6 Mar 2016

Kalah di Kandang Sendiri


Berbicara pilkada, Kabupaten dan Kota Tegal layak disebut kandang banteng. Realitas itu dapat dilihat dari superioritas PDIP mengantarkan kadernya menduduki puncak kekuasaan. Di Kabupaten Tegal, cerita itu dimulai tahun 2004. Duet Ketua DPC PDIP Agus Riyanto-Ketua DPC PKB Hamam Miftah, terpilih sebagai Bupati-Wakil Bupati 2004-2009 dalam pemilihan di DPRD dengan 30 suara. 

Pesaing terdekatnya, Faizal Amri-Abdul Aziz mendapat 14 suara. Bendera PDIP kembali berkibar, ketika lagi-lagi Agus Riyanto berhasil memenangi Pilbup 2008. Dia kembali menduduki kursi G-1 dengan menggandeng Hery Soelistyawan yang berlatar belakang birokrat. Duet itu memperoleh 261.855 suara atau 42,87 persen dari 613.562 total jumlah suara sah. 

Sementara di Kota Tegal, kader PDIP yang lain, Ikmal Jaya, memenangi pilwalkot 2008. Dia bersama pasangannya, mantan politikus PKB Habib Ali Zaenal Abidin yang diusung koalisi PDIP dan PKS memperoleh 88.329 suara. Hegemoni partai banteng seakan-akan terhenti pada Pilbup dan Pilwalkot Tegal 2013 yang digelar pada 27 Oktober 2013.  

Dalam Pilbup Tegal, Rojikin, Ketua DPC PDIP bersama pasangannya Budhiharto yang berlatar belakang birokrat, menduduki urutan ketiga. Pilbup dimenangi oleh Enthus Susmono- Umi Azizah yang diusung PKB dengan perolehan 24,15 persen suara. Adapun dalam Pilwalkot Tegal, Ikmal Jaya kalah dari pasangan Siti Masitha Soeparno-Nursholeh, yang diusung Golkar, unggul jauh dengan perolehan 35.006 suara atau 45,23 persen.

Dalam kalkulasi politik, kekalahan kader banteng di kandang sendiri menjadi kabar sangat mengejutkan. Pasalnya, dalam Pilgub Jateng pada Mei 2013, Kabupaten Brebes, serta Kabupaten dan Kota Tegal merupakan lumbung suara PDIP. Di tiga daerah tersebut, jago dari PDIP Ganjar Pranowo- Heru Sudjatmoko menang mutlak, dengan perolehan 45,02% suara.

Kemenangan Ganjar-Heru (PDIP) di Kabupaten Tegal dan Kota Tegal dalam Pilgub Jateng 2013 rupanya tidak bisa merepresentasikan pemilih tetap konsisten mencoblos banteng. Di Kabupaten Tegal, banyaknya kader PDIP yang sebelumnya mendaftarkan diri dalam proses penjaringan, memungkinkan kemunculan benih pecahnya suara yang berimplikasi pada bobolnya kandang banteng.

Pergeseran Pandangan

Kekalahan Ikmal atas Siti Masitha Soeparno yang merupakan figur baru, adalah drama tersendiri bagi sang petahana. Padahal sebenarnya kepemimpinan Ikmal selama 5 tahun belakangan bisa dibilang lumayan. Hal itu dapat dilihat dari diterimanya sejumlah penghargaan tingkat nasional atau provinsi. Kader banteng jangan lupa tren ada semacam pergeseran pandangan masyarakat terhadap figur pemimpin. Di luar politik saweran, masyarakat lebih cenderung melihat figur tokoh. 

Mereka lagi terkagum-kagum dengan sosok pemimpin merakyat sebagaimana ditampilkan Jokowi di Jakarta. Barangkali berbeda ceritanya, jika dalam Pilbup Tegal Rojikin berpasangan dengan Umi Azizah, tokoh Muslimat NU yang lebih dekat dengan masyarakat. Juga dalam Pilwalkot Tegal, akan lain ceritanya jika Ikmal kembali berpasangan dengan Habib Ali Zaenal Abidin, dengan tidak meninggalkan kalangan santri. 

Selain menonjolkan figur, komposisi ideal untuk PDIP, barangkali adalah tetap bergandengan dengan kalangan santri, seperti romantisme kejayaan kala mengantarkan Agus Riyanto-Hamam Miftah tahun 2004, dan Ikmal Jaya-Habib Ali Zaenal Abidin tahun 2009. Jika benar PDIP cerdas, saat ini boleh saja banteng kalah di kandang sendiri namun tahun 2014 kursi parlemen harus mereka kuasai. Caleg bateng harus bisa belajar dari kekalahan ini.

Artikel ini dimuat di Suara Merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar