Beberapa
bulan yang lalu, Tasripin terpaksa berhenti sekolah, sejak ditinggal sang ayah
bekerja di Ketapang, ia mendadak menjadi kepala rumah tangga. Seperti Budi
Kecil dalam lagunya Iwan Fals: Tasripin berkelahi dengan waktu, mencari uang
untuk menghidupi ketiga adiknya. Dalam kegetiran, jari-jarinyanya yang lemah:
terkepal tidak mau menyerah.
Kaki Gunung Slamet, tempat Tasripin menyambung kehidupan, menjadi saksi;
bahwasanya angka-angka pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pemerintah hanyalah
teori semata. Selama masih ada anak bangsa putus sekolah
demi menanggung kehidupan; pertumbuhan
ekonomi hanyalah khayalan belaka.
Pertumbuhan ekonomi yang dibangga-banggakan, seharusnya merata: menyentuh mikro. Bukan hanya berada pada tataran makro, tataran orang kaya yang semakin kaya. Melihat kondisi Tasripin, setelah diangkat beberapa media, kemudian melalui akun Twitternya, Presiden Yudhoyono menulis bahwa ia telah mengutus stafnya untuk meyambangi kediaman Tasripin di Banyumas dan telah menginstrusikan untuk memberikan bantuan.
Setelah ramai, bantuan mengalir dari mana-mana, mulai dari Mensos, Mendikbud, dan Menag tidak ketinggalan memberikan bantuan. Aku berharap, masalah Tasripin jangan dianggap peristiwa biasa, yang selesai setelah bantuan mengalir dimana-mana, semata. Di Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi, ironi Tasripin seharusnya adalah tragedi, bencana yang jika disadari adalah laten dimana-mana?
Muramnya Tasripin adalah wajah bangsa ini, siapa tahu, ia adalah makhluk yang dikirim Tuhan untuk mengingatkan para pemimpin bangsa: bahwa menyejahterakan rakyat adalah kewajiban utama yang dipikul mereka. Sebab dari Sabang sampai Merauke, masih banyak Tasripin-Tasripin lainnya yang belum hidup tersejahterakan. Jangan tunggu diberitakan media, pemimpin sudah seharusnya menjemput bola.
Pemimpin harus menjalankan amanat penderitaan rakyat, dan menepati janji Republik untuk mewujudkan kesejahteraan umum, untuk Tasripin dan untuk semua warga Negara Indonesia lainnya, tanpa terkecuali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar