9 Apr 2013

Aristoteles

Sempat kebingungan, tentang suguhan yang tepat untuk memberikan semacam rasa terimakasih untuknya. Bukan soal apa, tetapi lebih kepada soal bagaimana jika ia tidak sreg ataupun tidak berkenan menerima. Terhadapnya, aku seperti Soekarno kepada Tjokroaminoto -raja Jawa yang tanpa mahkota itu. Atau barangkali sebagaimana Aristoteles terhadap Plato, Filsuf paling berpengaruh di dunia Barat setelah Socrates.

Berangkat dari sana, akhirnya, aku jadi ingat Pasar Buku Blok-M; disana bersemayam karya monumental Aristoteles: La Politica, dan aku memilihnya sebagai suguhan yang semoga tepat untuknya. Siapa tidak kenal Aristoteles? lelaki berjenggot murid Plato ini juga termasuk filsuf paling berpengaruh setelah gurunya. Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani pada tahun 384 Masehi.

Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Aristoteles terasa lebih merupakan hal-hal yang lebih masuk akal, sehingga banyak teorinya yang sampai sekarang tetap bertahan di seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Dalam lapangan politik Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki. Lalu bagaimana dengan wajah perpolitikan kita saat ini? apakah bentuk politik kita sudah seideal gambaran Aristoteles? apakah tujuan politik sudah mencapai kepada kebaikan tertinggi –seperti apa yang ia sampaikan dalam La Politica-nya?

Pertanyaan tersebut, diam-diam juga telah dengan tegas dijawab Emha Ainun Najib. Kyai Mbeling asal Jombang ini mengatakan, “Politik diciptakan dan dimaifestasikan berdasarkan filosofi dan tujuan untuk menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan  bagi manusia, tapi yang terjadi sama sekali sebaliknya.” 

Dapat dipahami mengapa Emha sedemikian resah, kebahagiaan dan kesejahteraan pada kenyataannya hanya dimiliki oleh sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeruk pundi-pundi ke kantongnya sendiri. Para pimpinan politik tidak lagi menghiraukan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat politiknya. “Politik itu bersih, yang kotor oknumnya,” kata Politisi mantan artis Raja Minyak di televisi.

Adagium tersebut selalu dijadikan benteng pertahanan bahwa tubuh perpolitikan bangsa ini baik-baik saja, karena yang luka hanya oknum-oknumnya. Oknum yang mana? maka mereka akan saling tunjuk hidung lawan masing-masing. Sikut-menyikut, hantam-menghantam, lawan diterjang, yang lain sibuk mencari kambing hitam: ya, Aristoteles benar; manusia adalah hewan politik.  

Tetapi pertanyaannya? apakah hewan politik pada akhirnya dapat menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan komunal selama perilaku politiknya tetap dalam skala hewan? atau perlukah (manusia) terlebih dahulu menjadi manusia politik agar dapat mewujudkan cita-cita politik Aristoteles?

Buku bersampul hitam dengan judul La Poltica itu rasanya bisa menjadi bahan renungan, kajian, serta pelajaran berharga bagi siapa saja yang ingin kembali bertanya pada Aristoteles tentang  arti politik yang sebenarnya. Akhir kata, semoga ia berkenan menerima kado sebagai pengantar terima kasih dan pengikat silaturahmi diantara dua manusia anak cucu Adam ini.  

Bahkan dari sana semoga kado ini dapat menambah wawasan dalam bermasyarakat dan bernegara, dan dikemudian hari menginspirasi arti politik yang sebenarnya, yang seharusnya menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia –seperti kata Emha. (*)

*Tulisan didedikasikan untuk Kakanda Andrean Murdianto 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar