20 Jul 2012

Demokrasi

“Selamat malam mas. Mengenaskan, rong dina wingi demo nang Balai Desa, gara-gara pemilihan Pamong. Mbuh sing dikarepna pada kaya apa,demikian pesan dari salah satu teman di Dukuhwaru. Mengabarkan betapa mengkhawatirkannya keadaan sosial dan politik demokrasi di desa itu. Kira-kira dalam Bahasa Indonesianya seperti ini: Selamat malam mas. Mengenaskan, dua hari kemarin demo di Balai Desa, gara-gara pemilihan Pamong. Tidak tahu seperti apa yang diinginkan.

Ternyata, demonstrasi di Balai Desa Dukuhwaru terjadi, terindikasi karena ketidakpuasan masyarakat akan proses dan hasil pemilihan. Ada sesuatu hal yang terciderai. Misalnya, yang terpilih dianggap tidak layak, atau kurang “dekat” dengan masyarakat. Atau hasil tes yang telah ditetapkan tidak mewakili suara rakyat secara keseluruhan.


Vox populi vox dei; suara rakyat adalah suara Tuhan, kata pepatah latin melanjutkan. Diseberang sana juga terdengar; bahwa jawaban tes dapat dibeli asal ada uang. Inilah yang mengakibatkan penilaian yang tidak transparan, tidak mengandung prinsip JurDil. Jika diawal saja telah berani membeli kejujuran dan keadilan, bagaimana kalau sudah menjabat nanti? pantas saja kalau kita perlu khawatir.


Transparansi, kejujuran, dan keadilan dalam proses berdemokrasi harus diperjuangkan. Agar demokrasi tidak melahirkan anak manis yang durhaka.  

Jika desa, yang aku pikir; adalah harapan satu-satunya untuk melihat roh demokrasi yang sesungguhnya, ternyata telah juga tercemar praktek-praktek kotor selayaknya demokrasi ala kota (Jakarta); maka aku hanya bisa berkata dalam batin: inalillahi wa inalillahi roji’un, telah meninggal dunia demokrasi bin reformasi di pangkuan Ibu Pertiwi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar