26 Nov 2012

Kurikulum

Dalam perjalanan sejarahnya, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami beberapa kali perubahan sejak Republik ini memproklamasikan diri. Perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek adalah “oknum” yang sejak dulu dituduh turut mempengaruhi perubahan kurikulum pendidikan nasional. Dari sistem politik, kita contohkan saja: kurikulum 1964 dengan metode gotong-royongnya era pemerintahan Soekarno yang secara teori bermaksud membentuk manusia Pancasilais yang sosialis Indonesia.

Dengan pertimbangan politik dan ideologis, pada 1968 kurikulum tersebut diberangus dan diganti dengan maksud “membentuk manusia Pancasila sejati” oleh rezim suksesor Soeharto yang memang secara ideologis bersebarangan dengan Soekarno. Terkait rencana perubahan kurikulum tahun depan, Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, Muhammad Nuh mengatakan; orientasi pengembangan kurikulum 2013 adalah tercapainya kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan,  dan pengetahuan. 

Fenomena terjadinya tawuran di kalangan para pelajar yang semakin membudaya sekarang ini, menjadi sinyalemen ketidakberesan yang terjadi dalam tubuh pendidikan nasional. Untungnya, kurikulum pendidikan, hingga sampai saat ini masih bersedia untuk dikambinghitamkan. Dengan demikian, ringkasnya, Nuh mengisyaratkan kurikulum yang baru kelak harus menekankan pada pendidikan karakter. Pendidikan yang membentuk manusia-manusia Indonesia yang cerdas, berkepribadian dan berakhlak mulia. 

Harapan tersebut harus mendapat apresiasi dari berbagai stakeholder, cerdik-pandai, cendekiawan dan semua kalangan pendidikan. Guru sebagai ujung tombak, tidak boleh lagi –meminjam istilah Romo Mangun- menjadi pawang, akan tetapi guru harus bisa menjadi sebenar-benarnya pendidik yang berkualitas, suri teladan yang sabar dan telaten ngemong anak-anak didiknya. 

Jika pendidikan adalah soal membangun bangsa, maka pemerintah tidak boleh main-main apalagi gegabah menentukan kebijakan. Kurikulum baru yang telah dirancang, semoga adalah buah dari pemikiran yang matang dan visoner jauh ke depan, bebas dari segala bentuk kepentingan pribadi atau kelompok apapun. Sehingga dalam pelaksanaanya nanti, tidak memberatkan guru dan siswa. 

Semua demi lahirnya generasi emas, bukan generasi yang jatuh dalam lubang yang sama; sebagai kelinci percobaan. Demi tercapainya cita-cita pendidikan nasional Indonesia yang jauh-jauh hari telah terpatri dalam Undang-Undang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar