29 Des 2011

Rakyat Bukan Musuh Polisi

Ketika diceraikan dari ABRI, Korps Kepolisian diharapkan bisa menjadi Polisi Sipil yang melepas karakteristik kemiliteran. Polisi Sipil mempunyai beberapa pengertian, salah satunya adalah Polisi Sipil yang menghormati hak-hak sipil; Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara. Kita mempunyai Polri, institusi yang sekarang dipimpin oleh Jenderal Timur Pradopo ini sedang banyak dibicarakan. 

Bukan karena prestasi, tetapi lebih karena tindak kekerasan yang akhir-akhir ini banyak mencuat ke permukaan. Kemana peran kepolisian? ketika  kasus pembantaian Mesuji Lampung yang  hingga kini belum rampung diusut tuntas kasusnya. Dan kini aparat yang diamanatkan Undang-Undang sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat ini kembali disorot dalam kasus pembubaran aksi pemblokiran Pelabuhan Sape di Bima Nusa Tenggara Barat.

Di Bima,  rakyat berhadapan dengan polisi karena menentang perijinan tambang di wilayah tersebut. Kebijakan yang tidak memihak pada azas kerakyatan mengakibatkan rakyat berteriak dan turun ke jalan menuntut hak-haknya dikembalikan. Polisi yang seharusnya mengawal tuntutan rakyat, malah menendang, memukul dan menembak hingga mengakibatkan dua korban tewas dan beberapa lainnya luka-luka.

Bima membara dan tindakan represif militer aparat kepolisian memunculkan berbagai tanggapan. Pimpinan PP Muhammadiyah, Din Syamsudin mengatakan: “Tindakan brutal aparat kepolisian di Bima adalah sebuah pelanggaran HAM berat dan bentuk tirani kekuasaan yang tidak bisa ditolerir.” Polisi dinilai lebih memihak dan terkesan menjadi alat kepentingan pemodal dan kekuasaan. Maka tidak heran jika Johnson Panjaitan kemudian menyebut motto kepolisian yang sekarang adalah maju tak gentar membela yang bayar.

Sungguh ironis, ketika kepolisian dalam bertindak lebih memihak kepada yang membayar,  maka rakyat kecil akan semakin terkucilkan rasa keadilannya. Padahal rakyat jugalah yang menggaji polisi melalui pajak, tetapi di dalam mindset-mindset dan pikiran-pikiran mereka,  sepertinya terkesan ketika menangani rakyat yang menuntut hak;  seolah siap mengokang senjata dan memuntahkan pelurunya. Polisi terkesan menempatkan rakyat sebagai musuh  dalam perang.

Hilang sudah budaya musyarawah yang diwariskan nenek moyang kita, hilang sudah kompromi yang telah diajarkan para pendahulu kita. Polisi dan Negara gagal membudayakan dialog dengan rakyatnya. Rasanya Republik ini kembali membutuhkan pemimpin polisi sekaliber Hoegeng; Jenderal Polisi yang  jujur, tidak mempan disuap dan berani tidak populer untuk tidak memusuhi rakyat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar