21 Apr 2013

Kartini

Membaca Kartini, seyogyanya bukan hanya soal emansipasi. Kartini adalah sosok wanita agung, pelopor kemajuan yang mempunyai kerendahan hati luar biasa, hal itu dapat ditunjukkan atas penolakannya terhadap panggilan Raden Ajeng, meskipun pada waktu itu, sebagai anak Bupati Jepara ia berhak menerimanya.

Sebagai bangsawan, Kartini menentang feodalisme yang ia anggap sebagai penghambat kemajuan orang Jawa. Dalam keadaan tertekan, Kartini juga masih sempat memikirkan nasib rakyat disekelilingnya, itu didasari atas rasa cintanya yang sangat mendalam terhadap seluruh rakyatnya.

“Panggil aku Kartini saja,” tulis Kartini dalam salah satu surat-surat emasnya. Kutipan tersebut, kemudian oleh Pramoedya Ananta Toer dijadikan judul karya biografi Kartini yang Pram tulis.

Kartini semasa hidupnya memang tidak punya kekuasaan, ia hanya punya kekuatan: pena. Pena digunakannya sebagai senjata, untuk menuliskan segala apa saja keprihatinan yang ia rasakan terhadap rakyat sebangsanya terutama kaum wanita. Perasaannya yang peka, membawa Kartini terus melawan arus kekuatan besar penjajahan lewat berbagai tulisan-tulisan dan surat-suratnya yang mengagumkan.

Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 108 tahun 1964, yang isinya menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Peringatan Hari Kartini di berbagai daerah biasanya diramaikan dengan pembacaan surat-surat Kartini, karnaval Kebaya dan sebagainya. Di Tegal, Peringatan Hari Kartini biasanya disebut “Kartinian”. Kartinian biasanya ditandai dengan kaum wanita yang berkebaya secara berjamaah mulai dari anak-anak kecil, muda, dewasa, atau bahkan para orang tua.

Sosok Kartini, sebagai simbol kepahlawanan kaum wanita, terus melekat hingga kini. Meskipun kita tahu, selain Kartini kita pernah punya Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan masih banyak lagi.

Sudah seharusnya pemaknaan Peringatan Hari Kartini bukan hanya cukup dengan berkebaya. Lebih dari itu, Generasi Kartini Masa Kini hendaknya bisa ‘mewarisi’ semangat Kartini dalam melawan arus besar penjajahan yang bertahun-tahun membelenggu. 

Sudahkah kita bersikap “Kartini” dalam membendung arus besar kebudayaan luar yang terus menggerogoti kebudayaan lokal? Sudahkah kita bersikap “Kartini” terhadap terdegradasinya moral generasi bangsa? Itulah sedikit dari sedemikian permasalahan yang merupakan tugas kita (Generasi Kartini Masa Kini) untuk menjawabnya.

Sebab Generasi Kartini Masa Kini, seperti apa kata Fani Saharani: ialah yang bukan mengeluhkan kegelapan, atau menggelapkan yang terang; tetapi ia yang menyalakan lilin, memberi cahaya, bersinar menerangi sekitar yang gelap, sekitar yang membutuhkan cahaya. Semoga. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar