Membaca Kartini, seyogyanya bukan hanya soal emansipasi.
Kartini adalah sosok wanita agung, pelopor kemajuan yang mempunyai kerendahan
hati luar biasa, hal itu dapat ditunjukkan atas penolakannya terhadap panggilan
Raden Ajeng, meskipun pada waktu itu, sebagai anak Bupati Jepara ia berhak
menerimanya.
Sebagai bangsawan, Kartini menentang
feodalisme yang ia anggap sebagai penghambat kemajuan orang Jawa. Dalam keadaan
tertekan, Kartini juga masih sempat memikirkan nasib rakyat disekelilingnya,
itu didasari atas rasa cintanya yang sangat mendalam terhadap seluruh
rakyatnya.
“Panggil aku Kartini saja,” tulis Kartini dalam salah
satu surat-surat emasnya. Kutipan tersebut, kemudian oleh Pramoedya Ananta Toer
dijadikan judul karya biografi Kartini yang Pram tulis.
Kartini semasa hidupnya memang tidak punya kekuasaan, ia
hanya punya kekuatan: pena. Pena digunakannya sebagai senjata, untuk menuliskan
segala apa saja keprihatinan yang ia rasakan terhadap rakyat sebangsanya
terutama kaum wanita. Perasaannya yang peka, membawa Kartini terus melawan arus
kekuatan besar penjajahan lewat berbagai tulisan-tulisan dan surat-suratnya
yang mengagumkan.
Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 108 tahun 1964, yang isinya
menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan
hari lahir Kartini, tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahun sebagai
hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Peringatan Hari Kartini di berbagai daerah biasanya
diramaikan dengan pembacaan surat-surat Kartini, karnaval Kebaya dan
sebagainya. Di Tegal, Peringatan Hari Kartini biasanya disebut “Kartinian”.
Kartinian biasanya ditandai dengan kaum wanita yang berkebaya secara berjamaah
mulai dari anak-anak kecil, muda, dewasa, atau bahkan para orang tua.
Sosok Kartini, sebagai simbol kepahlawanan kaum wanita,
terus melekat hingga kini. Meskipun kita tahu, selain Kartini kita pernah punya
Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan masih banyak lagi.
Sudah seharusnya pemaknaan Peringatan Hari Kartini bukan
hanya cukup dengan berkebaya. Lebih dari itu, Generasi Kartini Masa Kini
hendaknya bisa ‘mewarisi’ semangat Kartini dalam melawan arus besar penjajahan
yang bertahun-tahun membelenggu.
Sudahkah kita bersikap “Kartini” dalam membendung arus
besar kebudayaan luar yang terus menggerogoti kebudayaan lokal? Sudahkah kita
bersikap “Kartini” terhadap terdegradasinya moral generasi bangsa? Itulah
sedikit dari sedemikian permasalahan yang merupakan tugas kita (Generasi
Kartini Masa Kini) untuk menjawabnya.
Sebab Generasi Kartini Masa Kini, seperti apa kata Fani
Saharani: ialah yang bukan mengeluhkan kegelapan, atau menggelapkan yang
terang; tetapi ia yang menyalakan lilin, memberi cahaya, bersinar menerangi
sekitar yang gelap, sekitar yang membutuhkan cahaya. Semoga. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar