29 Jul 2013

Indonesiakan Amel

Bim-bim, dalam lagu Indonesiakan Una, bertanya: “Mampukah kita Indonesiakan Una di negeri sendiri?”  

Aku kemudian jadi ingat Amel kecil di rumah, hingga hati tergoda untuk ikut bertanya; Mengapa kita lebih bangga mengajak Amel menyantap makanan di Mc Donalds, KFC, atau Pizza Hut? Mengapa kita lupa mengajak Amel menyantap lezatnya Rujak Kangkung Nyai Tinah, Gado-Gado Yu Mamblah, atau barangkali Nasi Lengko Ibu Raswi Slawi? 

Lalu, mengapa kita seperti lebih suka menyuguhkan Amel; Sprite, Fanta, Pepsi, atau Coca-cola? Apa kita lupa menyuguhkan Amel Bajigur, Bandrek, atau Wedang Jahe misalnya? 

Kemudian, atas dasar apa kita lebih rela membelikan Amel Tamiya Jepang, Robot-Kemrobotan China, Boneka Barbie Amerika? Mengapa kita lupa membelikan Amel Papan Congklak kerajinan tangan lokal, Layangan buatan tangan Mas Sono, atau Dolanan Umbul-Umbulan Bang Dul yang Layau itu? Dan mengapa kita lebih suka memutarkan Amel lakon impor semacam Upin-Ipin, Spiderman, Batman, atau Superman?  

Mengapa kita lupa memutarkan Amel lakon lokal semacam Gundala Putra Petir, Gatotkaca, Wiro Sableng, atau Si Buta dari Gua Hantu? 

Kita memang tidak lagi dijajah fisik oleh Landa dan kawan-kawannya. Akan tetapi sadar atau tidak, arus globalisasi menampakkan wajah penjajahan yang lain. Meminjam istilah Agus Riyanto: “Kita lebih bangga hidup dengan cara-cara tetangga. Berbicara, berbaju dan melahap siaran televisi tetangga, memilih ber-nasionalisme tetangga dan memutuskan menjadi jiran negeri kita. 

Kita seolah telah membuang ke-Indonesia-an dari negeri ini. Untuk hal yang sangat sederhana; mengejar status modern. Hingga akhirnya kita terjebak seolah-olah menjadi warga asing ditanah kelahiran. Bangkitlah, sebab bangkit adalah bertemunya rasa senasib sepenanggungan yang membentuk nasionalisme bahwa kita ini Indonesia: Republik berdaulat yang seharusnya tidak bias nrimo segala penjajahan dalam bentuk apapun. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar