Publik kembali ramai memperbincangkan demokrasi oligarkis seiring sorotan terhadap Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan sejumlah kerabatnya yang menjabat pada berbagai lini strategis di provinsi paling barat Jawa. Secara sederhana politik dinasti berarti praktik kekuasaan dengan ‘memberi’ posisi anggota keluarga dalam struktur kekuasaan.
Dinasti politik bukan hanya muncul di ujung barat Jawa. Bila kita bergeser ke Jawa bagian tengah, ada pula tiga wilayah (dalam politik daerah masa lalu biasa disebut Tiga Daerah), yaitu Kota Tegal, Kabupaten Brebes dan Pemalang, yang ‘dikuasai’ keluarga sedarah, yakni keluarga pengusaha Dewi Sri.
Tiga kakak beradik, masing-masing menjadi wali kota, bupati, dan wakil wali kota. Dinasti politik Dewi Sri mulai menancapkan kuku di Tiga Daerah tersebut, bermula ketika Ikmal Jaya memenangi Pilkada Kota Tegal 2008. Ikmal didampingi Habib Ali Zaenal Abidin. Adapun dalam Pilkada Kota Tegal 2013, Ikmal kembali maju, menggandeng Edy Suripno, kader partainya di PDIP.
Euforia dinasti Dewi Sri berlanjut ketika 2010 Mukti Agung Wibowo menjadi Wakil Bupati Pemalang mendampingi Bupati Junaedi. Berikutnya, tahun 2012 giliran Idza Priyanti berhasil menjadi perempuan pertama bupati di Brebes berdampingan dengan wabup Narjo dari PDIP. Tak cukup di tiga wilayah, kakak tertua, Edi Utomo, tahun ini mencoba peruntungan lewat Pilbup Tegal. Berbeda dari adik-adiknya yang melenggang melalui PDIP, Edi sebagai cabup, berkendaraan politik Golkar, setelah sebelumnya gagal mendapatkan restu dari Megawati.
Wangsa Reksonegaran
Mau tidak mau kita bernostalgia pada perjalanan sejarah Tiga Daerah. Sejak dulu, Tegal, Brebes, dan Pemalang terikat dalam satu kesatuan karena dipimpin oleh satu marga, yaitu Wangsa Reksonegaran. Kekuasaan Wangsa Reksanegaran di Tegal dimulai ketika Tumenggung Secamenggala menjadi bupati Tegal bergelar Reksanegara I (1680-1697).
Hal itu dilanjutkan Tumenggung Secamenggala II sebagai Reksanegara II (1697-1700), kemudian bergelar Reksanegara III Tumenggung Badrayuda Secawardaya I (1702-1746), Reksanegara IV Tumenggung Secawerdaya II, Reksanegara V Tumenggung Kertayuda (1776-1800), Reksanegara VI Tumenggung Sumadiwongso (1816-1819), Rekasanegara VII Tumenggung Singasari Panatayuda, dan Reksanegara VIII yang dijabat RMA Reksadiningrat.
Di Brebes, trah Wangsa Reksanegaran lahir dari RMPH Cokronegoro, putra dari Reksanegara IV. Putra Cokronegoro, yang berarti cucu dari Reksanegara IV bernama RM Pusponegoro yang kemudian menjadi bupati Brebes.
Sementara di Pemalang, bermula ketika Reksanegara V yang beristri putri Mangkunegara, punya putra bernama Reksadiningrat dan Jayanegara (Notonegoro) yang kemudian menjadi Bupati Pemalang. Putri Reksanegara V yang diperistri Pangeran Singosari Ponotoyudo kemudian melahirkan beberapa bupati di Brebes.
Politik kekerabatan justru makin menunjukkan akar feodalisme dan tradisi monarki belum sepenuhnya berubah. Bukan meritokrasi yang melandasi pilkada, melainkan nepotisme dan kolusi. Ketika politik dinasti coba dijauhkan dari sistem demokrasi, maksudnya untuk mencegah penguasaan politik pada satu kelompok.
Penguasaan politik yang terpusat pada satu kelompok membuka peluang terjadinya praktik korupsi. Jika akar feodalisme masih menancap kuat di negeri ini, rasanya mengikis dinasti politik tak bisa berjalan dengan mudah. Apalagi sistem demokrasi kita yang belum mapan benar.
Pada akhirnya, kita sulit berharap ada perubahan besar dari proses politik , sepanjang sistem feodal masih mengakar kuat seperti sekarang ini. Pasalnya, jawaban itu selalu ditarik pada persoalan hak asasi manusia, dan semua itu kehendak rakyat? (*)
Artikel ini dimuat di Suara Merdeka, Kamis 17 Oktober 2013
Kalau ingin tahu sejarah Wangsa ini bacanya di mana ya?
BalasHapus