Wajah Eksekutif kian tercoreng, ketika baru-baru ini
Bupati Karanganyar Rina Iriani ditetapkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah
menjadi tersangka korupsi kasus penyalahgunaan bantuan subsidi perumahan Rp18,4 miliar. Bupati Cantik itu ditetapkan sebagai tersangka setelah
dalam penyelidikan diperoleh alat bukti yang menunjukan adanya fakta hukum
bahwa Rina merugikan negara. Ditersangkakannya Rina, semakin menambah daftar
panjang kepala daerah yang tersandung kasus serupa.
Sebelumnya, di ranah Legislatif, tentu Mantan Anggota
DPR dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh primadonanya. Puteri Indonesia
2001 ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam kasus yang sama yaitu dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet Sea
Games 2011.
Puncaknya, di ranah Yudikatif, ditetapkannya Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
atas dugaan suap sengketa Pilkada di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah dan
Lebak Banten, bukan saja menjadi pukulan telak, tetapi juga merupakan goro-goro bagi dunia penegakan hukum
Republik ini.
Di tengah menggeloranya spirit perang terhadap korupsi, pedang tajam Trias Politica sebagai lembaga negara yang seharusnya bersama-sama
berada dalam barikade terdepan di medan perang menghadapi koruptor, justru
terlumuri oleh darah mereka sendiri. Korupsi di panggung Trias Politica ini, tentu menjadi kabar buruk bagi berjalannya Orde
yang Paling Baru (baca: Reformasi). Tumbangnya Orde Baru dan munculnya
Reformasi, sesungguhnya adalah bentuk kemuakkan rakyat atas korupsi yang
dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya.
Montesquieu menawarkan Trias Politica, yaitu suatu konsep mengenai kehidupan bernegara
dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling lepas dan
dalam tingkat yang sama. Hal ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara
dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain.
Tetapi bagaimana bisa saling mengawasi? Jika di dalam tiga lembaga ini
sama-sama terjangkit penyakit korupsi?
Negeri ini memang telah terbiasa menerima kenyataan
demi kenyataan akan tindakan korupsi maupun suap yang dilakukan oleh dan kepada
para pemimpin juga elit politiknya. Bangsa kita ini, justru akan terkaget-kaget
dan terheran-heran jika ada pejabat yang berperilaku jujur, bersih, dan
sederhana.
Jika kita mau menengok sejarah, akan dapat dipetik
bahwa sejatinya membangun bangsa apalagi suatu peradaban akan membutuhkan waktu
yang tidak sebentar. Bahkan bukan hanya lama, tetapi juga akan membutuhkan
kerja keras, kesinambungan, dan keteladanan seorang pemimpin. Kita masih ingat, Bung Hatta, dalam Demokrasi Kita
mengutip sebuah kalimat dari seorang penyair termasyhur dari Jerman Friedrich
von Schiller yang mengatakan: “Sebuah abad besar telah lahir. Tetapi, ia
menemukan generasi yang kerdil.”
Padahal di sisi lain, Prof. Santos dalam karya
monumentalnya yang berjudul: Atlantis,
The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost
Civilization, menyebutkan bahwa Indonesia ini ternyata merupakan tempat
lahirnya peradaban besar dunia, sebagaimana yang pernah disebut-sebut oleh
Plato, yakni peradaban Atlantis yang hilang.
Ada yang berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan,
bukan diciptakan. Sejarah telah membuktikan, dari rahim Ibu Pertiwi, pernah
lahir pemimpin-pemimpin teladan. Salah satunya adalah Soedirman, Panglima Besar
yang dalam sepanjang kehidupannya sangat anti terhadap Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme (KKN).
Keteladanan Soedirman
Soedirman merupakan pemimpin yang memiliki komitmen
sangat tinggi kepada bangsa dan negara. Sebagian besar aktivitas kehidupannya
diabdikan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Karena kesibukannya
dan prinsip kesederhanaan telah menimbulkan kesan bahwa Soedirman kurang
memperhatikan keluarga, ibu, dan adiknya.
Dilihat dari logika fisik-material tampak ada sesuatu
yang kurang wajar, ada semacam gap antara jabatan dan kepangkatan Soedirman
dengan kesejahteraan hidup keluarganya. Soedirman telah mencapai pangkat yang tinggi
dan sekaligus pjabat tinggi, yakni sebagai panglima besar tentara, tetapi
anggota keluarganya terutama ibu dan adiknya tidak mengenyam kenikmatan materi
dan kehidupan duniawi yang setara dengan kepangkatan Soedirman.
Ibunya sendiri tetap hidup sebagai orrang kecil di
Desa Losari. Semua itu tampaknya tidak dapat dilepaskan dari kesibukannya dan
prinsip kesederhanaan dalam kehidupan keluarga, sehingga Soedirman tidak
membantu ibunya dengan kemudahan atau fasilitas dari jabatannya. Begitu juga
Ibunya Siyem, ia tidak lantas ikut-ikutan menikmati materi dengan pangkat dan
jabatan Soedirman. Bu Siyem tidak menggunakan aji mumpung.
Sementara adiknya Moh Samingan, menjadi PNS atas
usaha sendiri sesuai dengan kemampuannya. Soedirman tidak ingin melakukan KKN.
Ia tidak akan membantu karier dan kehidupan keluarga dengan memanfaatkan
jabatannya. Semua berjalan secara wajar, sesuai dengan usaha dan nasib
masing-masing. Seharusnya kisah keluarga Soedirman bisa dijadikan
teladan, untuk bisa mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan, dengan
mengesampingkan niatan KKN.
Lalu, masih etis kah bila bangsa yang disebut-sebut
sebagai tempat lahirnya Atlantis, bangsa yang pernah melahirkan Panglima Besar
sekelas Soedirman ini dipimpin oleh orang-orang kerdil? Oleh orang-orang yang
korup? Atau jangan-jangan kita sedang mengamini ungkapan Hatta dan Schiller,
bahwa abad yang besar ini memang harus melahirkan generasi kerdil? Mengapa Orde
yang Paling Baru ini justru gagal melahirkan pemimpin-pemimpin besar? (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar