Malam itu, Doel datang ke Pesta
Ulang Tahun Sarah bersama Mandra. Mereka datang berpakakaian sederhana, menaiki
kendaraan umum beroda tiga: Bajaj. Doel sempat ragu, karena tamu-tamu yang lain
datang dengan kendaraan pribadi yang lebih kinclong; sedan atau hingga mercy. Benar saja, kedatangan Doel membuat Roy ─pria yang
menyukai Sarah─ naik darah. Di tengah jalannya pesta: Roy berdiri
memaki, menyudutkan Doel dan Mandra sebagai orang kampungan, orang primitif
yang tidak pantas berada dalam pestanya orang kaya.
Doel tersinggung, sebelum pergi ia
tidak tinggal diam terhadap perlakuan Roy. Dengan kepala dingin, ia berkata: “Kami memang
primitif, barangkali jika pakaian ukurannya. Sementara Anda, yang berpakaian
rapi, berdasi. Ada bagian yang sepertinya Anda lupa; sebagai orang yang mengaku
modern: Anda berdiri memaki-maki kami, mennghujat kami di depan umum,
seolah-olah Anda tidak mempunyai sopan-santun, seolah-olah Anda bukan orang
yang terpelajar. Lalu, siapa yang lebih kampungan di antara kita?”
Di era globalisasi, fenomena Roy akan
banyak kita jumpai. Sebagaimana yang digambarkan Jan Aart Scholtc: globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi, yakni merebaknya ke seluruh
dunia struktur modernitas barat yang menyangkut kapitalisme, rasionalisme,
industrialisme dan lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang
sudah lebih dulu.
Sehingga Doel dan Mandra dengan budaya
lokal kebetawiannya; akan dianggap kampungan dan primitif oleh Roy yang modern.
Karena kebetawian yang mereka pertahankan: bukan merupakan ciri modern. Karena modern akan memandang: Oplet,
Ondel-Ondel, dan Tanjidor adalah produk warisan yang sudah ketinggalan jaman
dan pantas diloakan. Diganti dengan yang
serba up to date, glamour, digital, dan serba wah.
Roy, barangkali yang mewakili ciri
modern: ia lebih suka berpikir instan, mengandalkan materi, merasa lebih
terpelajar darri yang lainnya, dan menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuannya. Sedangkan Doel, tidak sedikitpun
tergiur, ia tetap dalam kebetawiannya: menarik Oplet, merawat Ondel-ondel dan
memainkan Tanjidor. Doel tetap
mengedepankan: kesederhanaan, kejujuran, kerja keras, sopan santun, dan saling
menghormati. Nilai-nilai kearifan, yang kemudian ia tempatkan di atas bisingnya deru
roda modernisasi global di tanah kelahirannya: Betawi.
Menjadi diri sendiri, memang sukar dan
bukan perkara yang mudah. Berani menjadi tuan rumah di negeri sendiri; akan
dicurigai ndeso, kolot, dan kampungan. Karena memang, yang demikian itu adalah
agenda globalisasi: merusak tatanan budaya lokal. Kita sendiri, memang tidak
akan kuasa menghadang, tetapi setidaknya: kita harus bisa belajar dari Doel, dan lebih-lebih lagi: kita harus berani menjadi Si Doel, di tanah
kelahiran sendiri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar