Ketika
diceraikan dari ABRI, Korps Kepolisian diharapkan bisa menjadi Polisi Sipil
yang melepas karakteristik kemiliteran. Polisi
Sipil mempunyai beberapa pengertian, salah satunya adalah Polisi Sipil yang
menghormati hak-hak sipil; Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang
mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah
dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara. Kita
mempunyai Polri, institusi yang sekarang dipimpin oleh Jenderal Timur Pradopo
ini sedang banyak dibicarakan.
Bukan karena prestasi, tetapi lebih karena tindak kekerasan yang akhir-akhir ini banyak mencuat ke permukaan. Kemana peran kepolisian? ketika kasus pembantaian Mesuji Lampung yang hingga kini belum rampung diusut tuntas kasusnya. Dan kini aparat yang diamanatkan Undang-Undang sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat ini kembali disorot dalam kasus pembubaran aksi pemblokiran Pelabuhan Sape di Bima Nusa Tenggara Barat.
Di
Bima, rakyat berhadapan dengan polisi karena menentang perijinan tambang
di wilayah tersebut. Kebijakan yang tidak memihak pada azas kerakyatan
mengakibatkan rakyat berteriak dan turun ke jalan menuntut hak-haknya
dikembalikan. Polisi yang seharusnya mengawal tuntutan rakyat, malah menendang,
memukul dan menembak hingga mengakibatkan dua korban tewas dan beberapa lainnya
luka-luka.
Bima
membara dan tindakan represif militer aparat kepolisian memunculkan berbagai
tanggapan. Pimpinan PP Muhammadiyah, Din Syamsudin mengatakan: “Tindakan brutal
aparat kepolisian di Bima adalah sebuah pelanggaran HAM berat dan bentuk tirani
kekuasaan yang tidak bisa ditolerir.” Polisi dinilai lebih memihak dan terkesan
menjadi alat kepentingan pemodal dan kekuasaan. Maka tidak heran jika Johnson
Panjaitan kemudian menyebut motto kepolisian yang sekarang adalah maju tak
gentar membela yang bayar.
Sungguh
ironis, ketika kepolisian dalam bertindak lebih memihak kepada yang
membayar, maka rakyat kecil akan semakin terkucilkan rasa keadilannya.
Padahal rakyat jugalah yang menggaji polisi melalui pajak, tetapi di dalam
mindset-mindset dan pikiran-pikiran mereka, sepertinya terkesan ketika
menangani rakyat yang menuntut hak; seolah siap mengokang senjata dan
memuntahkan pelurunya. Polisi terkesan menempatkan rakyat sebagai musuh
dalam perang.
Hilang
sudah budaya musyarawah yang diwariskan nenek moyang kita, hilang sudah
kompromi yang telah diajarkan para pendahulu kita. Polisi dan Negara gagal
membudayakan dialog dengan rakyatnya. Rasanya Republik ini kembali membutuhkan
pemimpin polisi sekaliber Hoegeng; Jenderal Polisi yang jujur, tidak
mempan disuap dan berani tidak populer untuk tidak memusuhi rakyat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar