20 Mar 2012

Guru Sebagai Gurunya Manusia

Masih kita ingat, ketika dahulu kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang dibombardir Amerika Serikat pada tahun 1945, hal yang pertama ditanyakan oleh Kaisar Hirohito adalah; berapa banyak guru yang masih hidup? Jelas pada waktu itu Kaisar Hirohito sangat menyadari bahwa kemajuan dan kebangkitan suatu bangsa itu dimulai dari sumber daya manusianya. Sementara sumber daya manusia yang baik itu bisa dicapai dengan pendidikan. 

Sikap sang Kaisar di atas dapat dimengerti, karena manusia merupakan faktor produksi yang sangat menentukan dalam usaha pembangunan. Manusia merupakan pelopor pembangunan dan karenanya investasi dalam sumber daya manusia merupakan suatu keharusan dalam pembangunan. Untuk itu setiap negara yang ingin maju dan berkembang haruslah mampu berfungsi mengubah sikap mental yang kolot dan mampu menggalakkan inovasi dan memengaruhi secara kreatif pola dan perilaku masyarakat (Seda, 1970).

Memang seyogyanya, paling primer orang tualah yang diberikan amanat oleh Tuhan untuk mendidik anak-anaknya, di hadapan Tuhan kelak para orangtua juga akan dimintai pertanggungjawaban tentang bagaimana cara mereka mendidik anak-anaknya. Namun, karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan waktu yang dimiliki oleh orangtua, sebagian besar orangtua mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada guru-guru anaknya di sekolah. 

Oleh karena itu; guru akan menjadi tokoh sentral dalam hal pendidikan, dipundaknyalah disandarkan tugas mendidik dan mencetak sumber daya - sumber daya manusia yang dipersiapkan sebagai generasi unggul sebagai penerus, pembangun serta pemegang sebuah bangunan besar bernama; Republik Indonesia. 

Guru sebagai gurunya manusia secara garis besar mempunyai tugas utama; meningkatkan kecerdasan anak didiknya. Kecerdasan yang bukan hanya intelektual, tetapi juga meliputi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Suatu ketika, seorang Budayawan sekelas Romo Mangun pernah khawatir; “Guru setelah G30 S bukan lagi sebagai pendidik, melainkan instruktur atau pawang.” Guru seharusnya adalah menjadi pendidik, bukan instruktur atau pawang seperti yang dikhawatirkan oleh Romo Mangun. 

Di era globalisasi yang berpotensi mengancam ketahanan akar budaya nasional seperti sekarang ini; sebagai pendidik selain mencerdaskan intelektual, guru mempunyai kewajiban lain yaitu menanamkan nation and character building pada setiap dada anak didiknya, agar suatu kelak dapat menjadi manusia berkualitas yang cerdas, berakhlak mulia dan mencintai bangsanya.  

Selain itu, sebagai pendidik, guru harus bersikap ngemong dengan asah, asih dan asuh, bukan dengan cara kekerasan atau kepalan tangan; yang jelas tidak sesuai dengan kode etik guru yang telah ditetapkan. Dimanapun ada yang mulia dan ada yang jahat -kata Pram, guru yang baik akan dikenang baik, begitu juga sebaliknya. Guru yang baik akan dikenang mulia, meminjam kalimat Soekarno: 

“Pekerjaan yang paling mulia adalah pendidik, dan yang paling saya hormati adalah orang yang memimpin para pendidik (Kepala Sekolah).” Semoga suatu saat muncul Satrio Piningit yang dapat membawa dunia pendidikan Indonesia kembali pada masa kejayaannya. Wallahu'alam Bishawab. (*)

*Tulisan ini menjadi Juara I Clue Menulis tema Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar