarta.
Di panggung politik nasional, putra Tegal yang patut dibicarakan adalah Politisi Partai Hanura Fuad Bawazier dan Politisi PKS Suswono. Fuad pernah menjabat Menteri Keuangan pada era Pemerintahan Soeharto, sementara Suswono masih aktif menjabat Menteri Pertanian hingga sekarang.
Semangat Hijrah
Secara verbal, kata hijrah dapat diartikan sebagai berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu. Tentu, alasan itu adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Di tanah hijrah, semangat solidaritas banteng kala melindungi bocah angon juga ditunjukkan oleh Tegal.
Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya organisasi-komunitas Tegalan semacam Koperasi Warteg (Kowarteg), Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT), dan Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Jakarta. Semangat hijrah orang-orang Tegal yang ditampilkan dalam sukses Warteg, Sate Tegal, Martabak Lebaksiu, Sineas, Entertainer, Olahragawan, dan Para Politikus Tegal di Jakarta, adalah potret kerja keras telaten, percaya diri, dan pantang menyerah ala Ki Gede Sebayu dalam membendung Kali Gung.
Semua itu, seolah ingin mengabarkan bahwa Tegal bukanlah kuda hitam, apalagi kambing hitam, tetapi Tegal adalah Banteng Loreng Binoncengan! Di Jakarta, mungkin banyak lagi Tegal, atau yang bukan Tegal tetapi punya semangat Tegalan yang tidak tertulis di sini. Yang jelas, di mana pun, Tegal akan tetap Tegal dan yang bukan Tegal boleh saja menjadi Tegal dan ber-Tegalan. Sebab Tegalan; tidak menunjuk tempat lahir, bahasa maupun aksentuasi, tetapi Tegalan adalah pola pikir, watak, sikap, dan perilaku! (*)
Mantappppp
BalasHapus