3 Jun 2013

This is Sparta

Leonidas menghunuskan belati dari sarungnya, kakinya terangkat menendang orang berkulit hitam dan tinggi besar di depannya ke dalam lubang raksasa. Sebagai seorang Raja, ia marah karena utusan Xerxes itu membawa pesan: agar ia menyerahkan bumi dan air Sparta untuk tunduk di bawah kekuasaan Persia. Bagi Leonidas, menyerahkan bumi dan air dan tunduk kepada Xerxes, sama saja membuka pintu masuk penjajahan dan perbudakan dan menghadirkan kematian untuk bangsa Sparta. 

Sparta adalah bangsa patriot bukan budak. Maka dari itu, Sebagai Raja yang mencintai tanah airnya, Leonidas lebih memilih berperang demi mempertahankan kedaulatan dan kehormatan bangsanya, dengan gagah berani kemudian ia berteriak: “This is Sparta!” Sejak saat itu, musuh yang dihadapi Leonidas bukan hanya datang dari Persia.  Akan tetapi juga datang dari orang dalam Istana. 

Theron, anggota Dewan yang oportunis dan mengaku seorang realis, bahkan bekerjasama dengan musuh dalam menyuap para Ephors, agar ‘bersabda’ untuk menghentikan perlawanan Leonidas, dan menyerah terhadap invasi Persia. Beruntung, Leonidas masih punya 300 prajurit  yang selalu setia kepada Rajanya: “demi kehormatan dan tugas kemenangan; kami berbaris ke mulut neraka.” Berangkatlah Leonidas ke Utara, meskipun para Ephors dan Dewan Sparta tidak merestuinya.

Ephialtes, seorang Sparta meminta ijin kepada Leonidas agar diperbolehkan untuk ikut berperang. Tetapi karena ia cacat, dan dengan kondisi fisik yang tidak memungkinkan itu, -jika ia ikut berperang- akan menimbulkan titik lemah dalam formasi pasukan perang, sehingga Leonidas berujar: “Tidak semua orang ditakdirkan menjadi prajurit.” Ephialtes kecewa, ia tidak bisa menerima keputusan Leonidas, dan kemudian ia bergabung dengan pasukan Xerxes untuk melawan prajurit sekaligus Rajanya sendiri yang sedang mempertahankan tanah airnya.

Leonidas adalah Raja, patriot sejati yang setia mengabdi pada rakyat Sparta, ia tetap menolak tunduk meskipun dijanjikan kekayaan berlimpah dan jabatan yang lebih megah oleh Xerxes. 300 prajurit Sparta terus bertahan menghadapi ribuan pasukan dari seluruh Asia yang membantu Xerxes, dan ketika kekuatan fisik gagal, Xerxes beralih menggunakan sihir. Sementara Dewan Sparta menolak mengirim pasukan bantuan karena terpengaruh mulut manis Theron.

Meskipun pihak musuh ribuan lebih banyak jumlahnya, itu tidak lantas menciutkan nyali 300 prajurit Sparta. Dalam setiap perjalanan sebuah bangsa, akan ada orang-orang oportunis dan mudah disuap seperti para Ephors dan Theron yang suaranya mempengaruhi Dewan agar tunduk pada penjajah, akan ada orang-orang penghianat seperti Ephialtes yang kecewa kemudian menjadi kolaborator dan berbalik membantu penjajah menyerang bangsanya sendiri.

Watak penjajah, memang akan melakukan apapun agar ambisi ekspansi-imperialismenya berhasil, sekalipun dengan menggunakan sihir –barangkali sihir dalam sejarah kolonial modern adalah adu domba, seperti yang dilakukan Belanda selama menjajah Indonesia. Leonidas dan 300 prajurit Sparta memang gugur di akhir cerita. Akan tetapi, semangat tidak pernah menyerah dan keberanian mereka dalam mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan negara dari ancaman penjajah; akan menjadi kisah yang selalu dikenang sepanjang masa.

Semangat keberanian, tidak kenal menyerah, dan kegigihan: spartanisme 300 prajurit Sparta dalam medan perang kemudian menyatukan dan menyadarkan bangsa Sparta; bahwa mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa dari ancaman penjajah adalah wajib hukumnya, seperti kata Ratu Sparta: darah menjadi taruhannya.”

Sebelum gugur sebagai patriot bangsa, Leonidas meninggalkan pesan sederhana kepada tanah air yang dicintainya: “Kami tidak butuh penghargaan, kami tidak butuh monumen, kami tidak butuh lagu-lagu untuk dinyanyikan. Yang kami butuh hanyalah ingat kami, tentang bagaimana dan kenapa kami mati! Setelah beberapa tahun berselang, 10.000 ribu pasukan Sparta bersama dengan 30.000 pasukan Yunani yang bebas, akhirnya menyerang Kerajaan Persia yang masih ada di Yunani. (*)

1 komentar:

  1. "kami tidak butuh penghargaan, kami tidak butuh monumen, kami tidak butuh lagu2 untuk dinyanyikan, yang kami BUTUH hanyalah INGAT KAMI, tentang Bagaimana dan kenapa kami mati"

    --LEONIDAS--

    BalasHapus