Tahun baru?
Adakah maknanya untuk kita? Jika ada, tidak ada salahnya bila tahun baru kali
ini dijadikan momentum untuk menuntaskan agenda jihad melawan korupsi. Kita
tentu sepakat, korupsi adalah biang keladi yang membuat segala aspek pembangunan
bangsa ini jalan di tempat, baik itu pembangunan infrastruktur, ekonomi,
sosial, politik, hukum, kebudayaan dan lain sebagainya. Untuk itu, korupsi
harus terus diperangi.
Dalam dasawarsa 1950-an, salah seorang dosen universitas di Yogyakarta, pada sebuah seminar mengatakan, bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Melihat perkembangan korupsi di kalangan pejabat pemerintahan sekarang, baik di pusat maupun daerah, maka ucapan dosen itu menyebar dan dibenarkan oleh kita yang mengecam korupsi, tetapi tidak mempunyai kekuatan untuk memberantasnya.
Sepanjang 2013, setiap hari rakyat Indonesia dijejali berita tentang pejabat ini, politikus itu, bupati sini, dan gubernur sana yang terjerat dalam kasus korupsi. Korupsi di kalangan pejabat pemerintahan, sudah tumbuh ke atas dalam hirearki dan mendatar ke daerah-daerah. Bahkan, korupsi di berbagai kalangan, seperti bergandengan tangan dengan anak cucunya; kolusi, nepotisme, kongkalikong, suap, pungutan liar, pemerasan, dan penipuan.
Berdasarkan data Corruption Perception Index 2013, Indonesia menempati urutan 114 dengan skor 32 dari 177 negara yang diukur. Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan Tanzania (33).
Revolusi Mental
Ilham Aidit, putra Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit, bahkan mengatakan, bahwa bahaya di Indonesia saat ini bukanlah komunisme, melainkan korupsi.
Pendapat Ilham cukup beralasan, sementara komunisme telah dilarang, dan ada dalam ketetapan MPR, sedangkan korupsisme, masih melenggang bebas bergandengan tangan dengan seluruh anak cucunya.
Tindakan korupsi jelas melanggar kaidah kejujuran, dan tentu melanggar hukum yang berlaku, menurunkan kewibawaan negara dan pemerintah, mengakibatkan hight cost economy yang menaikkan harga produk dan menurunkan daya saing bussiness umum. Sehingga timbul kesenjangan ekonomi dan sosial antara golongan kaya raya dan berkuasa di level atas, dan golongan wong cilik yang sehari-hari harus bekerja keras untuk mempertahankan hidup yang layak di level bawah (Prof. Selo Soemardjan, 1998:13-14).
Pramoedya Ananta Toer, dalam novel Korupsi (1952) menggambarkan seorang pegawai negeri bernama Bakir yang sarat dengan korupsi. Keinginan Bakir untuk korupsi didorong oleh kesadarannya bahwa keadaan ekonomi keluarganya tidak semakin membaik meskipun ia telah bekerja keras selama puluhan tahun dengan dedikasi dan kejujuran yang tinggi. Faktor kesempatan juga dimiliki oleh Bakir dalam mengembangkan korupsinya.
Pengertian korupsi, ditinjau dari berbagai macam definisi menguatkan pendapat bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi pada pihak-pihak yang berkepentingan dengan jalan melanggar peraturan. Pada umumnya, korupsi terjadi pada lingkungan yang menentukan suatu kebijakan, misalnya perizinan, pengesahan suatu peraturan, dan lain sebagainya. Korupsi dalam pengertian inilah yang dilakukan oleh Bakir.
Dari gambaran tentang tokoh Bakir yang melakukan korupsi ini, dapat diketahui bahwa pada hakikatnya korupsi dapat muncul karena adanya keinginan dan kesempatan (willingness and opportunity) yang terjadi secara bersamaan. Keinginan untuk korupsi bersifat internal tetapi bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, sedangkan kesempatan bersifat eksternal (Wijayanto, 2009:26).
Dengan menciptakan tokoh Bakir, sepertinya Pramoedya ingin menyindir mental para pegawai yang mudah tergoda melakukan korupsi karena ukuran keberhasilan dan kehormatan seseorang hanya dapat dicapai dengan menunjukkan potensi materinya bukan pada keteguhan imannya.
Bila memang korupsi yang terjadi pada pegawai dan pejabat pemerintahan sekarang adalah persoalannya ada pada mental, seperti Bakir, maka diperlukan revolusi mental besar-besaran. Revolusi ‘mental Bakir’, persoalannya ada pada mau tidak mau, berani atau tidak berani untuk bersepakat anti korupsi. Berkata tidak pada korupsi, bukan hanya pada slogan, tetapi juga dalam perbuatan.
Memerangi korupsi, tentu tidak perlu menunggu tahun baru. Tetapi, selalu ada harapan baru pada sesuatu yang baru. Tahun 2014 adalah tahun yang menentukan, April mendatang bangsa ini akan memilih pemimpinnya. Bangsa ini adalah bangsa pemberani, bangsa yang rakyatnya berani menentukan sikap, berani berkata tidak terhadap segala bentuk penindasan, penjajahan, dan termasuk (seharusnya) terhadap korupsi yang menyengsarakan.
Sudah saatnya rakyat Indonesia cerdas, memilih pemimpin baru yang bernas, pemimpin baru yang memposisikan korupsi sebagai penjajah dan penindas! Dan selamat tahun baru! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar