9 Jan 2014

Melawan Korupsi

Tahun baru? Adakah maknanya untuk kita? Jika ada, tidak ada salahnya bila tahun baru kali ini dijadikan momentum untuk menuntaskan agenda jihad melawan korupsi. Kita tentu sepakat, korupsi adalah biang keladi yang membuat segala aspek pembangunan bangsa ini jalan di tempat, baik itu pembangunan infrastruktur, ekonomi, sosial, politik, hukum, kebudayaan dan lain sebagainya. Untuk itu, korupsi harus terus diperangi.

Dalam dasawarsa 1950-an, salah seorang dosen universitas di Yogyakarta, pada sebuah seminar mengatakan, bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Melihat perkembangan korupsi di kalangan pejabat pemerintahan sekarang, baik di pusat maupun daerah, maka ucapan dosen itu menyebar dan dibenarkan oleh kita yang mengecam korupsi, tetapi tidak mempunyai kekuatan untuk memberantasnya.

Sepanjang 2013, setiap hari rakyat Indonesia dijejali berita tentang pejabat ini, politikus itu, bupati sini, dan gubernur sana yang terjerat dalam kasus korupsi. Korupsi di kalangan pejabat pemerintahan, sudah tumbuh ke atas dalam hirearki dan mendatar ke daerah-daerah. Bahkan, korupsi di berbagai kalangan, seperti bergandengan tangan dengan anak cucunya; kolusi, nepotisme, kongkalikong, suap, pungutan liar, pemerasan, dan penipuan. 

Berdasarkan data Corruption Perception Index 2013, Indonesia menempati urutan 114 dengan skor 32 dari 177 negara yang diukur. Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan Tanzania (33).

Revolusi Mental

Ilham Aidit, putra Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit, bahkan mengatakan, bahwa bahaya di Indonesia saat ini bukanlah komunisme, melainkan korupsi.

Pendapat Ilham cukup beralasan, sementara komunisme telah dilarang, dan ada dalam ketetapan MPR, sedangkan korupsisme, masih melenggang bebas bergandengan tangan dengan seluruh anak cucunya.

Tindakan korupsi jelas melanggar kaidah kejujuran, dan tentu melanggar hukum yang berlaku, menurunkan kewibawaan negara dan pemerintah, mengakibatkan hight cost economy yang menaikkan harga produk dan menurunkan daya saing bussiness umum. Sehingga timbul kesenjangan ekonomi dan sosial antara golongan kaya raya dan berkuasa di level atas, dan golongan wong cilik yang sehari-hari harus bekerja keras untuk mempertahankan hidup yang layak di level bawah (Prof. Selo Soemardjan, 1998:13-14).

Pramoedya Ananta Toer, dalam novel Korupsi (1952) menggambarkan seorang pegawai negeri bernama Bakir yang sarat dengan korupsi. Keinginan Bakir  untuk  korupsi  didorong  oleh  kesadarannya  bahwa  keadaan  ekonomi keluarganya tidak semakin membaik meskipun ia telah bekerja keras selama puluhan tahun dengan  dedikasi  dan  kejujuran  yang  tinggi. Faktor  kesempatan  juga  dimiliki  oleh  Bakir  dalam mengembangkan  korupsinya.

Pengertian korupsi, ditinjau dari berbagai macam definisi menguatkan pendapat bahwa tindakan  tersebut  merupakan  perbuatan yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi  pada  pihak-pihak yang  berkepentingan dengan  jalan  melanggar  peraturan. Pada umumnya, korupsi terjadi pada lingkungan yang menentukan suatu kebijakan, misalnya perizinan, pengesahan suatu peraturan, dan lain sebagainya. Korupsi dalam pengertian inilah  yang dilakukan oleh Bakir.

Dari gambaran tentang tokoh Bakir yang melakukan korupsi ini, dapat diketahui bahwa pada hakikatnya  korupsi  dapat  muncul  karena  adanya  keinginan  dan  kesempatan  (willingness  and opportunity) yang terjadi secara bersamaan. Keinginan untuk korupsi bersifat internal tetapi bisa dipengaruhi  oleh  faktor-faktor  eksternal,  sedangkan  kesempatan  bersifat  eksternal  (Wijayanto, 2009:26). 

Dengan  menciptakan  tokoh  Bakir,  sepertinya  Pramoedya  ingin  menyindir  mental  para pegawai  yang  mudah  tergoda  melakukan  korupsi  karena  ukuran  keberhasilan  dan  kehormatan seseorang  hanya  dapat  dicapai  dengan  menunjukkan  potensi  materinya  bukan  pada  keteguhan imannya.

Bila memang korupsi yang terjadi pada pegawai dan pejabat pemerintahan sekarang adalah persoalannya ada pada mental, seperti Bakir, maka diperlukan revolusi mental besar-besaran. Revolusi ‘mental Bakir’, persoalannya ada pada mau tidak mau, berani atau tidak berani untuk bersepakat anti korupsi. Berkata tidak pada korupsi, bukan hanya pada slogan, tetapi juga dalam perbuatan.

Memerangi korupsi, tentu tidak perlu menunggu tahun baru. Tetapi, selalu ada harapan baru pada sesuatu yang baru. Tahun 2014 adalah tahun yang menentukan, April mendatang bangsa ini akan memilih pemimpinnya. Bangsa ini adalah bangsa pemberani, bangsa yang rakyatnya berani menentukan sikap, berani berkata tidak terhadap segala bentuk penindasan, penjajahan, dan termasuk (seharusnya) terhadap korupsi yang menyengsarakan.

Sudah saatnya rakyat Indonesia cerdas, memilih pemimpin baru yang bernas, pemimpin baru yang memposisikan korupsi sebagai penjajah dan penindas! Dan selamat tahun baru! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar