18 Mei 2013

Buku


Sepakat sekaligus mengamini, ketika Jorge Luis Borges -penulis kenamaan Argentina menyatakan: “Diantara semua instrumen manusia yang paling penting, tidak diragukan lagi, adalah buku.” Menurutnya, seperti juga mikroskop atau teleskop bagi penglihatan, lalu telepon bagi pendengaran atau suara, maka buku adalah kepanjangan dari ingatan dan imajinasi.

Imam Suprayogo, Mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa misi pertama Islam yang mencetak umat Islam kaya ilmu bisa dilihat dari ayat yang pertama kali diturunkan yaitu ‘Iqro’ yang artinya membaca.Dengan membaca manusia bisa mencipta. Orang yang pintar membaca akan bisa mencipta. Pendidikan diarahkan untuk bisa pintar membaca dan mencipta,” tegasnya.

Kemudian Agus Riyanto, Mantan Bupati Tegal yang dijuluki The Lucky Man ini, dalam buku Insya Allah pernah menuliskan: 

Karakter manusia sangat dipengaruhi oleh referensi. Perilaku adalah manifestasi dari bayangan, gambaran sesuatu atau  sesuatu yang ada dalam benak atau otak. Apabila otak jarang diisi, diasah, diasuh, maka menjadi kering ide, tumpul analisa dan menjadi pragmatis. Sehingga gejala bangsa menghadapi globalisasi, bingungnya generasi mengatasi masalah dan tumbuhnya pikiran-pikiran jalan pintas, adalah buah dari generasi nol buku.” 

Maka betapa luasnya pelajaran bila tekun mengisi baterai pada buku, peka membaca alam dan laku. Otak akan menjadi perpustakaan yang bisa dijenguk sewaktu-waktu, tanpa perlu menunggu.

Kegemilangan sebuah generasi memang tidak terlepas dari buku. Kartini, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan Syahrir adalah contoh putera-puteri Ibu Pertiwi yang rajin membaca buku. Dari buku, mereka kemudian mulai mengenal isme-isme yang kelak di kemudian hari menyadarkan bahwa bangsa mereka dijajah, serta memikirkan bagaimana cara untuk memerdekakannya.

Ditengah perkembangan teknologi, khususnya televisi dan internet, budaya membaca semakin terasa menjadi tamu asing. Bayu Adi Prasetyo, siswa kelas sepuluh pada salah satu sekolah swasta di Purwokerto, lebih memilih berhobi futsal dan desain web daripada membaca buku yang katanya membosankan.

Hasil survei UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menunjukkan, minat baca bangsa Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN. Menurut UNESCO, indeks minat membaca Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dalam setiap seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.

Kondisi memprihatinkan itu mungkin adalah penyebab keprihatinan Y.B Mangunwijaya yang kemudian menyebut bahwa kita lebih bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta.

Sekali lagi, Agus Riyanto masih dalam buku yang sama, seperti ingin ‘menjotos’ kita: “Sekarang ketika budaya membaca dan menulis dianggap tamu asing, apa yang diharapkan pada generasi ini? Apakah cukup modal untuk menghadapi kehidupan yang kompetitif, dinamis, sementara mereka belum cukup memiliki referensi?”

Pemerintah sekarang, juga bisa kita anggap gagal dalam mengkampanyekan budaya membaca. Teramat jarang kita mendengar Presiden Yudhoyono mengajak rakyatnya untuk rajin membaca. Berbeda dengan Presiden Soekarno, yang dalam pidatonya sering merngutip tulisan penulis-penulis besar dan menganjurkan rakyatnya untuk membaca karya-karya dari penulis tersebut.

Tetapi ditengah keringnya budaya membaca, aku yakin masih ada ‘sepercik air’ yang dapat menghilangkan dahaga. Lalu, apa arti buku menurut ‘sepercik air’ itu? Melalui pesan singkat, seperti ini jawaban mereka:

Didi Junaedi: Buku itu sumber ilmu, dia yang membawa kita jauh dari kebodohan, dia yang memberi kita segala pengetahuan di dunia ini, buku adalah segalanya.

Dyah Lestari: Buku adalah motivator.

Fani Saharani: Buku is a four letter word, empat huruf yang membentuk satu kata bermakna. Sebaik-baiknya teman duduk adalah buku, bukankah wahyu pertama untuk Rasulullah adalah iqro? Yups, membaca dengan perantara Kalam. Membaca itu bener-bener bikin manfaat, jadi tau yang belum tau.

Fany Nur Mustika Reni: “Bagiku buku adalah sumber inspirasi, jendela dunia yang selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin melihatnya, guru yang tak pernah menggurui, tempat menorehkan karya yang abadi dan semoga suatu saat aku bisa memiliki buku dengan nama pengarang dariku sendiri.”

Muhammad Isnaeni Wahyudi: “Buku adalah Sumber ilmu, sumber pengetahuan, sumber informasi yang bisa bermanfaat untuk sekarang atau nanti kelak di kemudian hari.”

Novi Ariyanti: “Buku adalah salah satu sumber ilmu, sebagai benda, yang mampu memberi pencerahan bagi bangsanya. Dengannya manusia akan menjadi lebih tahu lewat membaca dan menulis.”

Rima Hany Andhanty: “Buku adalah jendela dunia, tetapi sayang tidak punya cukup waktu buat memanfatkannya.”

Rofikoh Setiani: Buku adalah jendela ilmu.

Sigit Maulana: Buku itu kepanjangan tangan guru, ketika guru tak kuasa menyampaikan lebih, buku hadir untuk melengkapi.

Siti Mulyati: Buku adalah segalanya.

Siti Setia Dewi: Buku itu bagi aku adalah inspirasi, dimana di dalamnya kita dapat memperoleh berbagai informasi yang pada awalnya sangat awam kita ketahui, dari buku kita bisa melihat isi dunia.

Telo Supriyanto: “Buku adalah jembatan dalam mentransfer ilmu ke anak didik, dan dalam mencari tentang sesuatu ilmu.”

Yuniatun Kholifah: Buku adalah kehidupan.

Wiwit Bekti Setiyo: Buku adalah ilmu pengetahuan. 

Setidaknya, jawaban diatas adalah daya dan upaya yang menimbulkan optimisme, bahwa pemikiran belum mati -meskipun minimal, tetapi ikhlas datang dari hati untuk menjawab ‘jotosan’ Agus Riyanto sekaligus menghapus keprihatinan Y.B Mangun Wijaya.

Maka betapa pentingnya membaca buku, Pramoedya Ananta Toer, Penulis Paling Produktif dalam sejarah Sastra Indonesia ini menegaskan: “Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau ia tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau ia tak mengenal sejarahnya. Apalagi tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya?!” 

Selamat Hari Buku Nasional, 17 Mei 2013!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar