Sempat
kebingungan, tentang suguhan yang tepat untuk memberikan semacam rasa
terimakasih untuknya. Bukan soal apa, tetapi lebih kepada soal bagaimana jika
ia tidak sreg ataupun tidak berkenan menerima. Terhadapnya, aku seperti Soekarno kepada Tjokroaminoto -raja Jawa yang tanpa mahkota itu. Atau barangkali
sebagaimana Aristoteles terhadap Plato, Filsuf paling berpengaruh di dunia
Barat setelah Socrates.
Berangkat dari sana, akhirnya, aku jadi ingat Pasar Buku Blok-M; disana
bersemayam karya monumental Aristoteles: La Politica, dan aku memilihnya
sebagai suguhan yang semoga tepat untuknya. Siapa tidak kenal Aristoteles? lelaki berjenggot murid Plato ini juga
termasuk filsuf paling berpengaruh setelah gurunya. Aristoteles lahir di
Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani pada tahun 384 Masehi.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Aristoteles terasa lebih merupakan
hal-hal yang lebih masuk akal, sehingga banyak teorinya yang sampai sekarang
tetap bertahan di seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Dalam lapangan politik Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal
adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki. Lalu bagaimana dengan wajah perpolitikan kita saat ini? apakah bentuk politik kita sudah seideal gambaran
Aristoteles? apakah tujuan politik sudah mencapai
kepada kebaikan tertinggi –seperti apa yang ia sampaikan dalam La Politica-nya?
Pertanyaan tersebut, diam-diam juga
telah dengan tegas dijawab Emha Ainun Najib. Kyai Mbeling asal Jombang ini
mengatakan, “Politik diciptakan dan dimaifestasikan berdasarkan filosofi dan
tujuan untuk menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia,
tapi yang terjadi sama sekali sebaliknya.”
Dapat dipahami mengapa Emha sedemikian resah, kebahagiaan dan kesejahteraan
pada kenyataannya hanya dimiliki oleh sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan
memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeruk pundi-pundi ke kantongnya sendiri.
Para pimpinan politik tidak lagi menghiraukan kebahagiaan dan kesejahteraan
rakyat politiknya. “Politik itu bersih, yang kotor oknumnya,” kata Politisi mantan artis Raja
Minyak di televisi.
Adagium tersebut selalu dijadikan benteng pertahanan bahwa tubuh perpolitikan bangsa ini baik-baik saja,
karena yang luka hanya oknum-oknumnya. Oknum yang mana? maka mereka akan saling tunjuk hidung lawan masing-masing. Sikut-menyikut, hantam-menghantam, lawan diterjang, yang lain sibuk mencari
kambing hitam: ya, Aristoteles benar; manusia adalah hewan politik.
Tetapi pertanyaannya? apakah hewan politik pada akhirnya dapat menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan komunal selama perilaku politiknya tetap dalam skala hewan? atau perlukah (manusia) terlebih dahulu menjadi manusia politik agar dapat mewujudkan cita-cita politik Aristoteles?
Tetapi pertanyaannya? apakah hewan politik pada akhirnya dapat menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan komunal selama perilaku politiknya tetap dalam skala hewan? atau perlukah (manusia) terlebih dahulu menjadi manusia politik agar dapat mewujudkan cita-cita politik Aristoteles?
Buku bersampul hitam dengan judul La Poltica itu rasanya bisa menjadi bahan renungan, kajian, serta
pelajaran berharga bagi siapa saja yang ingin kembali bertanya pada Aristoteles
tentang arti politik yang sebenarnya. Akhir kata, semoga ia berkenan menerima kado sebagai pengantar terima kasih
dan pengikat silaturahmi diantara dua manusia anak cucu Adam ini.
Bahkan dari sana semoga kado ini dapat menambah wawasan dalam bermasyarakat dan bernegara, dan dikemudian hari menginspirasi arti politik yang sebenarnya, yang seharusnya menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia –seperti kata Emha. (*)
Bahkan dari sana semoga kado ini dapat menambah wawasan dalam bermasyarakat dan bernegara, dan dikemudian hari menginspirasi arti politik yang sebenarnya, yang seharusnya menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia –seperti kata Emha. (*)
*Tulisan didedikasikan untuk Kakanda Andrean Murdianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar