Tegal
bersolek, jalan-jalan disapu bersih, pepohonan di cat merah putih. Tidak ada
lagi pedagang berjualan di pinggir jalan, aspal-aspal yang dulunya berlubang
kini mendadak disulap rata dan mulus. Rumput-rumput liar dibabat habis tanpa
menyisakan kumis. Bukan, ini bukan dalam rangka perebutan piala bergilir Adipura,
bukan juga peringatan hari merdeka. Ya, seperti yang Anda duga sebelumnya; ini
karena hajatan kedatangan seorang Tamu Besar. Maka Tegal perlu dipercantik,
dirias bermacam rupa, sebagaimana pengantin baru; agar kiranya tidak
mengecewakan Sang Tamu.
Aku yang melihat dari kejauhan; justru berkhayal Tegal tetap
tampil apa adanya, tanpa banyak formalitas, tanpa banyak basa-basi. Seperti
watak Tegal yang Negali pada umumnya; thokthelan dari dan kepada siapa saja; seperti
watak Bima dalam keluaga Pandawa. Jauh dari unggah-ungguh dan kromoisme
berlebihan; termasuk kepada Tamu Besar. Tunggu dulu, Anda lantas jangan mencurigai itu akan menjadikan
Tegal yang tidak lagi berwajah ramah. Bukan, bukan itu yang akan Anda dapatkan
dari khayalan ini.
Justru, mumpung kedatangan Tamu Besar; Tegal tetap memperlihatkan tataran yang kecil-lokal, sebab di Kota-kota Besar, segala yang kecil-lokal-detail telah tergerus arus Global yang penuh pencitraan. Maka aku berkhayal Tegal untuk jujur, sederhana tampil seperti biasa adanya. Jadi, sebenarnya Tegal tidak perlu malu jika menyambut Tamu Besar
dengan pedagang berserakan yang membuat kemacetan jalan, juga Tegal juga tidak
boleh minder dengan keadaan aspal yang banyak berlubang.
Siapa tahu, justru dengan seperti itu; Sang Tamu Besar tersentuh untuk kemudian mencurahkan pikiran dan kapasitasnya untuk menuntaskan masalah yang aku rasa menjamur di setiap kota dan kabupaten, tetapi selalu berhasil ditiadakan ketika ada hajatan menyambut Tamu Besar. Maka hal yang semacam itu bisa dikatakan budaya asal Bapak senang. Budaya warisan Orde Baru yang seharusnya dibinasakan, bukan malah dirawat dan dilestaikan.
Justru, mumpung kedatangan Tamu Besar; Tegal tetap memperlihatkan tataran yang kecil-lokal, sebab di Kota-kota Besar, segala yang kecil-lokal-detail telah tergerus arus Global yang penuh pencitraan. Maka aku berkhayal Tegal untuk jujur, sederhana tampil seperti biasa adanya.
Siapa tahu, justru dengan seperti itu; Sang Tamu Besar tersentuh untuk kemudian mencurahkan pikiran dan kapasitasnya untuk menuntaskan masalah yang aku rasa menjamur di setiap kota dan kabupaten, tetapi selalu berhasil ditiadakan ketika ada hajatan menyambut Tamu Besar. Maka hal yang semacam itu bisa dikatakan budaya asal Bapak senang. Budaya warisan Orde Baru yang seharusnya dibinasakan, bukan malah dirawat dan dilestaikan.
Masih dalam khayal: menyambut Tamu Besar; Tegal juga harus tetap
mewarteg; Tegal jangan ragu untuk menghidangkan nasionalisme Lengko,
patriotisme Tahu Aci, dan demokratisnya Sega Ponggol. Makanan khas warisan
kecerdasan nenek moyang yang masing-masing diracik secara serius, detail,
jujur, setia yang pada gilirannya memperkokoh spirit kebersamaan Tegal pada
masyarakatnya. Identitas dan entitas yang terus perlu dijaga dan disuguhkan.
Semoga berangkat dari khayalan, bisa menginspirasi keIndonesiaan Tamu Besar. (*)
Semoga berangkat dari khayalan, bisa menginspirasi keIndonesiaan Tamu Besar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar