9 Des 2012

Dodol Garut

“Pemimpin harus bisa menjadi teladan kepada rakyatnya. Sebab keteladanan dan keadilan seorang pemimpin, menjadi pintu naungan di Hari Kiamat.” Demikian Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Di televisi, berita itu kini telah menjadi konsumsi nasional, dari kota-pelosok, tua-muda, perempuan-laki-laki, kaya-miskin, besar-kecil; semua terlanjur menyaksikannya. 

Ada yang merasa suka, biasa-biasa saja, muak atau bahkan mungkin bosan. Karena sekarang, cerita itu bagaikan sinetron bersambung yang tidak kunjung berujung seperti Drama Tersanjung.
Ia barangkali telah merasa segagah raja-raja dahulu, yang mempunyai segalanya untuk mewujudkan semua keinginannya. Tetapi sepertinya ia lupa, bahwa pada jaman itu Tanah Jepara belum melahirkan seorang bayi perempuan perkasa; Seorang Raden Ajeng yang hanya ingin dipanggil: Kartini saja.

Kartini hingga kini tersohor karena lewat maklumat emansipasinya; telah berhasil menggugat kederajatan perempuan, mengangkat harkat martabat teritorial perempuan dari label usang: dapur, kasur, sumur. Perempuan Kartini kini, tanpa meninggalkan kodratnya berhak mengurus kemajuannya tanpa dilecehkan oleh sesuatupun.

Sebagai penggemar Dodol Garut: maka aku, mereka yang warga Garut atau mereka yang merasa perempuan atau anak dari seorang Ibu, berhak merasa kecewa, tercabik-cabik nuraninya; keputusannya menceraikan Fanny Octora lewat pesan singkat hanya dalam waktu empat hari setelah nikah siri adalah teladan yang tidak patut dicontoh dari seorang yang kebetulan adalah Bupati yang seharusnya tampil dengan sikap ksatria dan penuh tanggung jawab. (*)

Spirit pernikahan yang sesungguhnya sakral; akhirnya ternodai oleh keblingernya daya berpikir, yang tidak berdaya dan celakanya hanya mampu mengamini bisikan setan semata: nafsu dunia. Kepercayaan yang dititipkan warga Garut dalam bilik suara kini sekejap telah binasa. Dan kursi goyangnyapun kini akan terus digoyang. Senjata makan tuan!

Alamak, malam ini mendadak ingin sekali rasanya, membangunkan kembali Durkheim: mengajaknya berbicara, dan membujuknya agar besok pagi ia kembali bersedia memberikan kuliah: Etika dan Moral. 

Terutama kepada siapapun mereka pemimpin-calon pemimpin, pejabat-calon pejabat, kepala institusi-calon kepala institusi atau posisi semacamnya yang tinggi; agar beretika dan bermoral dalam kata dan perbuatan. Tidak semena-mena. Tidak mudah terlena dan tergiur oleh jabatan yang hanya titipan. Terpenting lagi; menaruh kehormatan setinggi-tingginya pada kaum perempuan! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar