Dulu suporter sepakbola di Indonesia seringkali dianggap tidak dewasa karena terkadang memilih anarkisme dan vandalisme dalam menyikapi kekalahan tim yang didukungnya. Dari kerusuhan antar supporter hingga pembakaran fasilitas stadion sebagai ekspresi kekecewaan.
Sekarang, seiring berjalannya waktu mereka berbenah, mereka lebih bisa lapang dalam menyikapi kekalahan.
Salah satunya dapat dilihat ketika Tim Nasional Garuda Tua dan Muda dipecundangi Tim bebuyutan Harimau Malaysia, mereka dengan berbesar hati menerima kekalahan walau memang menyakitkan. Tidak lagi ada kerusuhan, tidak lagi ada pembakaran, supporter telah berbenah untuk bersikap dewasa, demi satu tujuan; kemajuan sepakbola Indonesia. Tetapi sangat disayangkan, konflik justru terjadi dalam tubuh PSSI sendiri.
Sejak dikudetanya rezim Nurdin Halid dan terpilihnya Djohar Arifin sebagai penggantinya, nyatanya tidak bisa membawa angin perubahan. The Wind Of Change belum bersedia melewati langit persepakbolaan Indonesia. Di saat Negara-negara di Asia lain sudah dalam tahap sibuk memikirkan prestasi, PSSI justru sibuk meributkan kompetisi. Kembali terjadinya dualisme penyelenggaraan kompetisi, adalah buah akibat dari PSSI yang tidak mau belajar dari dosa-dosa pendahulunya.
Ketika klub-klub peserta lebih banyak menolak bermain di liga yang diselenggarakan PSSI, seharusnya PSSI berkaca, apa yang salah dalam rumah tangga organisasinya. Sebab dalam hal ini berlaku adagium Arab yang mengatakan; “al-Nas ‘ala dini mulukihim,” (rakyat akan mengikuti moral pemimpinnya).
Sepakbola bukan milik orang seorang, sepakbola adalah milik semua, kebijakan yang diambil haruslah atas dasar demi kepentingan semua bangsa Indonesia, bukan demi orang perorang atau kelompok perkelompok. PSSI bersama FIFA harus bisa memecahkan masalah ini dengan pikiran yang jernih.
Sebab kekisruhan yang terus berlanjut hanya akan merugikan sepakbola nasional, ini akan menghambat proses pengkaderan bibit-bibit muda harapan persepakbolaan bangsa di masa depan.
Setiap yang menjabat Ketua Umum PSSI hendaknya bisa memahami dan mewarisi semangat Ir. Soeratin; bahwa PSSI didirikan sebagai alat perjuangan untuk mempersatukan bangsa, bukan untuk memecah belah persatuan. Semoga matahari pagi segera terbit mengusir senjakala di langit-langit persepakbolaan Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar