“Tetapi
Engkus harus percaya, cinta Inggit akan kekal selamanya, dunia akhirat.” Demikian
dialog mengharukan antara Inggit (Paramitha Rusady) dengan suami tercintanya
Engkus (Baim Wong) dalam film Ketika Bung di Ende yang diputar di TVRI, tadi malam. Ketika
Bung di Ende adalah film yang diproduksi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan
Republik Indonesia bekerjasama dengan produser Egy Massadiah. Film ini
menceritakan perjuangan Bung Karno dalam masa pembuangannya di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, pada tahun
1934-1938.
Engkus,
adalah nama panggilan sayang Inggit Ganarsih kepada suaminya yang memang bernama
kecil Kusno. Sewaktu kecil, Kusno sering sakit-sakitan, oleh karena itu, ayahnya
memutuskan mengubah nama Kusno menjadi Soekarno ─yang kelak akrab dipanggil dengan
nama kepahlawanan: Bung Karno. Nama Karno sendiri, diambil dari seorang panglima
perang dalam kisah Bharatayudha, yaitu Adipati Karna.
Suatu
ketika, Bung Karno pernah menyebut Ende sebagai ‘ujung dunia’. Pada
perjalanannya, Ende kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari catatan
sejarah kehidupan Sang Putra Fajar. Pada
tahun 1934, akibat aktivitas politiknya di Partai Nasional Indonesia yang dianggap
membahayakan, Bung Karno ditangkap Pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke ‘ujung
dunia’ itu.
Di
Ende, Bung Karno diasingkan selama empat tahun bersama istrinya Inggit, anak
angkatnya Ratna Djoeami atau Omi, mertuanya Ibu Amsi, dan dua orang pembantunya
Muhasan (Encom) dan Karmini.
Di
Jawa, sepak terjang Bung Karno sebagai orator ulung tidak terbantahkan. Si Bung
kerap dielu-elukan ribuan massa yang mendengar pidatonya. Sementara di Ende, ia
dicap sebagai orang yang berbahaya. Kondisi
sulit saat itu, membuat Bung Karno hanya bisa berhubungan leluasa dengan
masyarakat biasa. Kalangan pembesar, keluarga raja, petinggi, dan pegawai Pemerintah
Hindia Belanda takut berinteraksi dengan Bung Karno karena bisa mendapatkan
sanksi dari Pemerintah Hindia Belanda.
Kepiluan
tersebut, membuat Bung Karno seringkali terlihat termenung. Pada saat itulah,
Inggit tampil. Bagi Kusno, Inggit tidak ubahnya lilin, bulan, sekaligus bintang
di tengah kegelapannya. Inggit adalah ibu, kekasih, juga sahabat Kusno.
Sastrawan
SI Poeradisastra menggambarkan peran Inggit dalam Sekapur Sirih roman besar
Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH. “Inggitlah yang memperbesar hatinya,
memberi dorongan, semangat dan harapan kepada Kusno-nya. Ialah yang menempa
seorang pemimpin dari seorang romantikus pemimpi. Tanpa ditopang Inggit
Garnasih, Soekarno akan hilang bagi pergerakan kemerdekaan nasional ketika ia
dibuang ke Ende. Ia akan hancur secara jasmani atau menyerah kalah di dalam
waktu singkat.”
Di
Ende, Bung Karno sering berdiskusi dengan Pastor Katholik. Di sana pula ia
saling berkirim surat dengan salah satu tokoh Islam TA Hasan di Bandung. Dari
surat-menyuratnya dengan T.A. Hasan itu, Bung Karno semakin memperdalam ilmu
agamanya. Bung Karno, mendidik rakyat dengan dua minggu sekali mengadakan
pengajian di rumah pengasingannya.
Ujian
pembuangan Bung Karno, terasa semakin berat ketika Ibu Amsi meninggal dunia akibat
penyakit Malaria. Sebelum menutup mata, mertua Bung Karno itu berpesan: “Engkus
harus terus berjuang, Ibu senang kalau Engkus bisa berhasil.” Dan
Bung Karno terus berjuang, ia kemudian membuat Grup Tonil Kelimutu sebagai
strategi menggelorakan revolusi. Tercatat, Bung Karno menulis sebanyak dua
belas naskah dan dipentaskan oleh rakyat biasa. Atas jasa Pastor, Grup Tonil
Kelimutu diijinkan pentas dan disaksikan banyak orang di Gedung Imakulata.
Naskah
Tonil yang paling mencuri perhatian
adalah yang berjudul Indonesia ’45. Pada saat menulis itu, Bung Karno
sepertinya telah meramalkan bahwa pada tahun tersebut akan terjadi Perang Pasifik
yang hebat. Dan terbukti benar, sampai tahun 1945, Perang berkecamuk di
Pasifik. Jepang yang saat itu menjajah Indonesia menyerah pada Sekutu. Bung
Karno kemudian berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945.
Episode
terpenting Bung Karno ketika di Ende, adalah ketika ia bisa dekat berdampinngan
dengan rakyat Ende yang beragam agama, ras, dan suku bangsa. Hal tersebut yang
memungkinkannya bisa menggali lebih dalam apa yang bisa menjadi dasar, jika
kelak bangsanya merdeka. Dikisahkan,
sehabis shalat Subuh atau ketika bulan terang, Bung Karno sering keluar rumah,
jalan-jalan ke pantai dan duduk di bawah pohon sukun.
Konon, pohon sukun itu
adalah tempat Bung Karno mendapatkan ilham tentang Pancasila, yang kini menjadi
dasar negara Indonesia. Di Lapangan tempat pohon sukun itu tumbuh, sekarang
dinamakan Lapangan Pancasila.
Ketika
ditanya suaminya apa arti Indonesia, Inggit menjawab: “Indonesia adalah apa
yang diperjuangkan Kusno.” Dan ketika Inggit balik bertanya, Bung Karno dengan nada
berapi-api mengatakan: “Jikalau aku melihat gunung-gunung membiru, aku melihat
Indonesia. Jikalau aku mendengar lautan membanting di pantai bergelora, aku
mendengar suara Indonesia. Jikalau aku melihat awan putih berarak di angkasa, aku
melihat keindahan Indonesia.”
Di
akhir cerita, beberapa malam Bung Karno mengalami demam tinggi. Untuk
menyelamatkan nyawa suaminya, Inggit kemudian menulis surat kepada Anggota
Parlemen Hindia Belanda M.H. Thamrin untuk mendesak Pemerintah Hindia Belanda agar
bersedia memindahkan Bung Karno. Atas desakan itu, Pemerintah Hindia Belanda
ciut. Bung Karno yang dicintai rakyat Ende kemudian dipindahkan ke Bengkulu
pada tahun 1938. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar