8 Des 2013

Mengenang Bung di Ende

“Tetapi Engkus harus percaya, cinta Inggit akan kekal selamanya, dunia akhirat.” Demikian dialog mengharukan antara Inggit (Paramitha Rusady) dengan suami tercintanya Engkus (Baim Wong) dalam film Ketika Bung di Ende yang diputar di TVRI, tadi malam. Ketika Bung di Ende adalah film yang diproduksi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan Republik Indonesia bekerjasama dengan produser Egy Massadiah. Film ini menceritakan perjuangan Bung Karno dalam masa pembuangannya di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 1934-1938.

Engkus, adalah nama panggilan sayang Inggit Ganarsih kepada suaminya yang memang bernama kecil Kusno. Sewaktu kecil, Kusno sering sakit-sakitan, oleh karena itu, ayahnya memutuskan mengubah nama Kusno menjadi Soekarno ─yang kelak akrab dipanggil dengan nama kepahlawanan: Bung Karno. Nama Karno sendiri, diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharatayudha, yaitu Adipati Karna.

Suatu ketika, Bung Karno pernah menyebut Ende sebagai ‘ujung dunia’. Pada perjalanannya, Ende kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari catatan sejarah kehidupan Sang Putra Fajar. Pada tahun 1934, akibat aktivitas politiknya di Partai Nasional Indonesia yang dianggap membahayakan, Bung Karno ditangkap Pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke ‘ujung dunia’ itu.
Di Ende, Bung Karno diasingkan selama empat tahun bersama istrinya Inggit, anak angkatnya Ratna Djoeami atau Omi, mertuanya Ibu Amsi, dan dua orang pembantunya Muhasan (Encom) dan Karmini.

Di Jawa, sepak terjang Bung Karno sebagai orator ulung tidak terbantahkan. Si Bung kerap dielu-elukan ribuan massa yang mendengar pidatonya. Sementara di Ende, ia dicap sebagai orang yang berbahaya. Kondisi sulit saat itu, membuat Bung Karno hanya bisa berhubungan leluasa dengan masyarakat biasa. Kalangan pembesar, keluarga raja, petinggi, dan pegawai Pemerintah Hindia Belanda takut berinteraksi dengan Bung Karno karena bisa mendapatkan sanksi dari Pemerintah Hindia Belanda.

Kepiluan tersebut, membuat Bung Karno seringkali terlihat termenung. Pada saat itulah, Inggit tampil. Bagi Kusno, Inggit tidak ubahnya lilin, bulan, sekaligus bintang di tengah kegelapannya. Inggit adalah ibu, kekasih, juga sahabat Kusno.

Sastrawan SI Poeradisastra menggambarkan peran Inggit dalam Sekapur Sirih roman besar Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH. “Inggitlah yang memperbesar hatinya, memberi dorongan, semangat dan harapan kepada Kusno-nya. Ialah yang menempa seorang pemimpin dari seorang romantikus pemimpi. Tanpa ditopang Inggit Garnasih, Soekarno akan hilang bagi pergerakan kemerdekaan nasional ketika ia dibuang ke Ende. Ia akan hancur secara jasmani atau menyerah kalah di dalam waktu singkat.”

Di Ende, Bung Karno sering berdiskusi dengan Pastor Katholik. Di sana pula ia saling berkirim surat dengan salah satu tokoh Islam TA Hasan di Bandung. Dari surat-menyuratnya dengan T.A. Hasan itu, Bung Karno semakin memperdalam ilmu agamanya. Bung Karno, mendidik rakyat dengan dua minggu sekali mengadakan pengajian di rumah pengasingannya.

Ujian pembuangan Bung Karno, terasa semakin berat ketika Ibu Amsi meninggal dunia akibat penyakit Malaria. Sebelum menutup mata, mertua Bung Karno itu berpesan: “Engkus harus terus berjuang, Ibu senang kalau Engkus bisa berhasil.” Dan Bung Karno terus berjuang, ia kemudian membuat Grup Tonil Kelimutu sebagai strategi menggelorakan revolusi. Tercatat, Bung Karno menulis sebanyak dua belas naskah dan dipentaskan oleh rakyat biasa. Atas jasa Pastor, Grup Tonil Kelimutu diijinkan pentas dan disaksikan banyak orang di Gedung Imakulata.

Naskah Tonil yang  paling mencuri perhatian adalah yang berjudul Indonesia ’45. Pada saat menulis itu, Bung Karno sepertinya telah meramalkan bahwa pada tahun tersebut akan terjadi Perang Pasifik yang hebat. Dan terbukti benar, sampai tahun 1945, Perang berkecamuk di Pasifik. Jepang yang saat itu menjajah Indonesia menyerah pada Sekutu. Bung Karno kemudian berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. 

Episode terpenting Bung Karno ketika di Ende, adalah ketika ia bisa dekat berdampinngan dengan rakyat Ende yang beragam agama, ras, dan suku bangsa. Hal tersebut yang memungkinkannya bisa menggali lebih dalam apa yang bisa menjadi dasar, jika kelak bangsanya merdeka. Dikisahkan, sehabis shalat Subuh atau ketika bulan terang, Bung Karno sering keluar rumah, jalan-jalan ke pantai dan duduk di bawah pohon sukun. 

Konon, pohon sukun itu adalah tempat Bung Karno mendapatkan ilham tentang Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia. Di Lapangan tempat pohon sukun itu tumbuh, sekarang dinamakan Lapangan Pancasila.

Ketika ditanya suaminya apa arti Indonesia, Inggit menjawab: “Indonesia adalah apa yang diperjuangkan Kusno.” Dan ketika Inggit balik bertanya, Bung Karno dengan nada berapi-api mengatakan: “Jikalau aku melihat gunung-gunung membiru, aku melihat Indonesia. Jikalau aku mendengar lautan membanting di pantai bergelora, aku mendengar suara Indonesia. Jikalau aku melihat awan putih berarak di angkasa, aku melihat keindahan Indonesia.”

Di akhir cerita, beberapa malam Bung Karno mengalami demam tinggi. Untuk menyelamatkan nyawa suaminya, Inggit kemudian menulis surat kepada Anggota Parlemen Hindia Belanda M.H. Thamrin untuk mendesak Pemerintah Hindia Belanda agar bersedia memindahkan Bung Karno. Atas desakan itu, Pemerintah Hindia Belanda ciut. Bung Karno yang dicintai rakyat Ende kemudian dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1938. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar