“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”Bunyi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama. Berita itu sangat mengejutkan, hingga semalam sampai diangkat ke meja diskusi Indonesia Lawyers Club dengan tema: ‘Perbudakan di Tengah Kita?’
Peristiwa perbudakan itu
terjadi di sebuah Pabrik Kuali, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten
Tangerang.Berdasarkan laporan, selama tiga bulan buruh disekap, dipekerjakan
dalam ancaman intimidasi dari oknum ‘keamanan.’ Ditengah euforia peringatan
Hari Buruh sedunia 2 Mei kemarin, perbudakan di Pabrik Kuali itu tentu adalah
merupakan kado yang sangat pahit, terutama untuk Serikat-Serikat Buruh yang
terus menyuarakan pemenuhan hak-hak kesejahteraan dan kemerdekaan buruh.
Banyak yang merasa
kecolongan, termasuk Sekda Tangerang. Di tanah air yang katanya sudah merdeka,
peristiwa itu menggambarkan jelas masih ada ‘Belanda dan Jepang’ yang tega
‘merodi’ dan ‘meromusa.’ Anehnya, ‘penjajahan’ itu justru ‘dilegalkan’ oleh
‘aparat keamanan,’ yang seharusnya bertugas mengamankan masyararakat (buruh).
Ridwan Saidi -Budayawan
Betawi, dalam diskusi Indonesia Lawyers Club semalam, mengatakan bahwa
peristiwa itu menggambarkan runtuhnya kemanusiaan. Membaca pernyataan Ridwan
Saidi itu, jadi ingat Multatuli, seorang Humanis yang bernama asli Eduard
Douwes Dekker (1820–1887) ini sering mengingatkan: “Tugas manusia adalah
menjadi manusia.”
Dus, berkaca pada pesan
Multatuli, maka segala bentuk ‘penjajahan’ atau perbudakan manusia merupajan
tindakan yang mencerminkan bukan seorang manusia. Seorang manusia pasti akan
memanusiakan manusia, karena mereka manusia yang bertugas menjadi manusia.
Eksploitasi manusia atas
manusia, tidak boleh lagi terjadi di bumi manusia. Dan kesewenang-sewenangan
yang dilakukan oleh manusia atas manusia, yang mencederai kemanusiaan: harus
tetap kita lawan dengan cara-cara manusia. Sebab penjajahan dan perbudakan
adalah bentuk ‘pemurtadan’ terhadap UUD 1945.
Dan aku yakin jika
Multatuli masih hidup, kemudian melihat perbudakan di Pabrik Kuali Sepatan, ia
akan mengambil sikap yang sama: membela rakyat, seperti ketika ia dulu membela
rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan
bupati pribumi yang dilindungi oleh residen Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar