6 Des 2013

Orde yang Paling Baru

Wajah Eksekutif kian tercoreng, ketika baru-baru ini Bupati Karanganyar Rina Iriani ditetapkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah menjadi tersangka korupsi kasus penyalahgunaan bantuan subsidi perumahan Rp18,4 miliar. Bupati Cantik itu ditetapkan sebagai tersangka setelah dalam penyelidikan diperoleh alat bukti yang menunjukan adanya fakta hukum bahwa Rina merugikan negara. Ditersangkakannya Rina, semakin menambah daftar panjang kepala daerah yang tersandung kasus serupa.

Sebelumnya, di ranah Legislatif, tentu Mantan Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh primadonanya. Puteri Indonesia 2001 ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus yang sama yaitu dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games 2011. 

Puncaknya, di ranah Yudikatif, ditetapkannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap sengketa Pilkada di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah dan Lebak Banten, bukan saja menjadi pukulan telak, tetapi juga merupakan goro-goro bagi dunia penegakan hukum Republik ini. 

Di tengah menggeloranya spirit perang terhadap korupsi, pedang tajam Trias Politica sebagai lembaga negara yang seharusnya bersama-sama berada dalam barikade terdepan di medan perang menghadapi koruptor, justru terlumuri oleh darah mereka sendiri. Korupsi di panggung Trias Politica ini, tentu menjadi kabar buruk bagi berjalannya Orde yang Paling Baru (baca: Reformasi). Tumbangnya Orde Baru dan munculnya Reformasi, sesungguhnya adalah bentuk kemuakkan rakyat atas korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya.

Montesquieu menawarkan Trias Politica, yaitu suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Tetapi bagaimana bisa saling mengawasi? Jika di dalam tiga lembaga ini sama-sama terjangkit penyakit korupsi?

Negeri ini memang telah terbiasa menerima kenyataan demi kenyataan akan tindakan korupsi maupun suap yang dilakukan oleh dan kepada para pemimpin juga elit politiknya. Bangsa kita ini, justru akan terkaget-kaget dan terheran-heran jika ada pejabat yang berperilaku jujur, bersih, dan sederhana. 

Jika kita mau menengok sejarah, akan dapat dipetik bahwa sejatinya membangun bangsa apalagi suatu peradaban akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bahkan bukan hanya lama, tetapi juga akan membutuhkan kerja keras, kesinambungan, dan keteladanan seorang pemimpin. Kita masih ingat, Bung Hatta, dalam Demokrasi Kita mengutip sebuah kalimat dari seorang penyair termasyhur dari Jerman Friedrich von Schiller yang mengatakan: “Sebuah abad besar telah lahir. Tetapi, ia menemukan generasi yang kerdil.”

Padahal di sisi lain, Prof. Santos dalam karya monumentalnya yang berjudul: Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization, menyebutkan bahwa Indonesia ini ternyata merupakan tempat lahirnya peradaban besar dunia, sebagaimana yang pernah disebut-sebut oleh Plato, yakni peradaban Atlantis yang hilang.

Ada yang berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan. Sejarah telah membuktikan, dari rahim Ibu Pertiwi, pernah lahir pemimpin-pemimpin teladan. Salah satunya adalah Soedirman, Panglima Besar yang dalam sepanjang kehidupannya sangat anti terhadap Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).

Keteladanan Soedirman

Soedirman merupakan pemimpin yang memiliki komitmen sangat tinggi kepada bangsa dan negara. Sebagian besar aktivitas kehidupannya diabdikan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Karena kesibukannya dan prinsip kesederhanaan telah menimbulkan kesan bahwa Soedirman kurang memperhatikan keluarga, ibu, dan adiknya.

Dilihat dari logika fisik-material tampak ada sesuatu yang kurang wajar, ada semacam gap antara jabatan dan kepangkatan Soedirman dengan kesejahteraan hidup keluarganya. Soedirman telah mencapai pangkat yang tinggi dan sekaligus pjabat tinggi, yakni sebagai panglima besar tentara, tetapi anggota keluarganya terutama ibu dan adiknya tidak mengenyam kenikmatan materi dan kehidupan duniawi yang setara dengan kepangkatan Soedirman.

Ibunya sendiri tetap hidup sebagai orrang kecil di Desa Losari. Semua itu tampaknya tidak dapat dilepaskan dari kesibukannya dan prinsip kesederhanaan dalam kehidupan keluarga, sehingga Soedirman tidak membantu ibunya dengan kemudahan atau fasilitas dari jabatannya. Begitu juga Ibunya Siyem, ia tidak lantas ikut-ikutan menikmati materi dengan pangkat dan jabatan Soedirman. Bu Siyem tidak menggunakan aji mumpung.

Sementara adiknya Moh Samingan, menjadi PNS atas usaha sendiri sesuai dengan kemampuannya. Soedirman tidak ingin melakukan KKN. Ia tidak akan membantu karier dan kehidupan keluarga dengan memanfaatkan jabatannya. Semua berjalan secara wajar, sesuai dengan usaha dan nasib masing-masing. Seharusnya kisah keluarga Soedirman bisa dijadikan teladan, untuk bisa mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan, dengan mengesampingkan niatan KKN. 

Lalu, masih etis kah bila bangsa yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya Atlantis, bangsa yang pernah melahirkan Panglima Besar sekelas Soedirman ini dipimpin oleh orang-orang kerdil? Oleh orang-orang yang korup? Atau jangan-jangan kita sedang mengamini ungkapan Hatta dan Schiller, bahwa abad yang besar ini memang harus melahirkan generasi kerdil? Mengapa Orde yang Paling Baru ini justru gagal melahirkan pemimpin-pemimpin besar? (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar