9 Jul 2013

Si Doel


Malam itu, Doel datang ke Pesta Ulang Tahun Sarah bersama Mandra. Mereka datang berpakakaian sederhana, menaiki kendaraan umum beroda tiga: Bajaj. Doel sempat ragu, karena tamu-tamu yang lain datang dengan kendaraan pribadi yang lebih kinclong; sedan atau hingga mercy. Benar saja, kedatangan Doel membuat Roy ─pria yang menyukai Sarah─ naik darah. Di tengah jalannya pesta: Roy berdiri memaki, menyudutkan Doel dan Mandra sebagai orang kampungan, orang primitif yang tidak pantas berada dalam pestanya orang kaya.

Doel tersinggung, sebelum pergi ia tidak tinggal diam terhadap perlakuan Roy. Dengan kepala dingin, ia berkata: “Kami memang primitif, barangkali jika pakaian ukurannya. Sementara Anda, yang berpakaian rapi, berdasi. Ada bagian yang sepertinya Anda lupa; sebagai orang yang mengaku modern: Anda berdiri memaki-maki kami, mennghujat kami di depan umum, seolah-olah Anda tidak mempunyai sopan-santun, seolah-olah Anda bukan orang yang terpelajar. Lalu, siapa yang lebih kampungan di antara kita?”

Di era globalisasi, fenomena Roy akan banyak kita jumpai. Sebagaimana yang digambarkan Jan Aart Scholtc: globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi, yakni merebaknya ke seluruh dunia struktur modernitas barat yang menyangkut kapitalisme, rasionalisme, industrialisme dan lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang sudah lebih dulu.

Sehingga Doel dan Mandra dengan budaya lokal kebetawiannya; akan dianggap kampungan dan primitif oleh Roy yang modern. Karena kebetawian yang mereka pertahankan: bukan merupakan ciri modern. Karena modern akan memandang: Oplet, Ondel-Ondel, dan Tanjidor adalah produk warisan yang sudah ketinggalan jaman dan pantas diloakan. Diganti dengan  yang serba up to date, glamour, digital, dan serba wah.

Roy, barangkali yang mewakili ciri modern: ia lebih suka berpikir instan, mengandalkan materi, merasa lebih terpelajar darri yang lainnya, dan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Sedangkan Doel, tidak sedikitpun tergiur, ia tetap dalam kebetawiannya: menarik Oplet, merawat Ondel-ondel dan memainkan Tanjidor.  Doel tetap mengedepankan: kesederhanaan, kejujuran, kerja keras, sopan santun, dan saling menghormati. Nilai-nilai kearifan, yang kemudian ia tempatkan di atas bisingnya deru roda modernisasi global di tanah kelahirannya: Betawi.

Menjadi diri sendiri, memang sukar dan bukan perkara yang mudah. Berani menjadi tuan rumah di negeri sendiri; akan dicurigai ndeso, kolot, dan kampungan. Karena memang, yang demikian itu adalah agenda globalisasi: merusak tatanan budaya lokal. Kita sendiri, memang tidak akan kuasa menghadang, tetapi setidaknya: kita harus bisa belajar dari Doel, dan lebih-lebih lagi: kita harus berani menjadi Si Doel, di tanah kelahiran sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar