25 Jun 2015

Bahasa Tegal itu Demokratis


Suatu pagi, 2012. Seorang pria berambut panjang menjadi pusat perhatian di Pasar Banjaran, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Dengan secarik kertas di tangan kanannya, dia mulai membacakan syair untuk semua orang. Apito Lahire, pria berambut panjang itu, merupakan salah satu penyair yang mengaku jengkel. Sebab, bahasa Tegal seringkali digunakan sebagai bahan lawakan para komedian.

Apito, mengaku telah lama memendam amarah. Dia mencoba membiarkan segala tetek bengek pelecehan atau penghinaan frontal terhadap bahasa tanah kelahirannya itu terjadi. Namun pagi-pagi itu, jebolan Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut tidak tertahankan. Dia memprotes keadaan melalui teater jalanan, dari emperan dan pinggiran pertokoan. "Aku protes/ini caraku untuk menyadarkan kalian/ini puisiku," kata Apito.

"Siapa bilang Bahasa Tegal kasar?/Siapa bilang kalau bicara dengan Bahasa Tegal seperti orang tersesat?/Apakah kalian percaya?/Menurutku pernyataan itu mengada-ada," tegas pendiri KST Teater Pawon itu. Dia menginginkan semua orang tersadar, Bahasa Tegal bukanlah bahasa kasar, tetapi justru bahasa yang paling komunikatif. Karena itu, dia membacakan puisi di ruang publik terbuka di pasar, seperti mengamen pun tidak jadi masalah.

Sering kita saksikan, Bahasa Tegal lebih banyak ditampilkan sebagai lelucon dan guyonan. Kerap dianggap aneh, seperti bahasa dari planet lain. Dia kemudian dipinggirkan, ditempatkan sebagai di ruang pojok yang gelap, dan dituduh sebagai bahasa klas bawah yang melekat pada pembantu, tukang ojek, atau penjual sayur. Meskipun terkadang, wong Tegal yang mahasiswa juga menjadi sasaran candaan, saat, misalnya dia mulai berbicara di depan kelas untuk presentasi.

Karena menggunakan Bahasa Tegal, dia ditertawakan. Salah seorang teman, menulis satir di akun Facebooknya. Begini tulisannya: "Ketika kami berbicara dengan bahasa daerah kami, banyak orang tertawa mendengarnya karena mungkin terasa lucu nan aneh. Ya, itulah bahasa kami, bahasa berdialek ngapak-ngapak. Kami adalah Tegal, Brebes, Banyumas, Pemalang, Purbalingga, dan Cilacap. Kami adalah rumpun ngapak-ngapak yang menjadi bagian dari kekayaan bahasa daerah di Indonesia. Kami bangga dengan bahasa kami.

Karena bahasa kami telah menghibur banyak orang, membuat mereka tersenyum dan tertawa, bahkan ada yang mencoba mempraktikannya. Bahasa kami adalah bahasa terlucu di dunia. Terima kasih atas segala bentuk apresiasi yang telah diberikan kepada bahasa daerah kami."

Gemas, aku mencoba menghubungi budayawan Tegal Yono Daryono. Pemeran Man Damin dalam serial Tukang Bubur Naik Haji itu kemudian menjelaskan, ngapak sebenarnya adalah istilah wong Banyumas. Di Tegal sendiri, tidak ada kata ngapak. Mengapa ditertawakan, karena bahasa Tegal dianggap bahasa klas dua, yang digambarkan sinetron peran pembantu dan dilucu-lucukan. Padahal seharusnya, dalam bahasa itu tidak ada yang direndahkan ataupun ditinggikan.

Sebab merendahkan dan meninggikan, merupakan pekerjaan feodalisme. Kalangan feodal bahkan membagi-bagi kasta menjadi priyayi dan rakyat jelata. Sehingga muncul klas ngoko, kromo, dan kromo inggil. Sedangkan, Bahasa Tegal itu lebih banyak ngoko dan nyaris tidak mengenal kasta, blakasuta. Lebih dari itu semua, kata Yono, Bahasa Tegal itu demokratis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar