Nama Kwitang telah identik dengan pusat penjualan buku baru dan bekas di Jakarta. Lokasi ini menjadi favorit mahasiswa dan masyarakat umum, karena harga jualnya yang relatif lebih murah. Sebelum 2008, para pedagang membuka lapaknya hingga tumpah ruah ke pinggir jalan. Namun setelah ada penertiban, tempat yang menyimpan banyak kenangan untuk Rangga dan Cinta itu tinggal cerita.
Kwitang-Kwitang lain, rupanya terdapat di berbagai daerah. Di Solo, ada di sekitar Alun-Alun Kraton. Bergeser ke Semarang, Anda bisa pergi ke Stadion Diponegoro. Sedang di Kota Tegal, serpihan Kwitang bisa dijumpai di Pasar Alun-Alun Tegal, atau yang biasa disebut Pasar Ireng, yang persis berada di depan Stasiun Besar Tegal.
Meski tidak semasif Kwitang di ibu kota, paling tidak, para pedagang buku di Pasar Ireng memiliki spirit yang sama: merawat peradaban. Pak Oyong, meminjam istilah Rangga, merupakan salah satu "konglomerat" buku di Pasar Ireng. Lapak lelaki yang berusia kepala enam ini, berada di pojok, dari pintu selatan pasar. Di sebelahnya, ada dua sampai tiga lapak yang bersetia menjual buku, baru maupun bekas.
Pak Oyong yang akrab disapa Kokoh karena bermata agak sipit ini, merupakan kepanjangan tangan dari Kwitang Jakarta. Setiap bulan sekali, dia pergi ke ibu kota untuk memboyong buku-buku, dan menjualnya kembali untuk masyarakat Kota Tegal dan sekitar. Di lapaknya yang berukuran tidak seberapa, Anda akan menemui buku-buku karya Soe Hok Gie, Pramoedya Anta Toer, Hamka, Mochtar Lubis, YB Mangun Wijaya.
Atau, milik pengarang kekinian macam Tere Liye, Raditya Dika, dan lainnya. Dari lapak Pak Oyong, aku telah membawa pulang Sang Pemula, Keluarga Gerilya, Korupsi, Arok Dedes, dan Cerita dari Blora. Semuanya, merupakan anak rohani Pramoedya. Sore tadi, Senin (30/5), sekumpulan tulisan Soe Hok Gie yang terhimpun dalam Zaman Peralihan juga telah dicomot untuk menghuni perpustakaan pribadi.
Keberadaan orang seperti Pak Oyong, rasa-rasanya sangat urgen untuk terus menghidupkan keberaksaraaan, ketika budaya membaca kita masih sangat rendah, sementara harga buku di toko modern melambung, disertai berbagai macam pelarangan beredarnya buku yang dicap berbahaya oleh sekelompok orang yang mempunyai pobia.
Aku yang menjadi tergoda dorongan membaca tiga puluh lembar perhari seperti diserukan duta baca Indonesia, Najwa Shihab, ikut bersedih ketika mendengar belakangan ini, Pak Oyong kerap mengeluhkan mahalnya tiket kereta api (KA) jurusan Tegal-Jakarta pulang pergi, setelah dihapuskannya kereta sejuta umat, KA Tegal Arum oleh PT KAI.
Kwitang-Kwitang lain, rupanya terdapat di berbagai daerah. Di Solo, ada di sekitar Alun-Alun Kraton. Bergeser ke Semarang, Anda bisa pergi ke Stadion Diponegoro. Sedang di Kota Tegal, serpihan Kwitang bisa dijumpai di Pasar Alun-Alun Tegal, atau yang biasa disebut Pasar Ireng, yang persis berada di depan Stasiun Besar Tegal.
Meski tidak semasif Kwitang di ibu kota, paling tidak, para pedagang buku di Pasar Ireng memiliki spirit yang sama: merawat peradaban. Pak Oyong, meminjam istilah Rangga, merupakan salah satu "konglomerat" buku di Pasar Ireng. Lapak lelaki yang berusia kepala enam ini, berada di pojok, dari pintu selatan pasar. Di sebelahnya, ada dua sampai tiga lapak yang bersetia menjual buku, baru maupun bekas.
Pak Oyong yang akrab disapa Kokoh karena bermata agak sipit ini, merupakan kepanjangan tangan dari Kwitang Jakarta. Setiap bulan sekali, dia pergi ke ibu kota untuk memboyong buku-buku, dan menjualnya kembali untuk masyarakat Kota Tegal dan sekitar. Di lapaknya yang berukuran tidak seberapa, Anda akan menemui buku-buku karya Soe Hok Gie, Pramoedya Anta Toer, Hamka, Mochtar Lubis, YB Mangun Wijaya.
Atau, milik pengarang kekinian macam Tere Liye, Raditya Dika, dan lainnya. Dari lapak Pak Oyong, aku telah membawa pulang Sang Pemula, Keluarga Gerilya, Korupsi, Arok Dedes, dan Cerita dari Blora. Semuanya, merupakan anak rohani Pramoedya. Sore tadi, Senin (30/5), sekumpulan tulisan Soe Hok Gie yang terhimpun dalam Zaman Peralihan juga telah dicomot untuk menghuni perpustakaan pribadi.
Keberadaan orang seperti Pak Oyong, rasa-rasanya sangat urgen untuk terus menghidupkan keberaksaraaan, ketika budaya membaca kita masih sangat rendah, sementara harga buku di toko modern melambung, disertai berbagai macam pelarangan beredarnya buku yang dicap berbahaya oleh sekelompok orang yang mempunyai pobia.
Aku yang menjadi tergoda dorongan membaca tiga puluh lembar perhari seperti diserukan duta baca Indonesia, Najwa Shihab, ikut bersedih ketika mendengar belakangan ini, Pak Oyong kerap mengeluhkan mahalnya tiket kereta api (KA) jurusan Tegal-Jakarta pulang pergi, setelah dihapuskannya kereta sejuta umat, KA Tegal Arum oleh PT KAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar