Tidak lama lagi, kita akan menghadapi tantangan pasar bebas yang dikemas dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dalam visi pembangunan perekonomian terintegrasi yang telah disepakati negara-negara Asia Tenggara itu, setiap negara didorong dalam sebuah kompetisi secara bebas, tanpa ada lagi proteksi nasional.
Kata Sekjen ASEAN Le Luong Minh, MEA akan membawa banyak manfaat bagi negara yang terintegrasi.
Manfaat tersebut, seperti turunnya angka kemiskinan, meningkatnya pertumbuhan investasi, peningkatan produk domestik bruto, mengurangi pengangguran, dan peningkatan angka di dunia perdagangan. Benarkah demikian? Entahlah. Dalam rumusannya, sekurang-kurangnya ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan dalam MEA. Pertama, pasar tunggal dan basis produksi yang menyebabkan aliran bebas barang untuk diperjualbelikan.
Di sini, masalah akan muncul jika produk lokal ternyata kalah bersaing dengan produk luar, baik dari segi kualitas maupun harganya. Jika begitu, hal ini disebut-sebut bakal menghancurkan sektor produksi nasional, baik yang berskala besar, apalagi yang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kedua, liberalisasi tenaga kerja asing. Liberalisasi memaksa tenaga kerja lokal untuk bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN.
Tentu saja, dalam hal ini tenaga kerja kita perlu memiliki kompetensi yang benar-benar terampil dan siap mental menghadapi persaingan. Sudah terampil dan siapkah kalian, wahai para tenaga kerja lokal? Saya sepakat. MEA, tidak hanya akan memunculkan pertarungan di bidang ekonomi saja. MEA, setidak-tidaknya akan berpengaruh pada kondisi sosial, politik, dan budaya. Mari kita analogikan, nun sebelum MEA datang, generasi bangsa ini saja sudah begitu mudah terasuki budaya asing.
Ini dikarenakan benteng nasionalisme yang rapuh, sehingga mudah ditembus, dan akhirnya kesurupan. Bahkan lebih ekstremnya, belum lama ini Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah menyatakan, dia khawatir MEA akan berdampak pada memudarnya bahasa Indonesia. Karena itu, bahasa Indonesia perlu pemartabatan. Setiap tenaga kerja asing yang bekerja di sini, harus memiliki sertifikat Uji Kompetensi Bahasa Indonesia. Lha wong kita saja sering ditanya TOEFL saat mendaftar kerja, bukan?
Membangun Benteng
Kota Tegal sampai saat ini menjadi salah satu medan magnet bagi investor. Geliat bisnis berkembang di daerah yang berlokasi sebagai poros transit transportasi tiga daerah, Jakarta, Semarang, dan Purwokerto. Di antara gemerlap tersebut, perajin-perajin UMKM masih berdenyut memikul memori yang diceritakan nenek moyang tentang "Jepangnya Indonesia".
Pemerintah Kota Tegal bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tegal telah meneken Peraturan Daerah (Perda) tentang Penanaman Modal. Ketua Panitia Khusus Penanaman Modal saat itu, Hendria Priatmana, mengatakan, salah satu tujuan ditekennya Perda ini untuk melindungi UMKM agar tidak tergerus oleh asing dalam pertarungan MEA nanti.
Hendria juga menginginkan, setiap investor yang menginjakkan kaki di Kota Tegal, mengutamakan tenaga kerja lokal. Kalangan pemerintahan di daerah, rupanya menyadari betapa pentingnya melindungi UMKM. Meski MEA mengisyaratkan tanpa ada lagi proteksi nasional, setidaknya Perda tersebut menjadi benteng terakhir untuk me-warning agar nantinya, MEA ramah terhadap kearifan lokal.
Hal tersebut patut mendapatkan apresiasi. Namun demikian, melindungi UMKM sejatinya tidak hanya melalui Perda. Perlindungan sebenarnya adalah pemberian perhatian serius untuk menduniakan batik Tegalan, peternakan itik, pengolahan ikan, dan potensi unggulan lain yang dimiliki Kota Tegal. Melindungi tenaga kerja lokal, juga tidak boleh hanya dengan memberikan ikan.
Pemerintah perlu menyediakan kail berupa pendidikan yang serius untuk membentuk pribadi-pribadi berdaya saing global. Sekali lagi, perhatian yang dibutuhkan adalah perhatian yang serius, bukan mengawang-awang. Sebab saat ini, keseriusan kerja dan kinerja menjadi sebuah kemewahan. Menantinya, akan terasa melelahkan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar