Pasca
tumbangya rezim Orde Baru ternyata tidak lantas memutus rantai korupsi. Orde
Reformasi sebagai bayi putih yang sedianya digadang-gadang untuk tumbuh besar
menjadi Satria Perkasa yang bisa mendatangkan perubahan, justru mengingkari
kodratnya. Bukannya Satria Perkasa, Reformasi dewasa ini justru melahirkan
banyak makhluk picisan, titisan para koruptor yang telah khatam bagaimana cara
Orde Baru menggerogoti uang negara.
Lihat saja, di berbagai media, setiap hari masyarakat dicekoki dengan pemberitaan kasus korupsi yang ironisnya melibatkan para pejabat negara. Tindakan korupsi layaknya penyakit Malaria yang dengan cepat mewabah kemana-mana. Virus-virus korupsi rupanya telah berproklamasi untuk terus menggoda anak cucu Ibu Pertiwi. Korupsi secara berjamaah yang dilakukan oleh Tikus-Tikus berdasi.
Secara tidak langsung telah memperkosa sendi-sendi kesejahteraan dan kemaslahatan orang banyak; dimana sesungguhnya kesejahteraan sosial adalah janji Republik yang telah dibubuhkan pada Undang-Undang Dasar. Macet dan buruknnya pembangunan dalam segala sektor adalah salah satu bentuk “korban” dari tindakan kejam para koruptor. Maka jangan heran jika melihat ada gedung sekolah yang masih kebocoran dan hampir rubuh tidak terurus.
Jangan kaget kalau melihat jembatan yang baru runtuh, jangan terkesima melihat aspal jalan banyak yang ambles, dll. Ini adalah fenomena yang sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa. Selain dipertontonkan teladan yang buruk bahkan mungkin busuk, korupsi juga mengakibatkan mereka tidak dapat menikmati pembangunan kehidupan selayaknya di tanah yang telah merdeka, karena kebanyakan hak-hak mereka telah disunat dan dikorupsi oleh para koruptor.
Lihat saja, di berbagai media, setiap hari masyarakat dicekoki dengan pemberitaan kasus korupsi yang ironisnya melibatkan para pejabat negara. Tindakan korupsi layaknya penyakit Malaria yang dengan cepat mewabah kemana-mana. Virus-virus korupsi rupanya telah berproklamasi untuk terus menggoda anak cucu Ibu Pertiwi. Korupsi secara berjamaah yang dilakukan oleh Tikus-Tikus berdasi.
Secara tidak langsung telah memperkosa sendi-sendi kesejahteraan dan kemaslahatan orang banyak; dimana sesungguhnya kesejahteraan sosial adalah janji Republik yang telah dibubuhkan pada Undang-Undang Dasar. Macet dan buruknnya pembangunan dalam segala sektor adalah salah satu bentuk “korban” dari tindakan kejam para koruptor. Maka jangan heran jika melihat ada gedung sekolah yang masih kebocoran dan hampir rubuh tidak terurus.
Jangan kaget kalau melihat jembatan yang baru runtuh, jangan terkesima melihat aspal jalan banyak yang ambles, dll. Ini adalah fenomena yang sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa. Selain dipertontonkan teladan yang buruk bahkan mungkin busuk, korupsi juga mengakibatkan mereka tidak dapat menikmati pembangunan kehidupan selayaknya di tanah yang telah merdeka, karena kebanyakan hak-hak mereka telah disunat dan dikorupsi oleh para koruptor.
Korupsi
telah membudaya ke segala lini. Mulai dari korupsi yang kelas teri hingga
korupsi kelas kakap. Seperti apa yang dikatakan oleh Donal Fariz dalam sebuah
seminar: “Korupsi tidak mengenal batas usia, atau agama apa, korupsi disebabkan
oleh karena faktor ketamakan.” Kemerosotan moral, budaya konsumerisme dan
hedonisme membuat orang selalu merasa kurang dengan apa yang didapat.
Dulu Mahatma Gandhi pernah mengingatkan kita: “Bumi cukup menyediakan segala sesuatu untuk memuaskan kebutuhan semua orang, bukan semua ketamakan.” Generasi Orde Baru dan setelahnya rasanya telah melupakan teladan Bung Hatta, yang sampai akhir hayatnya tidak pernah bisa membeli sepatu Bally yang diinginkannya.
Tabungan Bung Hatta tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally, karena uangnya habis dipakai untuk keperluan keluarga dan handai taulan yang meminta pertolongan. Dengan jabatannya sebagai Wakil Presiden, sebenarnya akan sangat mudah sekali untuk mendapatkan apa yang diinginkan, tetapi Bung Hatta tidak pernah menggunakan jabatan, ia lebih memilih jalan yang lurus dan sukar.
Dulu Mahatma Gandhi pernah mengingatkan kita: “Bumi cukup menyediakan segala sesuatu untuk memuaskan kebutuhan semua orang, bukan semua ketamakan.” Generasi Orde Baru dan setelahnya rasanya telah melupakan teladan Bung Hatta, yang sampai akhir hayatnya tidak pernah bisa membeli sepatu Bally yang diinginkannya.
Tabungan Bung Hatta tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally, karena uangnya habis dipakai untuk keperluan keluarga dan handai taulan yang meminta pertolongan. Dengan jabatannya sebagai Wakil Presiden, sebenarnya akan sangat mudah sekali untuk mendapatkan apa yang diinginkan, tetapi Bung Hatta tidak pernah menggunakan jabatan, ia lebih memilih jalan yang lurus dan sukar.
Tokoh
yang diperankan oleh Tora Sudiro dalam salah satu film pendek bertemakan Kita
vs Korupsi, juga sangat menginspirasikan. Dalam pergulatan batin keadaan
ekonomi keluarga yang pas-pasan, ditambah kondisi anaknya yang sedang
sakit-sakitan, Tora menolak suap yang dilakukan seseorang oknum bergelimang
uang. Tora bertahan pada idealismenya, ia tidak rela menggadaikan kejujuran
meskipun batinnya tertekan karena membutuhkan uang.
Sudah
saatnya masyarakat berbenah untuk memutus mata rantai praktek korupsi dalam
keadaan apapun. Dalam aktivitas keseharian; utamakan kejujuran dalam
melaksanakan tugas, patuhi dan ikuti semua
aturan yang telah ditetapkan dan hentikan budaya suap-menyuap terhadap instansi
maupun pribadi pelayan masyarakat dan penegak hukum, berakhlak menerima yang
hak dan menolak yang bukan hak.
Itulah solusi secara garis besar yang akan mendidik para mental koruptor agar insyaf dan kembali pada jalan yang benar. Bung Hatta dan Tora Sudiro memberikan pelajaran pada kita semua bahwa; sebagai pribadi kita harus bermoral menempatkan kejujuran dan kesederhanaan dimanapun dan kapanpun agar bisa terhindar dari praktek-praktek yang berbau korupsi.
Itulah solusi secara garis besar yang akan mendidik para mental koruptor agar insyaf dan kembali pada jalan yang benar. Bung Hatta dan Tora Sudiro memberikan pelajaran pada kita semua bahwa; sebagai pribadi kita harus bermoral menempatkan kejujuran dan kesederhanaan dimanapun dan kapanpun agar bisa terhindar dari praktek-praktek yang berbau korupsi.
Di sisi
lain, tentunya institusi penegak hukum; baik Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus terus bersinergi, bergandengan tangan, satu kata
satu perbuatan untuk selalu digaris terdepan bersama pemerintah dan masyarakat
untuk menghunuskan pedang mengusir para penjajah baru bernama koruptor dari
bumi Nusantara tercinta ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar