17 Mei 2013

Membaca Semangat: Ruh Dirgahayu Kabupaten Tegal


Ki Gede Sebayu, Perintis Babat Alas Tegal

Dulu, desa itu hanya berupa alas, semak, dan hutan belukar yang sangat luas. Sebelum kemudian datanglah seorang visioner, prajurit revolusioner dari Kesultanan Pajang. Dia adalah Ki Gede Sebayu; putra Pangeran Onje, Adipati Purbalingga. Ki Gede Sebayu, juga masih keturunan Brawijaya V Raja terakhir Majapahit melalui garis Adipati Batara Kathong (Ponorogo) dan Adipati Tepoes Roempeot (Purbalingga).

Ki Gede Sebayu, bersama dengan pengikutnya, lebih memilih merangkul dan mengajak masyarakat secara aspiratif untuk mbabat alas, semak dan hutan belukar yang luas itu daripada mengurusi konflik dan bentrok kekuasaan yang sedang terjadi di Mataram. Mereka mulai menebangi pohon besar, meratakan gundukan tanah, mengisi tanah pada daerah yang cekung, mengalirkan air yang mandek dari rawa-rawa, serta mengubahnya menjadi ladang (tegalan) dan sawah. 

Ki Gede Sebayu mulai mengatur penempatan pengikutnya sesuai dengan keterampilan dan keahliannya. Yang memiliki keahlian dalam bidang kerajinan dan pertukangan ditempatkan di pusat perniagaan, sedangkan yang ahli pertanian ditempatkan di daerah pertanian baik di dataran rendah maupun tinggi.

Sebagai perintis babat alas Tegal, bukan tanpa dasar, Ki Gede Sebayu sangat paham akan ilmu iklim, teknik, dan prediksi pertanian sehingga memutuskan mengelola DAS Kali Gung sebagai awal peradaban baru.

Bersama-sama dengan masyarakat, Ki Gede Sebayu bergotong-royong membendung Kali Gung untuk kemudian dibuat bendungan sebagai saluran irigasi. Batu-batu besar digulingkan dari atas igir, didongkel, dipikul, digotong, dan ditata sedemikian rupa. Masyarakat disekitar kemudian menyebut saluran tersebut dengan nama ‘Wangan Jimat,’ daerah ini kemudian sekarang bernama Danawarih, yang artinya memberi air.

Disamping melaksanakan pembangunan fisik, perhatian Ki Gede Sebayu dalam pembangunan rohani dan penyebaran nilai-nilai agama sangat besar, hal itu diwujudkan diantaranya dengan membangun masjid, mendirikan berbagai padepokan-padepokan Islam dan pondok pesantren.

Kemajuan taraf hidup rakyat Tlatah Tegal, baik fisik maupun rohani yang dibangun Ki Gede Sebayu, terdengar juga oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Panembahan Senopati. Penguasa Mataram itu kemudian mengutus Mantri Manca Praja ke Tlatah Tegal untuk menganugerahkan kedudukan dan menaikan pangkat Ki Gede Sebayu.

Pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau 1 Robiulawal 1010 H, bertepatan dengan 1523 Saka, Ki Gede Sebayu diangkat menjadi Juru Demung setingkat Tumenggung atau Bupati) Kadipaten (Kabupaten) Tegal (AM. Harsono 1995). Tanggal 18 Mei, kemudian selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tegal.

Ki Jadhug, Pembedhol Wit Jati

Sapa-sapa satriya sing bisa negor wit jati nganti bisa rubuh, bakal dak tampa dadi jodhone anakku Raden Ayu Siti Giyanti Subalaksana.” Demikian dawuh Ki Gede Sebayu, ketika mengumumkan sayembara kepada seluruh ksatria tlatah Jawa.

Artinya, siapa saja ksatria Jawa yang bisa menebang pohon jati sehingga roboh, akan diterima menjadi jodoh putrinda, Raden Ayu Siti Giyanti Subalaksana. Di samping itu, wit jati atau pohon jati tersebut nantinya akan menjadi sakaguru Masjid Agung Kalisoka.

Dikisahkan, sudah dua puluh empat ksatria mengikuti sayembara, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mbedhol wit jati itu.

Hingga datanglah ksatria kedua puluh lima, dia mengaku bernama Ki Jadhug, dari dukuh Sigeblag, desa Slarang Kidul, kecamatan Lebaksiu. Konon Ki Jadhug ini adalah Jaka Umbaran atau Panembahan Purbaya ketika muda. Putra sulung Panembahan Senopati yang sedang melaksanakan kewajiban ksatria Jawa untuk lelana. Yakni berkelana demi menajamkan hati dan pikiran.

Dengan susah payah, Ki Jadhug berhasil juga melaksanakan amanat Ki Gede Sebayu. Beliau mbedhol wit jati tersebut hingga akar-akarnya ke permukaan tanah. Dan ketika sang wit jati tercerabut, semua khalayak menyaksikan angin kencang yang membantu Ki Jadhug. Akhirnya, pekik tahmid dan takbir dari Ki Gede Sebayu mengiringi robohnya sang wit jati.

Jumlah kstaria peserta sayembara, yaitu dua puluh lima -yang dalam bahasa Tegal adalah selawe, oleh prakarsa Ki Gede Sebayu kemudian yang kelak akan dijadikan nama ibu kota pemerintahan: Slawi.

Banteng Loreng Binoncengan

Seperti umumnya daerah pesisiran yang memiliki ciri khas perilaku sosial yang disimbolisasikan, simbol atau lambang Tegal adalah ‘Banteng Loreng Binoncengan.’

Sementara Pekalongan yang warganya gemar bersolek, dilambangkan ‘Merak Ngigel Sinonderan.’ Pemalang dilambangkan Watang Putung’ yang artinya galah putus. Sedangkan Brebes mempunyai lambang ‘Gong Pecah Tinabuh,’ yang bermakna sebuah gong, walaupun sudah pecah masih saja dibunyikan.

Banteng Loreng Binoncengan sendiri menggambarkan watak orang Tegal yang gagah berani (banteng) dan agak kasar (loreng), akan tetapi pada hakikatnya Banteng Loreng Binoncengan dapat dituntun oleh orang yang lemah lembut dan ramah-tamah serta tidak mempunyai maksud buruk.

Gambaran Banteng Loreng Binoncengan adalah perlawanan sekaligus solidaritas. Atau balas budi dan kerelaan banteng kepada bocah angon terhadap keganasan harimau. Jelas sekali, banteng dengan tubuh penuh luka melawan raja hutan. Sementara ‘sahabat kecil’ dilindungi, berada di atas punggung banteng.

Tegal, Sebuah Nama Sebuah Makna

Berbeda dengan Tome Pires, yang berpendapat bahwa nama Tegal berasal dari bahasa Portugis: tetegual atau tetegull. Tegalan (ladang) atau tetegil-lah yang lebih banyak dijadikan acuan sebagai dasar asal nama daerah yang sejak tahun1950telah dipisahkan secara administratif: Kota Madya dan Kabupaten Tegal.

Dalam perkuliahan tentang kewiraswastaan, Prof. Dr. Suparman Sumamiharja menyatakan bahwa kata Tegal mengandung misteri yang tersimpan masing-masing hurufnya:

Huruf T merupakan huruf awal dari kata tatag atau teteg yang artinya percaya diri, tidak mengenal takut atau ewuh pakewuh. Mereka tidak pernah merasa rendah bagaimanapun penampilannya. Bahkan dalam bertutur kata terlihat tidak menggunakan bahasa yang halus dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun terpaksa berbahasa kromo karena sesuatu alas an, mereka menyampaikannya sesuai dengan yang dirasakan benar, meskipun menurut kaidah bahasa tidak benar. Anehnya dalam bahasa orang Tegal sendiri, kata tatag yang merupakan sifat itu disebut dadag, yang berarti percaya diri lebih. Barangkali kata tatag bisa dikatakan perwatakan Bima dalam tokoh perwayangan yang tidak bisa menggunakan kromo maupun unggah ungguh seperti orang priyayi.

Huruf E mempunyai kepanjangannya, yaitu eling, dalam bahasa Jawa berarti ingat atau sadar. Artinya orang Tegal memiliki kesadaran tinggi dalam setiap tingkah lakunya. Mereka mengetahui dalam posisi mana mereka, dan mereka akan melakukan langkah tindakan sesuai dengan fungsinya. Itulah watak wiraswastawan.

Huruf G yang merupakan huruf ketiga, merupakan huruf awal dari kata gesit, yang menunjukkan sifat orang Tegal yang senantiasa gesit dalam memandang lingkungan. Barang- barang rongsokan yang dianggap tidak berguna bagi orang lain akan dipandang barang yang berpotensi bisnis. Sehingga disepanjang jalan raya Tegal – Slawi berserakan onggokan barang-barang bekas yang diperjualbelikan. Barang-barang bekas yang ditangan orang lain tidak bisa dimanfaatkan, namun ditangan orang Tegal bisa dimanfaatkan menjadi barang keperluan, bahkan menjadi barang berharga. Itulah  yang dianggap oleh Dr. Suparman sebagai ciri kewiraswastaan orang Tegal. Maka jangan heran bila ‘Jepangnya Indonesia’terus melekat menjadi predikat Tegal.

Huruf A singkatan dari alim, yang berarti taat menjalankan Agama. Ada asosiasi bahwa orang Tegal itu identik dengan kehidupan santri, sehingga sebagian orang akan merasa janggal kalau ada orang Tegal mempunyai nama yang bukan Arab.

Ukuran sukses orang Tegal pada umumnya kalau sudah haji dan punya rumah atau kendaraan. Pendidikan bagi sebagian orang Tegal bukan merupakan ukuran sukses. Kemudian tidak sedikit usaha bisnis mereka harus memperkerjakan Sarjana, meskipun mereka sendiri mungkin tidak tamat SLTP.

Huruf terakhir dari kata Tegal adalah L, tidak lain huruf itu adalah singkatan dari sifat orang Tegal, yaitu lugas. Ini berarti orang Tegal itu biasa tampil apa adanya, tanpa banyak formalitas, yang biasa disebut thokthelan. Mereka tidak biasa basa basi bahkan terkesan kasar, primitif dan naif. Sebagai tanda keakraban mereka sering bertegur sapa sesama teman dengan umpatan yang menyebut nama-nama binatang. Penampilan dalang kondang Ki Enthus misalnya, merupakan prototipe keramahtamahan orang Tegal, yang secara sepintas terkesan liar.

Warung Tegal, Spirit Mendunia

Berbicara Tegal, terasa kurang jika tidak membicarakan Warteg atau Warung Tegal. Warung fenomenal ini telah menjamur di seluruh wilayah Ibu Kota Jakarta. Warteg kerap muncul di sudut-sudut kota metropolitan, baik di wilayah perkantoran, perdagangan, kampus, maupun wilayah elit gedongan.

Warung yang oleh sebagian di identikkan sebagai warung kelas bawah ini -karena harganya murah meriah, diam-diam  telah go internasional. Pada tahun 1998, Warteg berhasil masuk sepuluh besar pada festival makanan Asian City di Tokyo.

Pada saat itu, Ketua Umum Kowarteg, H.R.S Sastoro mengatakan:  “Kini warteg bukan saja milik masyarakat Tegal saja, tapi juga milik masyarakat Indonesia sekaligus merupakan aset nasional.” 

Memang belum ada kajian secara spesifik mengenai asal-usul  lahirnya Warteg. Akan tetapi dalam seloroh, Seniman Tegal mengungkapkan bahwa Warteg sudah ada ketika Sultan Agung menyerbu Batavia. Warteg disebut sebagai penawar kekalahan pasukan perang Sultan Agung di Batavia.

Semangat ‘ekspansionis’ Warteg mulai di Jakarta hingga Tokyo, selain merupakan upaya menolong sesama dengan menyediakan pasokan pangan yang terjangkau lapisan ekonomi hingga paling bawah, boleh jadi Warteg juga adalah bentuk nyata spirit kewiraswastaan Tegal yang mendunia.

Moci, Ruang Paseduluran

Sebagai Kota Teh, Slawi melahirkan PT. Gunung Slamat dengan produk Sosro dan Teh Poci, PT. Tunggul Naga dengan produk  Teh Dua Tang dan Teh Tjatoet dan Perusahaan Teh Cap Dua Burung dengan produk Teh Tong Tjie.

Menjadi  wajar jika kemudian dalam aroma  wangi tubuh Kabupaten Tegal, melekat tradisi Moci: kebiasaan minum teh yang disajikan dalam poci, dengan gula batu dan air panas. Moci bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan suguhan wedang dalam menyambut tamu di ruang tamu, tetapi ia telah menjelma menjadi identitas kebudayaan Tegalan.

Sebagai identitas kebudayaan, Moci secara tidak langsung telah menghadirkan ruang paseduluran. Media perekat dalam ndopok, baik ketika Tegal bertemu Tegal maupun Tegal menyambut tamu luar Tegal. Moci juga sekaligus sebagai penanda, meskipun Banteng   Loreng cenderung kasar, tetapi ia tetap mempunyai sifat keramahtamahan.

Membaca Semangat: Ruh Dirgahayu Kabupaten Tegal

Sejak Tegal ‘dipecah’ secara administratif menjadi Kota Madya dan Kabupaten Tegal, sering terjadi kerancuan pemahaman tentang pemaknaan Slawi (Kabupaten Tegal) dan Tegal (Kota Madya), hal itu menjadi maklum sampai saat ini.

Setelah ditetapkannya Slawi sebagai ibu kota Kabupaten Tegal pada tahun 1984, sampai saat ini Kota Ayu itu masih menjadi bayang-bayang saudara tuanya: Kota Tegal. Kondisi kurang strategis itu, seharusnya tidak lantas menjadi penghambat kemajuan Slawi sebagai representasi Kabupaten Tegal yang mandiri.

Kemajuan daerah, tentu tidak melulu soal pembangunan fasilitas, meski itu kewajiban, di sisi lain; pembangunan identitas juga agenda yang tidak kalah wajib. ‘Tegal Keminclong Moncer Kotane’ yang dimiliki Kota Tegal, sepertinya lebih mujarab daripada ‘Tegal Ngangeni lan Mbetahi’ yang terlihat bukan gagal, tetapi kurang memiliki ‘daya jual’ dan ‘daya gugah’ dalam proses ‘proklamasi diri’ Kabupaten Tegal yang ‘merdeka.’

Gus Dur pernah meniadakan berbagai upacara di luar hari besar. Sikap simbolik Gus Dur tersebut, bagi yang tidak memahami akan memprotes bahwa tindakan tersebut adalah desakralisasi terhadap prosesi upacara. Di sisi lain, bagi yang memahami, itu adalah upaya untuk mengembalikan nilai filosofis upacara.

Melalui itu, Gus Dur sebenarnya ingin mengajarkan bangsa ini untuk membaca dan menangkap substansi, bahwa upacara bukan hanya upacara, upacara bukan hanya memperoleh panas dan keringat saja.

Sehubungan dengan itu, pada hari jadi Kabupaten Tegal ke-412 yang akan diperingati 18 Mei 2013 besok, hendaknya semua elemen yang merasa telah dan akan bersentuhan dengan Kabupaten Tegal, bisa belajar pada pelajaran peristiwa peniadaan upacara oleh Gus Dur.

Sudah saatnya dirgahayu dibaca bukan sekedar hanya dirgahayu, dirgahayu bukan sekedar iring-iringan karnaval dan kirab semata. Lebih dari itu, bahwa Kabupaten Tegal harus bisa membaca dan menangkap substansi semangat dan ruh dari dirgahayu itu.

Misalnya bagaimana membaca dan menangkap ‘ruh’ kejuangan visioner dan revolusioner Ki Gede Sebayu dalam membangun peradaban Tegal berbasis kesejahteraan fisik dan rohani rakyat, ‘ruh’ keteguhan Ki Jadhug alias Pangeran Purbaya saat mbedhol wit jati sampai keakar-akarnya, ‘ruh’ keberanian banteng kala melindungi bocah angon dari terkaman harimau, ‘ruh ekspansionis dan mendunia’ Warteg hingga menjadi sepuluh besar Festival Makanan Internasional, atau ‘ruh’ paseduluran dan keramahtamahan yang dihadirkan lewat tradisi Moci.

Ruh-ruh tersebut adalah ‘bumbu-bumbu’, yang jika ‘diramu’ dan diaplikasikan dalam kondisi kekinian, bukan mustahil akan melahirkan Kabupaten Tegal yang bukan hanya sekedar Kabupaten Tegal: tetapi Kabupaten Tegal yang negali, Kabupaten Tegal yang mengindonesia, dan lebih hebat lagi; Kabupaten Tegal yang mendunia.

“Dan sambil menyeruput teh poci ala Tegal, ingatlah bahwa Tegal telah mewariskan ‘semangat’ yang revolusioner, mendunia, tetapi sekaligus ramah dan lugas.” Demikian pesan Prof. Dr. Abu Su’ud di akhir bukunya: Semangat Orang-Orang Tegal!

Dirgahayu Kabupaten Tegal, semangat ber-Banteng Loreng Binoncengan!

Referensi:
[1] Mencari Tegal yang HilangBudiografi Wordpress.com
[2] Abu Su’ud, Prof. Dr.Semangat Orang-Orang Tegal , Tegal: Penerbit Masscom Media, 2003
[3] Soetjiptoni, Ki Gede Sebayu Pendiri Pemerintahan Tegal Tahun 1585-1625, Tegal: Penerbit Citra Bahari Animasi, 2007
[4] Riyanto, Agus, Insya Allah, Tegal: Penerbit Wacana Bangsa, 2008
[5] Utomo, Hadi, Kabupaten Tegal: Mimpi, Perspektif dan HarapanTegal: Penerbit Bagian Humas Setda Kabupaten Tegal, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar