Huruf-huruf besar itu berderet rapi di pintu barat Universitas Trisakti, Grogol Jakarta Barat. Bagi mereka yang mengalami, atau bagi yang tidak mengalami tapi memahami; huruf-huruf tersebut akan terbaca heroik: “Kampus Pahlawan Reformasi.” Sebuah proklamasi yang akan menggugah ingatan siapa saja, tentang derasnya perlawanan Gerakan Mahasiswa terhadap Orde Tirani yang berkuasa seperempat abad lebih di negeri ini.
Monumen kata-kata itu, adalah sebuah ungkapan untuk mengenang Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendrawan Sie, empat mahasiswa dari kampus Trisakti yang gugur ditikam peluru dalam medan demonstrasi, 12 Mei 1998, di kampus mereka. Nyawa keempatnya ‘tertukar’ dengan tergulingnya Rezim Otoriter Soeharto, sebelas hari setelah peluru menembus kulit mereka.
Gerakan Mahasiswa menuntut Soeharto meletakkan jabatannya dipicu
krisis moneter pada tahun 1997. Harga-harga melambung tinggi. Demontrasi
bertambah gencar ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, 4 Mei 1998. Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Sebagai
penggantinya, B.J Habibie dilantik sebagai Presiden masa transisi. Siapa bertanggungjawab atas gugurnya keempat Pahlawan Reformasi
dalam Tragedi Trisakti, sampai kini masih menjadi tanda tanya besar sekali.
Keluarga mereka, tidak henti-hentinya bersuara, berteriak menuntut
pengungkapan tragedi yang terjadi 12 Mei 1998 itu. Mereka
selalu mengadakan Kamisan di depan Istana Negara, meskipun suaranya semakin serak, tidak terdengar, ditelan asap tebal kendaraan, walaupun tubuhnya mulai
lunglai, tidak kunjung diperhatikan, dimakan
panas matahari, tekad mereka tetap
sama: keadilan tetap harus ditegakkan, meskipun langit akan runtuh nanti malam.
Elang dan tiga
kawannya yang gugur, tentu tidak akan pernah
menyesali, karena perjuangan mereka: melahirkan Reformasi, sebuah babak baru
yang akan sangat menentukan nasib generasi setelahnya. Akan tetapi, pasca Reformasi,
melihat kondisi bangsa hari ini, apa mereka akan bahagia? Sudah tercapaikah
cita-cita Reformasi yang mereka teriakan sampai mengorbankan nyawa? Namun
sayang, mungkin jawabannya tidak.
Terbukanya kran demokrasi
sejak Orde Reformasi berdiri, tidak turut serta melahirkan anak Reformasi
yang idam-idamkan: pemerintahan yang dituntut bersih dari KKN -justru
sebaliknya, amanat UUD 1945 yang seharusnya dilaksanakan justru ‘dimurtadkan,’ masih
banyak polisi yang tentara dan tentara yang polisi, hukum ‘diperjualbelikan’ dan
maka kesimpulannya; Reformasi justru melahirkan ‘Soeharto-Soeharto’ dan
‘kroni-kroninya’ yang baru.
Jika Reformasi tidak segera berbenah diri, maka barangkali; Elang,
Hafidin, Heri, Hendrawan akan bersedia turun dari langit menuntut dan menggugat
Reformasi yang dulu mereka cita-citakan: Adili Soeharto dan kroni-kroninya, Laksanakan
amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, Pelaksanaan otonomi daerah
yang seluas-luasnya, Tegakkan supremasi hukum, Ciptakan pemerintahan yang
bersih dari KKN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar