18 Mar 2019

Godot Tak Jua Datang


Pementasan Sementara Menunggu Godot, Sabtu (16/3)
Godot yang ditunggu-tunggu oleh Estragon (Gogo) dan Vladimir (Didi) tidak juga datang hingga lakon Sementara Menunggu Godot yang dipentaskan oleh Teater Jerit Jakarta di Teater Arena Taman Budaya Tegal, Jalan Kolonel Sugiono, Sabtu (16/3), berakhir. Penantian panjang Gogo dan Didi, berujung tanpa kehadiran yang dinantikan.  

Pementasan malam itu diawali dengan adegan Gogo yang sedang duduk di dekat sebatang pohon dan mencoba melepaskan sepatu dengan kedua tangannya. Di tengah usahanya, dia terengah-engah. Kedebuk! Gogo terjatuh, menyerah, dan terlihat sangat lelah. Setelah beritirahat, dia bangkit dan mencoba lagi seperti sebelumnya.  

Seketika itu, muncul Didi di hadapan Gogo. Dua sahabat tersebut akhirnya bertemu. Sementara menunggu Godot, keduanya melewatkan waktu dengan memperdebatkan hal-hal yang ada di sekitar, seperti sepatu, topi, dan pohon. Akan tetapi, bukannya Godot yang datang, melainkan Pozzo dan Lucky, sang tuan dan budaknya.

Waktu terus berlalu. Gogo dan Didi masih menunggu Godot di tempat yang sama. Semua peristiwa nyaris terulang kembali hingga akhir cerita. Lakon Sementara Menunggu Godot yang disutradarai Choki LG ini diambil dari naskah Menunggu Godot atau Waiting for Godot karya penulis Irlandia Samuel Beckett. 

Teater Jerit berhasil memadatkan durasi pementasan dari yang biasanya sampai empat jam, menjadi satu jam lima puluh menit, tanpa keluar dari naskah yang dikemas Beckett. 

“Naksah ini tergolong naskah yang berat. Namun, pemain Teater Jerit bisa bereksplorasi dengan cerdik dan enak ditonton,” kata Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal Yono Daryono yang ikut menyaksikan pementasan. Meski tragis, adegan-adegan yang dibawakan Teater Jerit tidak muram, tetapi justru dengan bahasa yang lucu dan komikal.  

Beberapa kali, Gogo, Didi, Pozzo, dan Lucky membuat penonton tertawa. Di situlah Yono melihat kekuatan keaktoran Teater Jerit. “Saya dalam hati mengatakan teater modern sementara ini lebih banyak dibebankan kepada sutradara. Namun, ini keaktorannya sangat menunjang. Seperti kata Arifin C Noer, sutradara boleh mati, pemain jangan,” ujar Yono. Hal senada disampaikan pelaku seni Rudi Iteng. 

Menurut Rudi, Teater Jerit banyak memberikan pelajaran keaktoran. Bahwa, aktor merupakan kekuatan pertunjukan, dengan menghidupkan artistik dan musik, meski tanpa musik yang sebenarnya. Di samping itu, naskah absurd seperti ini dapat menjadi wawasan bagi dunia teater di Kota Tegal. 

 “Saya yakin Teater Jerit melalui proses yang panjang dan rumit, tapi bisa dilalui. Ini yang dapat dipelajari dari mereka,” ungkap Rudi.  

Pementasan ini juga disaksikan sejumlah pelaku seni di antaranya Ubaidillah, Apito Lahire, Seful Mumin, termasuk pelajar dan mahasiswa yang bergelut di teater. Lalu siapa sebenarnya Godot? Mungkin itu teka-teki. Namun, barangkali benar, lakon ini menyiratkan tentang keberanian untuk mempertahankan kesetiaan dalam menunggu sesuatu yang diharapkan. 

*Artikel ini dimuat di Radar Tegal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar